Seiring dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk Indonesia maka, ketersediaan pangan bagi penduduknya menjadi salah satu tantangan pembangunan yang harus selalu menjadi perhatian. Tantangan tersebut semakin berat, mengingat kondisi perubahan iklim yang sedang berlangsung saat ini. Dimana, Indonesia sebagai negara agraris tentunya sangat rentan mengalami krisis pangan yang disebabkan oleh dampak dari perubahan iklim.
Kehidupan di Indonesia dengan berbagai macam rupa kearifan lokalnya merupakan salah satu modal utama dalam memperkuat sistem ketahanan pangan kita. Banyak keluarga-keluarga yang saling membantu dan saling memberi bantuan pangan secara gotong-royong. Bahkan dari aspek arsitektur bangunan khas yang ada di setiap daerah di Indonesia juga mencerminkan bagaimana masyarakat Indonesia telah memprediksi kondisi perubahan iklim saat ini.
Namun, pilar-pilar ketahanan pangan tersebut saat ini sudah mulai terkikis oleh perkembangan zaman dan kompleksitas kehidupan sosial budaya masyarakat yang semakin berkembang. Salah satunya adalah yang terjadi di masyarakat Sasak diimana, Alang atau lumbung telah mengalami pergeseran makna.
Alang atau lumbung merupakan bangunan khas masyarakat Sasak yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi. Namun saat ini keberadaannya tidak lebih hanya sebagai tempat menerima tamu, bahkan terkadang Alang saat ini telah menjadi simbolis saja bagi wisatawan yang datang ke pulau Lombok, tempat masyarakat Sasak berada.
Masyakarat Sasak merupakan salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia yang menempati daratan pulau Lombok. Pulau ini terletak di bagian Timur Indonesia dan merupakan pulau kecil dengan luas daratannya mencapai 4.738,70 km2. Secara umum, iklim di Indonesia, termasuk pulau Lombok dikendalikan oleh sirkulasi monsun Asia-Australia, yakni aliran udara atau angin di bawah lapisan atmosfer yang melintasi ekuator di atas Indonesia dan berganti arah tiap setengah tahun.
Di pulai Lombok, perubahan arah aliran udara lintas ekuator ini mengyebabkan terjadinya musim hujan pada bulan Desember-Febriari dan musim kemarau pada Juni-Agustus. Sedangkan bulan-bulan lainnya merupakan periode transisi alias pancaroba. Di dalam peta curah hujan tahunan yang dibuat pada awal 1900-an menunjukkan bahwa pulau Lombok berada di perbatasan antara daerah yang relatif basah dan relatif kering. Hal ini berarti, pulau Lombok termasuk wilayah yang sensitif terhadap perubahan iklim.
Alang Sebagai Hasil Olah Pikir Masyarakat Sasak Menjaga Ketahanan Pangan
Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi setiap orang, baik secara kuantitas maupun kualitas, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, aman, bergizi, merata, dan terjangkau. Ketahanan pangan dapat dicapai melalui upaya-upaya peningkatan produksi pangan, diversifikasi pangan, dan upaya-upaya lain yang bertujuan untuk menjamin ketersediaan pangan.
Bagi masyarakat Sasak di pulau Lombok, bagaimana menjaga menjaga stabilisasi ketersediaan dan konsumsi makanan pokok berupa nasi dan lauk pauk merupakan konsep ketahanan pangan yang selalu dijaga hingga saat ini. Mereka memiliki tradisi menyimpan hasil panen yang bertujuan sebagai cadangan untuk menghadapi kemungkinan kelangkaan atau bencana. Ya….apabila kita jalan-jalan keliling pulau Lombok saat ini, kita akan menemukan suatu bentuk bangunan tradisional yang khas masyarakat Sasak berupa lumbung.
Biasanya bagi masyarakat Sasak pada umumnya, penyebutan lumbung disebut dengan nama Alang atau bagi masyarakat Sasak di Bayan Lombok Utara biasanya disebut Sambi atau Pantek. Alang, selain berfungsi sebagai tempat penyimpanan padi, juga dijadikan sebagai tempat mengaji anak-anak atau sebagai tempat menerima tamu. Selain itu, Alang juga merupakan simbol dari kemakmuran dan status sosial masyarakat Sasak tempo dulu. Fungsi Alang sebagai tempat menyimpan hasil panen juga menunjukkan bahwa kehidupan masyarakat Sasak yang selalu hidup hemat dan tidak boros.
