Berlomba Menjadi Desa Wisata

Oleh : Maharani
Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki pesona yang memang bisa dikatakan cukup unik. Baik dari sisi bentang alamnya maupun budayanya. Tidak heran jika beberapa tahun terakhir ini, NTB mendapat beberapa penghargaan dibidang pariwisata.
Pariwisata  NTB  meraih tiga penghargaan   pada ajang World Halal Tourism Award 2016 di Abu Dhabi, Uni Arab Emirate (UEA). Novotel Lombok Resort Villas meraih penghargaan  World’s Best Halal Beach Resort.  Sembalun  meraih penghargaan World’s Best Halal Honeymoon Destination dan www.wonderfullomboksumbawa.com meraih penghargaan  World’s Best Halal Tourism Website.
Penghargaan ini mengulang prestasi tahun 2015 lalu. Lombok dinobatkan sebagai World’s Best Halal Honeymoon Destination dan Worlds Best Halal Tourism Destination dalam ajang The World Halal Travel Summit Exhibition 2015 lalu.
Yang terbaru yaitu pada APPSI Gubernur Awards yang diadakan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI), NTB meraih penghargaan dibidang pariwisata untuk wisata halal dan Kawasan Mandalika awal 20019 ini.
Yang menarik dari bidang pariwisata di NTB selain memiliki beberapa objek destinasi wisata pantai seperti Kuta Mandalika, Senggigi, Gili MATRA (Meno, Air, dan Trawangan) dan yang lainnya yaitu pemerintah daerah sedang mendorong percepatan pembentukan Desa Wisata.
Tahun 2017 yang lalu, Dinas Pariwisata NTB mengalokasikan setidaknya Rp1,2 miliar dari dana APBN dan APBD guna pengembangan 10 desa wisata di NTB hingga akhir tahun ini. Selain dana tersebut, setidaknya ada dana bantuan CSR yang diperoleh dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk untuk membangun 20 homestay sebesar Rp15 juta per unit.
Tidak hanya pemerintah daerah, beberapa asosiasi pegiat pariwisata pun berlomba-lomba mendorong terbentuknya desa wisata. Di akhir tahun 2018 yang lalu, dimuat di republika.co.id Assosiasi Pariwisata Islam Indonesia (APII) Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menggagas konsep program pembentukan 100 desa wisata halal di Lombok dan Sumbawa, NTB. Ketua Umum APII, Fauzan Zakaria mengatakan, selain untuk memperkuat branding NTB sebagai destinasi wisata halal dunia, 100 desa wisata juga diharapkan mampu memberi diferensiasi dan mengimbangi angka kunjungan wisatawan yang terus meningkat ke daerah ini ke depan. Pemerintah desa di NTB pun berlomba-lomba membuat program desa wisata. Ada atau tidak ada potensi yang dimilik dan ditonjolkan, semua merasa layak menjadi desa wisata. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lombok Research Center (LRC) sejak tahun 2017 sampai 2018, 99% desa membuat desa wisata menjadi program unggulan di Desanya. Yang menarik dari hasil penelitian yang dilakukan bahwa pemerintah desa terkesan ikut-ikutan dan cendrung tidak memiliki konsep yang jelas mengenai desa wisata. Yang ditemukan di lapangan adalah, pemerintah desa hanya memandang dari sisi budayanya saja untuk membuat desa wisata. Sehingga yang terjadi program yang dihasilkan hanya sebatas pengadaan gendang beleq dan perangkat seni lainnya.
Menariknya lagi, seperti yang ditulis oleh Aprillah dilaman facebooknya, Berbagai festival tradisi dan budaya diadakan di Lombok beberapa tahun terakhir. Bahkan ada semacam gerakan inventarisasi atau penemuan kembali tradisi atau budaya yang hilang. Sebagai upaya pelestarian, gerakan-gerakan tersebut jelas diperlukan. Namun terkadang, logika dan motif ekonomi lebih dikedepankan. Artinya,
penemuan kembali budaya dan tradisi semata demi dan untuk komoditi turisme. Manifestasinya mewajah dalam bentuk Desa wisata di mana-mana. Ini bukan perkara justifikasi moral salah – benar, hanya menawarkan sudut pandang.
