Oleh : Herman Rakha*
Konflik mengenai permasalahan agraria masih terjadi di berbagai daerah di Indonesia, meskipun pemerintah telah mencanangkan adanya reforma agraria. Didalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria menyebutkan, penanganan konflik agraria dan kekayaan alam dinyatakan sebagai salah satu tujuan utama dalam penyelenggaraan reforma agraria. Hal ini tentunya sangat penting, mengingat berbagai konflik agraria seringkali masih terjadi di akar rumput.
Catatan tahunan Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) tahun 2021 menyebutkan total konflik agraria sebanyak 207. Sedangkan untuk tahun sebelumnya (2020) telah terjadi 241 kasus dan tahun 2019 terjadi 279 konflik agraria. Selain itu, Kantor Staf Presiden juga mencatat pengaduan konflik agraria ke istana sepanjang tahun 2015 hingga tahun 2021 sebanyak 1.054 kasus atau pengaduan. Hal ini menandakan meskipun dalam situasi pandemi Covid-19 dan penurunan perekonomian, konflik agraria juga masih masif terjadi.
Berdasarkan tipologi konflik pertanahan yang terjadi di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) antara 2017 dan 2020 menurut Kementerian Dalam Negeri (2021), terdapat 9 kasus yang terjadi sengketa pertanahan yaitu; Penguasaan Tanah dan Pemilikan Tanah (3 kasus), Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah (4 kasus) dan, Pengadaan Tanah (2 kasus).
Apabila dilihat secara umum, konflik pertanahan yang terjadi di NTB merupakan suatu pertentangan klaim terhadap suatu bidang tanah, sumber daya alam (SDA), dan wilayah kepunyaan warga dengan badan usaha yang bergerak dalam bidang pertanian/produksi. Dimana, masing-masing pihak yang bertentangan tersebut berupaya dan bertindak secara langsung maupun tidak menghilangkan klaim pihak lain. Selain itu, pemberian izin/hak yang dilakukan oleh institusi negara kepada perusahaan atau badan usaha juga menjadi salah satu perangsang munculnya konflik yang terjadi.
Salah satu contoh konflik pertanahan yang terbaru adalah konflik antara masyarakat petani di Kecamatan Sembalun Kabupaten Lombok Timur dengan PT. Sembalun Kusuma Emas (SKE). Konflik ini dipicu oleh keluarnya izin Hak Guna Usaha (HGU) seluas 150 hektare yang terbagi dalam dua lembar sertifikat kepada PT. SKE pada Maret 2021.
Kronologis Konflik
Fase Pertama
Praktek negaranisasi tanah adat membuat Orde Baru begitu mudahnya merubah status tanah adat menjadi tanah negara dan dikonsesikan pada perusahaan melalui Hak Guna Usaha (HGU). Sebagaimana yang dialami oleh PT. Sembalun Kusuma Emas (SKE), dibawah pimpinan Ibu Tien Soeharto, pada tahun 1988 memperoleh konsesi HGU di atas lahan hak ulayat masyarakat seluas 155,6 hektar. Pada tahun 1989 kembali memperoleh konsesi lahan HGU di atas pemukiman penduduk seluas 183 hektar. Penguasaan lahan PT. SKE terus bertambah sampai dengan luasan 555 hektar.
Tidak semua lahan dikuasai oleh PT. SKE diolah menjadi lahan produktif, terdapat 185 hektar lahan itu pada tahun 1999 HGU nya beralih pada PT. Sampoerna Agro yang digunakan sebagai areal pembangunan Green House Hortikultura untuk pasar ekspor, meski prakteknya juga untuk pasar lokal. Sisa lahan lainnya menjadi lahan PT. SKE lainnya menjadi lahan tidur. Sejak tahun 1995, warga empat desa di Kecamatan Sembalun menggarap lahan tidur seluas 225 hektar PT. SKE itu untuk bercocok tanam, sampai kemudian muncul keributan pada tahun 2013, saat perusahaan melakukan pematokan kembali lahan yang digarap warga dan meminta warga untuk tidak lagi mengarap lahan tersebut. Warga yang menggantungkan hidupnya pada lahan tersebut menjadi marah dan melakukan demonstrasi di Kantor Kecamatan Sembalun.
