Oleh : Maharani*
Nusa Tenggara Barat (NTB), memulai focus membangun pariwisata sejak era 1970-an. Hal tersebut ditandai dengan datangnya wisatawan baik asing maupun nusantara ke sejumlah pulau-pulau kecil di pesisir barat Lombok. Umumnya para pelancong ini merupakan wisatawan yang berlibur ke Bali dan menjadikan Lombok sebagai tempat persinggahan untuk kemudian kembali lagi ke Bali sebelum pulang ke negara mereka masing-masing.
Meskipun, pariwisata semakin digenjot sebagai penopang perekonomian, pembangunan pariwisata di NTB tidak lantas menyelesaikan masalah kesejahteraan yang ada. Bahkan meninggalkan beberapa permasalahan social baru terutama terkait dengan permasalahan agraria.
Di beberapa kawasan Pariwisata sering timbul masalah pertanahan berupa sengketa tanah, administrasi pertanahan, serta mafia tanah dan alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan tidak hanay bersinggungan dengan pemerintah dalam hal ini Kementrian Kehutanan, juga banyak bersinggungan dengan masyarakat langsung. Hal ini terkait dengan kawasana adat ataupun kawasan perhutanan social.
Selain itu, dengan dimulainya atau seiring implementasi program prioritas pembangunan Kabinet Kerja yang menargetkan jumlah kunjungan wisatawan mencapai 20 juta turis asing pada 2019 dan berlanjut sampai tahun 2024. Untuk mencapai target tersebut pemerintah memprioritaskan pengembangan 10 Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) atau “10 New Bali”.
Konflik Agrarian di NTB
Seperti diketahui ijin lokasi bertujuan mengarahkan calon investor (pengusaha) untuk membangun dilokasi tanah yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW). Dengan tujuan agar pemanfaatan ruang dapat dilakukan secara optimal. Sehingga dengan berbekal ijin lokasi para pengusaha dapat melakukan usaha-usaha perolehan dan hak atas tanahnya yang kemudian dilanjutkan dengan realisasi penggunaannya sesuai dengan peruntukan ijin lokasinya.
Dengan adanya Penyederhanaan prosedur perijinan khususnya ijin lokasi yang sejalan dengan pesatnya perkembangan kegiatan pembangunan di NTB, maka banyak menarik minat investor untuk menanamkan modalnya sehingga menimbulkan dampak positif bagi kemajuan pembangunan secara ekonomi dan social.
Pembangunan sektor pariwisata yang merupakan sektor andalan dari pembangunan sektor lainnya, banyak diminati oleh para investor sebagai bidang usaha yang menjanjikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jumlah ijin lokasi dengan peruntukan pariwisata yang diterbitkan oleh Kantor Pertanahan NTB dengan berbagai macam bentuk ijin. Banyaknya jumlah ijin lokasi yang diterbitkan pada sektor ini menunjukan kecendrungan besarnya minat investor untuk menanamkan modalnya, tetapi ternyata belum semua ijin lokasi dengan peruntukan untuk pariwisata yang diterbitkan oleh kantor Pertanahan NTB khususnya pada lokasi yang ditunjuk sebagai kawasan pariwisata dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dalam peraturan yang berlaku. Hal ini terlihat dari adanya tanah- tanah yang terlantar, penguasaan tanah/lahan tidur dan penyimpangan dari rencana penggunaan tanahnya.
Masyarakat Lombok pada khususnya dan masyarakat NTb pada umumnya yang sebagian besar beragama Muslim dalam melaksanakan pembangunan menganut sistem keseimbangan pembangunan dengan lingkungannya yang disebut dengan hubungan manusia dengan sang maha pencipta dan hubungan manusia dengan manusia termasuk didalamnya dengan alam. Hal ini agar dapat dicapai kesejahtraan dan kedamaian dalam menikmati hasil pembagunan, jadi dalam hal pengadaan dan pembangunan sarana pariwisata perlu memperhatikan masalah-masalah sosial budaya dan masalah lingkungan.
Upaya perolehan hak atas tanah dan pembangunan sarana pariwisata oleh pengusaha pada kawasan-kawasan yang ditunjuk untuk kawasan pariwisata, mengakibatkan terjadinya perubahan penguasaan dan penggunaan tanah pada kawasan itu. Namun ada kalanya status penguasaan tanah dan realisasi penggunaan tanahnya tidak sesuai dengan proposal permohonan semula sehingga hal ini dapat menimbulkan keresahan (tanah terlantar).