Alang sudah ada sejak zaman dahulu, bahkan sebelum masuknya pengaruh Islam di Lombok. Bangunan alang letaknya bersebelahan dengan bale jajar (rumah tinggal), yang dimaksudkan agar pemilik Alang dapat dengan mudah untuk memantau dan menjaga. Selain itu, Alang biasanya juga terletak atau dibangun di tempat yang lebih tinggi agar hasil panen terhindar dari banjir dan hewan liar.
Pada masa lalu, masyarakat Sasak mengandalkan hasil panen untuk memenuhi kebutuhan pangan mereka. Namun, hasil panen tidak selalu dapat mencukupi kebutuhan pangan masyarakat Sasak, terutama di musim paceklik. Oleh karena itu, masyarakat Sasak mengantisipasi situasi tersebut dengan selalu menyimpan hasil panen padi di bangunan Alang yang telah dilengkapi dengan ventilasi udara yang baik, sehingga hasil panen tersebut tidak mudah rusak. Alang merupakan salah satu bentuk kearifan lokal masyarakat Sasak dalam menjaga ketahanan pangan. Lumbung adat Sasak merupakan bukti bahwa masyarakat Sasak memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tinggi tentang pentingnya ketahanan pangan.
Makna Alang Bagi Masyarakat Sasak
Begitu pentingnya keberadaan Alang bagi masyarakat Sasak maka, setiap struktur dan bentuk dari bangunan Alang memiliki makna dan fungsi tersendiri. Ini semua dihasilkan dari olah pikir masayarakat Sasak dalam menyikapi kondisi alam pulau Lombok. Bentuk atap alang melengkung ke atas dengan bubungan yang rata. Ada juga atapnya yang berbentuk rumah kampung Sasak (kodong). Bentuk Alang di Bayan, kecil-kecil dan rendah.
Tiang alang berbentuk silinder, ujung tiang-tiang atas berbentuk cakram yang pipih dan lebih besar dari tiang disebut Jelepeng. Tiang Alang yang digunakan sebagai penopang berasal dari jenis kayu pohon Loam (rey). Masyarakat Sasak meyakini bahwa jenis kayu yang berasal dari pohon loam memiliki kekuatan atau kokoh sebagai penopang bangunan dan tidak mudah patah serta tahan terhadap guncangan. Pulau Lombok merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang rawan terhadap bencana alam gempa bumi, dimana pulau ini berada tepat di antara tiga lempeng aktif, diantaranya lempeng Hindia-Australia, lempeng Pasifik, dan juga lempeng Eurasia.
Sehingga jenis kayu ini sering dijadikan bahan utama dalam membangun alang, dan didalam memasang atau membuat alang, masyarakat Sasak memasangnya sesuai dengan jalur yang telah dibuat dan tanpa menggunakan paku sebagai perekatnya (disebut dengan pasak). Selain itu, penggunaan pohon loam ini juga disebabkan karena keberadaannya yang sangat mudah ditemukan di berbagai wilayah pulau Lombok dan Indonesia tentunya.
Jenis pohon ini kayunya diyakini tahan terhadap serangan rayap, jamur, dan serangga lainnya, sehingga tidak mudah lapuk dan dapat bertahan lama. Selanjutnya dari struktur penyusunnya, jenis kayu ini memiliki kerapatan yang tinggi, sehingga tidak mudah menyerap air. Hal ini tentunya akan menjadikan bangunan Alang tidak mudah lapuk dan tahan terhadap cuaca sehingga, dapat melindungi isi dalam bangunan Alang tersebut.
Penggunaan bahan ijuk atau ilalang sebagai bahan atap bangunan lumbung Alang merupakan hasil olah pikir masyarakat Sasak yang sangat tinggi. Daun ilalang dipilih menjadi salah satu bahan untuk keperluan bangunan karena memiliki bentuk lurus. Dengan tulang daun yang sejajar dan tidak bercabang, memudahkan untuk air hujan mengalir. Sebelum diikat, daun ilalang akan dipilah berdasar ukurannya dan dibersihkan.