Fase Kedua
Setelah tahun 2013 ketegangan antara masyarakat Sembalun dengn PT. SKE mulai mereda namun, kondisi itu tidak berlangsung lama. Di penghujung 2021 konflik antara masyarakat Sembalun dengn PT. SKE kembali terjadi. Hal ini dipicu oleh terbitnya izin HGU kepada PT. SKE oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada Maret 2021 di atas lahan dengan luas 150 hektar yang terbagi dalam dua lembar sertifikat (sebelumnya PT. SKE telah mengajukan izin pada 2009 dan 2014). Masyrakat kemudian melakukan penghentian aktivitas pemagaran atau pemasangan patok yang dilakukan oleh PT. SKE.
Masyarakat masih menganggap terbitnya sertifikat HGU tersebut sebagai cacat prosedur dimana, hanya berdasarkan pada pembebasan lahan tahun 1990 dan izin lokasi. Selain itu, dibiarkannya tanah yang mendapatkan izin lokasi tanpa dilakukan pengelolaan dianggap sebagai bukti bahwa PT. SKE tidak memiliki itikad baik untuk menjalankan usahanya. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya HGU PT. Agrindo Nusantara Nusantara yang sebelumnya adalah PT Sampoerna Agro di atas objek lahan yang merupakan objek izin lokasi PT SKE. Masyarakat mengklaim bahwa PT. SKE cenderung menjadi makelar tanah daripada pengusaha.
Kepemilikan Tanah HGU dan Aturan Hukumnya
Istilah HGU atau Hak Guna Usaha seringkali terdengar dalam suatu perselisihan masalah agraria. Di dalam Pasal 28 (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), pengertian hak guna usaha adalah adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.
Selain diatur dalam UUPA, aturan yang terkait dengan HGU juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah, Peraturan Pemerintah (PP) republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah serta, dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (Kementerian ATR/Kepala BPN) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha. Tidak semua orang atau perusahaan dapat memiliki HGU yang diberikan negara.
Ada beberapa aturan yang menyertainya. Namun secara umum, pihak-pihak yang dapat memiliki HGU adalah Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Terkait dengan masa berlaku HGU yang dimiliki oleh PT. SKE maka yang menjadi rujukan hukumnya adalah UUPA No. 5 Tahun 1960 yaitu Pasal 29 yang berbunyi :
(1) Hak Guna Usaha (HGU) diberikan untuk waktu paling lama 25 tahun.
(2) Untuk perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama dapat diberikan hak guna usaha untuk waktu paling lama 35 tahun.
(3) Atas permintaan pemegang hak dan mengingat keadaan perusahaannya jangka waktu yang dimaksud dalam ayat (1) dan (2) pasal ini dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 25 tahun
Namun, didalam PP No. 40 tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Atas Tanah, PP No. 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah dan, Peraturan Menteri ATR/BPN No. 17 Tahun 2017 Tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha, kepemilikan Hak Guna Usaha dapat diberikan untuk jangka waktu 25 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 35 tahun.
Kemudian syarat-syarat penghapusan Hak Guna Usaha diatur pada Pasal 34 UUPA No. 5 Tahun 1960; (1) Jangka waktunya berakhir; (2) Dihentikan sebelum Jangka waktunya berakhir karena suatu syarat tidak dipenuhi; (3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum Jangka waktunya berakhir; (4) Dicabut untuk kepentingan umum; (5) Ditelantarkan; (6) Tanahnya musnah; dan (7) Keputusan dalam Pasal 30 ayat (2) UUPA No. 5 Tahun 1960.
Munculnya berbagai kasus pertanahan bukan hanya disebabkan oleh konflik-konflik pertanahan tetapi hal tersebut tidak terlepas dari konteks kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah, banyaknya peraturan tanah yang bersifat ad hoc, inkonsisten, ambivalen antara satu kebijakan dengan yang lain serta banyaknya peraturan yang tumpang tindih dalam struktur hukum tanah. Masalah seputar tanah diakui merupakan masalah yang cukup rumit dan sensitif, bukan hanya pada aspek yuridisnya saja, akan tetapi juga menyangkut berbagai aspek kehidupan bermasyarakat lainnya.
Peran Pemerintah Daerah Di Dalam Penyelesaian Konflik Agraria
Mengatasi permasalahan ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah merupakan program prioritas pemerintah didalam mewujudkan reforma agraria. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria dan sesuai amanat Perpres tersebut, dibentuk Tim Reforma Agraria Nasional. Untuk itu, pemerintah membentuk suatu Gugus Tugas Reforma Agraria atau GTRA mulai dari tingkat pusat, tingkat Provinsi, maupun tingkat Kabupaten/Kota yang beranggotakan dari berbagai sektor.