Sebelum Amandemen, Penjelasan Pasal 33 alinea 4 Undang-undang Dasar Tahun 1945 (UUD) berbunyi : “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Kemudian dituntaskan secara kokoh di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (Lembaran Negara 1960-104 atau disebut juga Undang-undang Pokok Agraria atau UUPA) Atas dasar Pasal 33 ayat (3) UUD dan Pasal 2 UUPA serta penjelasannya, pengertian “dikuasai” oleh Negara bukan berarti “dimiliki”, melainkan hak yang memberi wewenang kepada Negara untuk menguasai seperti hal tersebut di atas.
Berdasarkan hak penguasaan atas tanah, negara mengatur jenis hak yang dapat dimiliki oleh Subyek Hak antara lain Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai dan Hak Sewa untuk Bangunan yang disebut dalam Pasal 20 sampai dengan 45 UUPA.
Menurut Soedikno Mertokusumo, wewenang yang dipunyai pemegang hak atas tanah adalah: a. Wewenang Umum. Wewenang yang bersifat umum yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya, termasuk juga tubuh bumi dan air dan ruang angkasa yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain yang lebih tinggi. b. Wewenang Khusus. Wewenang yang bersifat khusus yaitu pemegang hak atas tanah mempunyai wewenang untuk menggunakan tanahnya sesuai dengan macam hak atas tanahnya.
Akan tetapi di lapangan, berbagai konflik sumber daya alam, termasuk konflik lahan semakin tinggi intensitasnya. Konflik tersebut terjadi dengan cakupan wilayah, pihak yang terlibat dan dampak yang semakin luas dan dalam. Kondisi tersebut disebabkan antara lain oleh masih adanya ketimpangan distribusi lahan. Sengketa dan/atau konflik tersebut bahkan telah terjadi sejak puluhan tahun lalu.
Sebagai contoh yang lagi hangat yaitu konflik agraria di NTB yaitu kasus tanah di Gili terawangan di Lombok Utara dan Sembalun Lombok Timur. Penyelesaian permasalahan perjanjian kontrak produksi antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan PT Gili Trawangan Indah (GTI) terkait pengusahaan lahan di pulau Gili Trawangan, cukup menyedot perhatian masyarakat dan pemerhati social. Bahkan pemerintah daerah pun sempat meminta masukand arti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Menteri investasi untuk penyelesaian terbaik kasus ini.
Lahan yang menjadi subyek sengketa antara PT GTI dengan masyarakat memiliki luas 65 hektar. Lahan tersebut dipegang oleh PT GTI sejak tahun 1995 dengan status Perjanjian Kontrak Produksi antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan PT GTI Nomor 1 Tahun 1995 tanggal 12 April 1995.
Namun, diakhir penghujung tahun 2021 yang lalu, masyarakat dapat sedikit lega dengan dikeluarkannya surat oleh Satgas Percepatan Investasi telah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Satgas Percepatan Investasi yang memutuskan bahwa Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat mengakhiri Perjanjian Kontrak Produksi antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan PT GTI Nomor 1 Tahun 1995 tanggal 12 April 1995 sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dengan diputusnya perjanjian kerjasama membuat kejelasan status lahan itu semakin jelas. Dimana posisi msyarakat. Bahkan Gubernur memberikan hak kelola bagi masyarakat local. Dengan tetap mengikuti peraturan yang berlaku. Masyarakat local diberikan keleluasaan untuk mempergunakan lahan yang ada untuk tujuan ekonomi.
Berbeda dengan konflik lahan yang terjadi di Kecamatan Sembalun Lombok Timur. Konflik lahan antara masyarakat dengan perusahaan sudah terjadi sejak ijin dikeluarkan. Pemerintah Pusat melalui Badan Pertanahan mengeluarkan ijin Hak Guna Usaha (HGU) kepada PT. Sembalun Kusuma Emas (SKE).
Praktek negaranisasi tanah adat membuat Orde Baru begitu mudahnya merubah status tanah adat menjadi tanah negara dan dikonsesikan pada perusahaan melalui Hak Guna Usaha (HGU). Sebagaimana yang dialami oleh PT. Sembalun Kusuma Emas (SKE), dibawah pimpinan Ibu Tien Soeharto, pada tahun 1988 memperoleh konsesi HGU di atas lahan hak ulayat masyarakat seluas 155,6 hektar. Pada tahun 1989 kembali memperoleh konsesi lahan HGU di atas pemukiman penduduk seluas 183 hektar. Penguasaan lahan PT. SKE terus bertambah sampai dengan luasan 555 hektar.