Membersihkan daun ini tidak sulit. Masyarakat Sasak percaya, atap ilalang seperti ini juga bisa melindungi dari hawa dingin saat malam. Atap alami yang terbuat dari daun, konon mampu menyerap panas di siang hari dan menyimpannya untuk malam hari. Sehingga, ruangan beratap daun ini akan terasa hangat saat malam. Selain itu, penggunaan ilalang juga untuk mengurangi beban bangunan Alang yang digunakan sebagai tempat menyimpan hasil panen padi.
Suhu dan temperatur yang terjaga akan menyebabkan kualitas padi tetap terjaga dalam waktu yang lebih lama. Sehingga ketika musim kemarau datang, masyarakat Sasak tempo dulu masih memiliki cadangan pangan untuk dikonsumsi sampai tiba waktunya musim hujan. Selain itu, penggunaan bahan ijuk atau ilalang disebabkan karena material tersebut memiliki sifat yang lentur dan tidak patah. Secara keseluruhan konsep tersebut menunjukkan bahwa sejatinya masyarakat Sasak telah memahami manajemen susut terhadap gabah yang termanifestasikan dengan penggunaan bahan atap lumbung Alang.
Lumbung atau Alang yang ada di masyarakat Sasak diperuntukkan dan dikelola secara komunal ataupun secara individu sebagai bentuk pengetahuan masyarakat Sasak sejak zaman dahulu. Bangunan Alang terdiri dari dua bagian, yaitu bagian bawah yang sering disebut dengan “Lelasah” atau semacam tempat duduk lesehan. Bagian ini seringkali dimanfaatkan oleh masyarakat Sasak sebagai tempat menenun atau tempat menerima tamu.
Untuk menyangga bangunan atas, digunakan empat tiang bundar. Di ujung atas tiang itu terdapat Jelepeng—benda yang menyerupai piring besar. Jelepeng inilah yang membuat tikus tak akan sanggup menjangkau padi dalam ruang penampungan. Hal ini juga menggambarkan bahwa masyarakat Sasak telah memiliki pengetahuan lokal dalam menjaga hasil panennya dari serangan hama tikus.
Didalam menyimpan padi, masyarakat Sasak melakukannya tidaklah sembarangan karena terdapat aturan dalam prosesnya. Dalam bilah-bilah bambu, hasil panen biasanya akan disusun sesuai dengan peruntukkan. Misalnya padi yang akan digunakan sebagai bibit akan diletakknya di sebelah kanan dan yang di sebelah kiri diperuntukkan sebagai bahan konsumsi. Sedangkan untuk bagian belakang digunakan sebagai bahan persediaan atau tabungan ketika musim kemarau berkepanjangan tiba. Pengaturan ini semua bertujuan untuk memudahkan pengambilan ketika pada saat dibutuhkan.
Lumbung alang telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Sasak sejak zaman dahulu. Lumbung ini telah terbukti efektif dalam menjaga ketahanan pangan masyarakat Sasak. Lumbung alang dapat menyimpan hasil panen dalam waktu yang lama, sehingga dapat membantu masyarakat Sasak untuk bertahan hidup di masa-masa sulit, seperti saat terjadi gagal panen atau bencana alam.
Namun, keberadaan lumbung alang saat ini semakin terancam. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perubahan pola hidup masyarakat Sasak, modernisasi, dan alih fungsi lahan pertanian. Salah satu indikator dari indeks ketahanan pangan (IKP) adalah ketersediaan dimana, untuk pulau Lombok pada periode tahun 2019-2022, rata-rata ketersediaan pangan di wilayah ini terus mengalami penurunan. Badan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian menyebutkan, rata-rata ketersediaan pangan di pulau Lombok pada 2022 sebesar 87,90. Nilai rata-rata ketersediaan pangan ini lebih rendah dibandingkan pada 2019 yang mencapai 88,80. Meskipun demikian, masih ada beberapa masyarakat Sasak yang masih mempertahankan keberadaan lumbung alang karena menyadari pentingnya lumbung alang sebagai benteng terakhir ketahanan pangan
Herman Rakha/peneliti LRC