Untuk di tingkat pusat, GTRA diketuai oleh Menteri ATR/kepala BPN dan sebagai pelaksana hariannya adalah Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN. Sedangkan di tingkat daerah provinsi maupun kabupaten/kota diketuai oleh kepala daerah yang dalam hal ini adalah gubernur atau bupati/walikota dengan wakil ketua adalah seorang sekretaris daerah dari masing-masing tingkatan pemerintahan daerah. Kemudian untuk pelaksana hariannya dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah/Badan Pertanahan BPN. Untuk GTRA Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah ditetapkan melalui Keputusan Gubernur NTB No.590-425 Tahun 2020.
Adapun tugas dan fungsi GTRA di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota menurut Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri (2021) adalah sebagai berikut :
1. Mengoordinasikan penyediaan TORA[1] dalam rangka Penataan Aset;
2.Memberikan usulan dan rekomendasi tanah‐tanah untuk ditegaskan sebagai tanah negara sekaligus ditetapkan sebagai TORA kepada Menteri atau pejabat yang ditunjuk oleh Menteri;
3. Memfasilitasi pelaksanaan Penataan Akses di tingkat daerah;
4. Mengoordinasikan integrasi pelaksanaan Penataan Aset dan Penataan Akses di tingkat provinsi dan kabupaten/kota;
5. Memperkuat kapasitas pelaksanaan Reforma Agraria di tingkat provinsi dan kabupaten/kota;
6. Menyampaikan laporan hasil Reforma Agraria Provinsi kepada Gugus tugas Reforma Agraria Pusat;
7. Mengoordinasikan dan memfasilitasi penanganan Sengketa dan Konflik Agraria di tingkat provinsi dan kabupaten/kota; serta
8. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Gugus Tugas Reforma Agraria Kabupaten/Kota.
Meskipun tugas serta fungsinya adalah untuk melaksanakan program reforma agraria namun, GTRA juga memiliki peran untuk dapat menyelesaikan sengketa dan konflik agraria. Mengingat konflik agraria merupakan persoalan yang krusial dan kompleks maka, sangat dibutuhkan komunikasi antar lembaga pemerintah dan melibatkan Civil Society Organization (CSO) didalam proses percepatan penyelesaian konflik agraria serta tidak lupa untuk melakukan program inventarisasi konflik, penanganan dan penyelesaian konflik serta redistribusi tanah.
Bahkan pada 11 September 2020 Kementerian Dalam Negeri telah menginstruksikan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia untuk mendukung pemberdayaan terhadap subyek reforma agraria melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 593/5093/SJ. Adapun instruksi tersebut berisi tentang :
1. Inventarisasi subyek dan identifikasi potensi lokasi penerima TORA
2.Koordinasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat antar organisasi perangkat daerah
3.Penyediaan infrastruktur pendukung sesuai dengan kebutuhan dan potensi wilayah termasuk penyediaan sarana, pengembangan modal dan pemasaran.
4.Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat penerima sertifikat tanah
Dimana instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut harus terintegrasikan di dalam RPJMD, RKPD, dan APBD masing-masing tingkatan pemerintahan daerah.
Kesimpulan
Upaya negosiasi dan mediasi yang telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi NTB masih terus berjalan dan belum menunjukkan adanya suatu kesepakatan yang disebabkan oleh masing-masing pihak yang berselisih tetap pada posisinya, yaitu menganggap “kebenaran” ada pada pihaknya masing-masing.
Untuk itu penulis mengusulkan kepada pihak yang berwenang untuk dapat menunda pelaksanaan dari izin HGU yang telah dikeluarkan serta masyarakat petani Sembalun yang menguasai tanah di atas lahan konflik untuk menghentikan sementara segala bentuk aktivitasnya hingga apa yang diinginkan masyarakat dan perusahaan terselesaikan dan disepakati kedua pihak tanpa harus terus menerus berkonflik dan berebut lahan (akomodasi dan kolaborasi).
Adapun tujuan dari mekanisme yang ditawarkan ini adalah untuk meredam konflik-konlik lanjutan yang dapat merugikan kedua belah pihak. Selain itu, cara ini juga sebagai upaya pemerintah daerah menciptakan iklim usaha yang berkelanjutan dengan memberikan jaminan investasi serta memberikan rasa dengan tetap mengutamakan kepentingan masyarakat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui mekanisme reforma agraria (redistribusi tanah) yang berkeadilan.
Ket* : Staf peneliti pada Lombok Research Center (LRC)
[1] TORA = Tanah Obyek Reforma Agraria