Tidak semua lahan dikuasai oleh PT. SKE diolah menjadi lahan produktif, terdapat 185 hektar lahan itu pada tahun 1999 HGU nya beralih pada PT. Sampoerna Agro yang digunakan sebagai areal pembangunan Green House Hortikultura untuk pasar ekspor, meski prakteknya juga untuk pasar lokal. Sisa lahan lainnya menjadi lahan PT. SKE lainnya menjadi lahan tidur. Sejak tahun 1995, warga empat desa di Kecamatan Sembalun menggarap lahan tidur seluas 225 hektar PT. SKE itu untuk bercocok tanam, sampai kemudian muncul keributan pada tahun 2013, saat perusahaan melakukan pematokan kembali lahan yang digarap warga dan meminta warga untuk tidak lagi mengarap lahan tersebut. Warga yang menggantungkan hidupnya pada lahan tersebut menjadi marah dan melakukan demonstrasi di Kantor Kecamatan Sembalun.
Setelah tahun 2013 ketegangan antara masyarakat Sembalun dengn PT. SKE mulai mereda namun, kondisi itu tidak berlangsung lama. Di penghujung 2021 konflik antara masyarakat Sembalun dengn PT. SKE kembali terjadi. Hal ini dipicu oleh terbitnya izin HGU kepada PT. SKE oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) pada Maret 2021 di atas lahan dengan luas 150 hektar yang terbagi dalam dua lembar sertifikat (sebelumnya PT. SKE telah mengajukan izin pada 2009 dan 2014). Masyrakat kemudian melakukan penghentian aktivitas pemagaran atau pemasangan patok yang dilakukan oleh PT. SKE.
Masyarakat masih menganggap terbitnya sertifikat HGU tersebut sebagai cacat prosedur dimana, hanya berdasarkan pada pembebasan lahan tahun 1990 dan izin lokasi. Selain itu, dibiarkannya tanah yang mendapatkan izin lokasi tanpa dilakukan pengelolaan dianggap sebagai bukti bahwa PT. SKE tidak memiliki itikad baik untuk menjalankan usahanya. Hal ini dibuktikan dengan terbitnya HGU PT. Agrindo Nusantara Nusantara yang sebelumnya adalah PT Sampoerna Agro di atas objek lahan yang merupakan objek izin lokasi PT SKE. Masyarakat mengklaim bahwa PT. SKE cenderung menjadi makelar tanah daripada pengusaha.
Peran Pemerintah Daerah dalam Mengatasi Konflik
Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Konflik artinya percekcokan, perselisihan dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan antar anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupan.
Konflik yaitu proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma dan nilai yang berlaku. Dalam beberapa hal, penggunaan istilah konflik dan sengketa seringkali disamaratakan arti dan penggunaannya. Ditinjau dari ilmu sosiologi, konflik merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok-kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.
Menurut Lawing, konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh hal-hal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya.
Konflik agraria yang terjadi di Kecamatan Sembalun terjadi karena terdapat perbedaan persepsi antara warga masyarakat dengan perusahaan dalam hal ini PT. SKE. Warga masyarakat merasa bahwa lahan yang saat ini menjadi objek sengketa atau konflik yang saat ini ada sebagian yang masih dipegang dan digarap oleh masyarakat adalah warisan nenek moyang atau leluhurnya. Sedangkan di sisi lain, perusahaan (PT SKE) bersikukuh bahwa berdasarkan Izin baru hak guna usaha (HGU) tersebut diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Provinsi NTB, pada Bulan Maret 2021, melalui Surat Keputusan Nomor: 001/SKHGU/BPN.52.HP/III/2021, dan Surat Keputusan Nomor: 002/SKHGU/BPN.52.HP/III/2021.
Perbedaan cara pandang tersebut beberapa kali menimbulkan konflik dan kekerasan. Oleh karena itu, berbagai institusi negara berupaya dengan berbagai pertemuan dan kegiatan untuk menyelesaikan konflik agraria, akan tetapi sampai dengan sekarang belum bisa menyelesaikan permasalahan secara tuntas.
Mengatasi permasalahan ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah merupakan program prioritas pemerintah didalam mewujudkan reforma agraria. Hal ini diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria dan sesuai amanat Perpres tersebut, dibentuk Tim Reforma Agraria Nasional. Untuk itu, pemerintah membentuk suatu Gugus Tugas Reforma Agraria atau GTRA mulai dari tingkat pusat, tingkat Provinsi, maupun tingkat Kabupaten/Kota yang beranggotakan dari berbagai sektor.
Untuk di tingkat pusat, GTRA diketuai oleh Menteri ATR/kepala BPN dan sebagai pelaksana hariannya adalah Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN. Sedangkan di tingkat daerah provinsi maupun kabupaten/kota diketuai oleh kepala daerah yang dalam hal ini adalah gubernur atau bupati/walikota dengan wakil ketua adalah seorang sekretaris daerah dari masing-masing tingkatan pemerintahan daerah. Kemudian untuk pelaksana hariannya dilakukan oleh Kepala Kantor Wilayah/Badan Pertanahan BPN. Untuk GTRA Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) telah ditetapkan melalui Keputusan Gubernur NTB No.590-425 Tahun 2020.