Melihat blue print pembangunan jangka menengah NTB pun masih setengah-setengah di terjemahkan oleh dinas terkait. Dalam penyampain visi misinya Gubernur Doktor Zulkiflimansyah menyempaikan, Visi kepemimpinannya adalah “Mewujudkan NTB yang Gemilang”. Visi itu lanjut Doktor Zul merupakan refleksi dari pemaknaan atas ungkapan Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghofur  atau daerah yang aman, nyaman dan menyenangkan, dimana hidup dan kehidupannya dipenuhi hikmah dan keberkahan.
Untuk mewujudkan visi tersebut, lanjut Gubernur, dibutuhkan sinergi dari segenap perangkat pemerintah dalam menjalankan  8 misi pembangunan yang akan ditempuh, serta menjadi arah dan kebijakan RPJMD NTB 2018-2023. Kedelapan misi tersebut adalah pertama, Percepatan perwujudan rehabilitas rekonstruksi pasca gempa, dengan konsep membangun yang transparan; Kedua, Percepatan perwujudan masyarakat madani yang beriman dan berkarakter dengan prinsip dasar menghargai kemanusiaan, keberagaman dan kesetaraan gender yang proporsional; Ketiga, Percepatan penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan dengan mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan memberi nilai tambah tinggi; Keempat, Percepatan peningkatan daya saing manusia sebagai pondasi daya saing daerah yang lebih kompetitif; Kelima, Percepatan transformasi birokrasi menjadi birokrasi yang bersih dan melayani; Keenam, Mempercepat pengelolaan sumber daya dan lingkungan yang produktif dan berkelanjutan; Ketujuh, Mempercepat pengembangan infrastruktur penopang sektor pariwisata, industri sektor unggulan serta kawasan strategis; Kedelapan, Menegakkan hukum yang berkeadilan dan memantapkan stabilitas keamanan.
Khusus untuk desa wisata dalam menerjemahkan visi misi tersebut, gubernur merincikannya dalam lima bidang program. Dimana desa wisata masuk kedalam program yang ke empat yaitu Keempat, Pembangunan Pedesaan dan Lingkungan. Dalam hal ini akan dilakukan pembangunan desa wisata potensial dan BUMDES potensial, mendorong penggunaan energi terbarukan dan menuntaskan kebutuhan air bersih, rumah layak huni, irigasi  dan bendungan serta pengembangan desa pesisir dan lingkar hutan yg produktif dan ramah lingkungan.
Masih terbatasnya sumberdaya manusia yang mampu menejawantahkan konsep desa wisata di desa masing-masing menjadi sebuah kendala yang harus benar-benar menjadi skala prioritas. Sumberdaya manusia yang mampu menjadi motor penggerak di desa masih sangat kurang. Saat ini masyarakat kita lebih banyak yang tidak mau mengikuti proses. Yang ada di di pola pikir kebanyakan masyarakat hanya melihat hasil akhirnya saja. Kurang mau terlibat dalam proses (masih berfikir instan).
Masalah infrastruktur dasar juga menjadi masalah yang harus diselesaikan dengan cepat. Kendala jalan, air bersih dan layanan listrik menjadi hal yang wajib dituntaskan. Khusus untuk ketersediaan air bersih, Pemprov NTB sendiri telah menggelontorkan sekitar Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar per tahun untuk pengentasan masalah krisis air bersih di NTB. Sementara ini, kekeringan di 16 desa ini sudah menunjukkan adanya kemajuan dengan adanya tandon-tandon air di daerah tersebut. Namun permasalahan yang masih tersisa adalah masih sulitnya menemukan sumber air untuk mengisi tandon air yang telah dibangun. Dengan adanya program pemerintah membangun sumur bor, diharapkan permasalahan tersebut dapat diatasi.
Hal ini juga sudah dikeluhkan langsung oleh Gubernur, mengenai kendala infrastruktur Toilet yang tidak layak dan Penerangan Jalan Umum (PJU) di destinasi wisata. Dikarenakan, gubernur memiliki pengalaman langsung di objek wisata yang dikunjunginya. Ini menjadi sebuah catatan penting dan koreksi kita bersama baik pegiat pariwisata, pelaku, pemerintah daerah untuk bersama-sama duduk merumuskan konsep yang berkelanjutan untuk terbentuknya desa wisata yang benar-benar menjadi desa wisata.