Situasi Penduduk Lanjut Usia di NTB

Menurut Undang Undang  Nomor 13 Tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia dan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan, yang dimaksud dengan penduduk lanjut usia (lansia) yaitu setiap penduduk yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Lansia merupakan penduduk yang paling rentan karena ketidakstabilan finansial, kesehatan dan sangat membutuhkan pendampingan.

Data Susenas Maret 2022 memperlihatkan sebanyak 10,48 persen penduduk Indonesia adalah lansia, dengan nilai rasio ketergantungan lansia sebesar 16,09. Artinya, setiap satu orang lansia didukung oleh sekitar 6 orang penduduk usia produktif (umur 15-59 tahun). Lansia perempuan lebih banyak daripada laki-laki (51,81 persen berbanding 48,19 persen) dan lansia di perkotaan lebih banyak daripada perdesaan (56,05 persen berbanding 43,95 persen). Sebanyak 65,56 persen lansia tergolong lansia muda (60-69 tahun), 26,76 persen lansia madya (70-79 tahun), dan 7,69 persen lansia tua (80 tahun ke atas).
 
PENDUDUK LANSIA NTB
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk lansia di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) mencapai 8,74 persen atau  478.385 jiwa. Jumlah penduduk lansia ini turun dibandingkan tahun sebelumnya (2021) yang mencapai 9,43 persen atau 509.728 jiwa . Menurut jenis kelamin, lansia laki-laki pada 2022 mencapai 47,88 persen (229.051 jiwa) dari dan lansia perempuan sebesar 52,12 persen (249.334 jiwa) dari total penduduk lansia di NTB.

Jumlah lansia di NTB yang cenderung mengalami penurunan  diperkirakan dipengaruhi oleh kualitas hidup yang masih rendah, terutama angka harapan hidup di NTB yang masih dalam kategori rendah. Kontribusi lansia di NTB terhadap kegiatan sosial-ekonomi masih cukup besar, meskipun para lansia tersebut masih mengindung pada anaknya. Seperti masyarakat Indonesia pada umumnya, kohesi sosial di NTB masih sangat kuat dan ini dapat dibuktikan dengan masih banyaknya para lansia yang tinggal tiga generasi dalam satu rumah. Menurut BPS, umumnya lansia di NTB sebagian besar tinggal dalam keluarga tiga generasi (34,45%), lansia yang tinggal bersama keluarga inti sebesar 32,77 persen, lansia yang masih tinggal bersama pasangannya sebesar 22,52 persen, lansia yang hidup sendiri sebesar 8,43 persen, dan lainnya sebesar 1,82 persen.

Setiap individu yang memasuki usia lanjut akan mengalami kemunduran terutama pada kemampuan fisik yang dapat mempengaruhi penurunan pada peran-peran sosialnya. Selain itu juga terjadi penurunan fungsi organ tubuh yang berdampak terhadap penurunan aktivitas kehidupan sehari-hari sehingga tingkat kemandiriannya semakin berkurang. Tingkat rasio kemandirian lansia di Provinsi NTB pada 2022 sebesar 13,72 persen.

Rasio kemandirian lansia di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perkotaan, dimana untuk wilayah pedesaan mencapai 13,97 persen sedangkan di perkotaan mencapai 13,48 persen. Begitu pula terhadap rasio kemandirian lansia perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan lansia laki-laki. Rasio ketergantungan lansia perempuan di NTB sebesar 14,26 persen, lebih tinggi dari lansia laki-laki sebesar 13,18 persen.
 
KONDISI SOSIAL EKONOMI LANSIA NTB
Rasio kemandirian lansia salah satunya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan yang merupakan dasar pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang. Tingkat pendidikan juga akan mempengaruhi fungsi kognitif seseorang dimana hal ini memiliki peran yang sangat penting dalan memori dan sebagian besarnya akan mempengaruhi aktivitas sehari-hari. Angka Melek Huruf (MH) lansia di NTB tahun 2022 mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Pada 2022 angka melek huruf lansia mencapai 55,88, meningkat dari 2021 yang mencapai 53,13. 

Meskipun angka melek huruf lansia di NTB mengalami peningkatan namun, rata-rata lama sekolah lansia masih tergolong sangat rendah, yaitu mencapai 3,32 tahun. Hal ini tentunya mempengaruhi kondisi kehidupan sosial para lansia di NTB. Sebagian besar lansia di NTB berpendidikan Sekolah Dasar (SD) ke bawah, yaitu 32,16 persen lansia di NTB tidak pernah sekolah, 30,70 persen tidak tamat SD, kemudian 20,23 persen lansia tamat SD/sederajat, 5,70 persen lansia dengan pendidikan SMP/sederajat, 6,33 persen lansia berpendidikan SMA/sederajat, dan 4,87 persen lansia berpendidikan tinggi.

Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender sejak usia muda telah berdampak terhadap adanya kesenjangan pendidikan penduduk NTB ketika memasuki usia lansia. Hal ini terlihat dari kesenjangan tingkat pendidikan antara lansia laki-laki dan perempuan yang cukup lebar. Persentase lansia perempuan NTB yang tidak pernah sekolah pada 2021 mencapai 44,96 persen. Angka ini dua kali lipat lebih besar dibandingkan dengan lansia laki-laki yang tidak pernah sekolah sebesar 21,39 persen. Begitu juga pada tingkat pendidikan yang lebih tinggi, angka persentase lansia laki-laki yang tamat SM/sederajat dan perguruan tinggi jauh lebih besar daripada lansia perempuan, yaitu 13,84 persen dan 7,26 persen berbanding 6,14 persen dan 2,28 persen (BPS-Profil Lansia Indonesia 2021).