Meskipun tugas serta fungsinya adalah untuk melaksanakan program reforma agraria namun, GTRA juga memiliki peran untuk dapat menyelesaikan sengketa dan konflik agraria. Mengingat konflik agraria merupakan persoalan yang krusial dan kompleks maka, sangat dibutuhkan komunikasi antar lembaga pemerintah dan melibatkan Civil Society Organization (CSO) didalam proses percepatan penyelesaian konflik agraria serta tidak lupa untuk melakukan program inventarisasi konflik, penanganan dan penyelesaian konflik serta redistribusi tanah.
Bahkan pada 11 September 2020 Kementerian Dalam Negeri telah menginstruksikan kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota di seluruh Indonesia untuk mendukung pemberdayaan terhadap subyek reforma agraria melalui Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 593/5093/SJ. Adapun instruksi tersebut berisi tentang :
1. Inventarisasi subyek dan identifikasi potensi lokasi penerima TORA (Tanah Objek Reforma Agraria).
2. Koordinasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat antar organisasi perangkat daerah
3. Penyediaan infrastruktur pendukung sesuai dengan kebutuhan dan potensi wilayah termasuk penyediaan sarana, pengembangan modal dan pemasaran.
4. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat penerima sertifikat tanah
Dimana instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut harus terintegrasikan di dalam RPJMD, RKPD, dan APBD masing-masing tingkata pemerintahan daerah.
Menjaga Kondusifitas Pariwisata di NTB
Dua tahun ini Lombok secara khusus dan NTB secara umum sedang menjadi gadis “Seksi” bagi pengembangan dunia pariwisata. Banyak investor local maupun luar daerah mulai melirik untuk mau terlibat berinvestasi di NTB.
Ini merupakan khabar baik bagi daerah dan Indonesia. Jika ingin meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau dengan kata lain jika ingin ekonomi tetap stabil, maka daerah harus mampu menciptakan iklim investasi yang baik.
Iklim investasi yang baik membutuhkan kombinasi kebijakan seperti mengurai hambatan infrastruktur seperti pembangunan jalan, transportasi hingga pembangkit tenaga listrik. Hubungan seperti pelabuhan dan bandara serta koneksi internet untuk ekonomi digital dan revolusi industri 4.0 juga patut diperhatikan. Selain pembangunan fisik, keseimbangan dan keserasian hubungan antara pemangku kepentingan dalam hal ini pemerintah daerah, pengusaha dan masyarakat local pun harus terjaga dengan baik.
Iklim investasi yang baik pun harus didukung peraturan. Pemerintah Pusat telah mensimplifikasi prosedur investasi dengan One Single Submission (OOSS), tinggal bagaimana Pemerintah daerah NTB mampu menterjemahkannya dalam hal yang lebih teknis sesuai dengan kondisi daerah. Upaya ini memungkinkan investor tidak perlu mendatangi berbagai Kementerian/Lembaga baik di pusat ataupun pemerintah daerah untuk mengurus perijinan.
Tidak hanya itu, isu Sumber Daya Manusia (SDM) terutam,a SDM local harus menjadi hal yang penting. NTB memiliki banyak tenaga kerja, namun untuk mendapatkan yang terlatih dan terdidik sangat terbatas karena kapasitas mereka belum optimal, nah disinilah peran pemerintah daerah NTb untuk dapat mempercepat pembangunan SDM local yang handal.
Di bidang fiskal, pemerintah memberikan insentif pajak dan insentif belanja. Insentif pajak contohnya tax holiday, tax allowance, exemption import, tax free import duty. Pada insentif belanja, contohnya mendorong belanja pada sektor-sektor tertentu, menciptakan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) untuk area efisiensi produksi.
Masyarakat di sekitar Destinasi Tujuan Wisata (DTW) harus dapat menjadi tuan rumah yang baik bagi wisatawan yang berkunjung. Selain itu, tentunya mereka juga dapat ikut menciptakan iklim pariwisata yang kondusif. Melibatkan masyarakat lokal dalam semua aktifitas pembangunan khususnya pariwisata akan memberikan kekuatan moril dan menjadikan masyarakat merasa memiliki setiap aktifitas pembangunan yang ada. Keseimbangan iklim investasi dan kondusifitas daerah akan berdampak kepada lancarnya aktifitas ekonomi di daerah.
Ket* : Peneliti utama Lombok Research Center