Selanjutnya apabila melihat tingkat ekonomi lansia di NTB jika dihitung dari pengeluaran rumah tangga per kapita maka, paling banyak berada pada 40 persen terbawah. Kemiskinan pada kelompok lansia merupakan dampak dari penurunan kapasitas kerja lansia yang disebabkan oleh keterbatasan fisik. Terlebih saat memasuki masa pensiun, lansia akan mengalami penurunan pendapatan. Dengan kondisi kesehatan yang semakin menurun, lansia memiliki kebutuhan yang lebih tinggi untuk mendapatkan layanan kesehatan. Struktur pasar kerja di NTB yang masih didominasi oleh sektor informal memperparah situasi yang dihadapi lansia karena tidak memiliki jaminan pensiun atau jaminan hari tua. Persentase lansia yang masih bekerja di NTB pada 2022 mencapai 55,45 persen dimana 89,72 persen diantara lansia yang bekerja merupakan lansia dengan tingakat pendidikan sangat rendah dan sebagian besarnya bekerja pada sektor informal (60,04%).
 
KONDISI KESEHATAN LANJUT USIA
Kemampuan untuk memperoleh pendidikan dan upaya meningkatkan kesejahteraan melalui pekerjaan yang layak salah satunya dipengaruhi oleh kondisi kesehatan. Angka kesakitan lansia di Provinsi NTB sebagian besar masih didominasi oleh lansia yang berada di daerah perdesaan. Pada tahun 2022 angka kesakitan lansia di perdesaan sebesar 35,10 persen, turun dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 40,39 persen. Kebalikan dari daerah perdesaan, angka kesakitan lansia NTB untuk daerah perkotaan mengalami kenaikan sebesar 0,008 persen dari 26,65 persen pada 2021 menjadi 27,73 persen pada 2022.
Tuntutan perjanjian kerja, tuntutan ekonomi yang lebih tinggi di daerah perkotaan, serta kebutuhan untuk sekedar mengaktualisasikan diri telah mempengaruhi kondisi kesehatan para lansia di daerah perkotaan. Hal ini tentunya secara langsung juga mempengaruhi tingkat kesehatan fisik dan mental lansia yang berada di daerah perkotaan.
 
PERLINDUNGAN SOSIAL
Penyelenggaraan perlindungan sosial di NTB sebagian besar masih didominasi oleh program dari pemerintah pusat. Meskipun sebenarnya skema pendanaan program perlindungan lansia dapat dilakukan oleh pemerintah daerah walaupun adanya keterbatasan anggaran. Pada tahun 2022, jumlah persentase rumah tangga lansia di Provinsi NTB yang menerima Program BPNT sebanyak 29,03 persen, lebih sedikit dibandingkan tahun 2021 sebesar 33,96 persen.
Sedangkan untuk rumah tangga lansia yang terdaftar dalam Program PKH mengalami peningkatan, yaitu 22,59 persen dari 21,49 persen pada tahun 2021. Hal ini menandakan adanya dukungan dari pemerintah daerah terhadap pelaksanaan program pemerintah pusat melalui peningkatan layanan atau dukungan khusus kepada penduduk lansia di NTB di dalam mengakses bantuan.

Dukungan tersebut juga terlihat dari jumlah persentase rumah tangga lansia terhadap kepemilikan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) yang semakin meningkat, yaitu 16,05 persen pada 2021 naik menjadi 18,12 persen pada 2022. Selanjutnya dukungan positif itu juga telah berhasil meningkatkan lansia terhadap akses jaminan kesehatan sebesar 1,59 persen pada 2022 dari tahun sebelumnya sebesar 66,58 persen. Namun situasi ini berbeda dengan jaminan sosial yang harus diterima oleh para lansia dimana, pada 2022 jumlah persentase rumah tangga lansia yang memperoleh jaminan sosial sebesar 8,09 persen lebih sedikit dibandingkan dengan tahun sebelumnya sebesar 9,68 persen.
 
 
 
APA YANG HARUS DILAKUKAN ?
Apa yang dipaparkan di atas tentunya memberikan gambaran mengenai kondisi penduduk lanjut usia yang ada di Provinsin NTB untuk dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan didalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia di NTB, terlebih tantangan di masa depan dengan banyaknya jumlah penduduk lansia.
Berdasarkan hasil diskusi tematik yang dilakukan oleh Lombok Research Center (LRC) pada bulan Januari yang lalu, menyimpulkan bahwa masih terdapat beberapa tantangan yang perlu untuk diperbaiki dalam penyelenggaraan perlindungan sosial di NTB. Berbagai tantangan tersebut antara lain adalah perlunya adanya perbaikan terhadap layanan perlindungan sosial yang bukan hanya kepada lansia dengan kondisi miskin dan terlantar, namun penting bagi pemerintah daerah juga memperhatikan para lansia yang berada di atas garis kemiskinan.

Kebijakan mengenai lansia di NTB juga harus melibatkan lintas sektoral, tidak seperti yang sekarang masih menjadi tugas dinas sosial dan kesehatan saja. Kemudian pemerintah daerah perlu menggunakan pendekatan yang inklusif dalam menyasar kelompok lansia sebagai kelompok usia secara keseluruhan. Dalam pelaksanaan program lansia harus menjangkau kelompok lansia secara umum, karena setiap lansia tentunya memiliki kebutuhan khusus terlepas dari status ekonominya.

Terkahir adalah perlunya pemerintah daerah memiliki basis data yang kuat dan akurat. Sebaik apapun program yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, apabila tidak didukung oleh perbaikan data maka pelayanan dan pengembangan kebijakan yang ditempuh tidak akan memberikan dampak signifikan terhadap hak-hak para lansia di NTB. Skema yang selama ini hanya pada lansia yang ada di kelompok ekonomi bawah perlu dirubah agar dapat menyasar lansia secara keseluruhan yang kemudian dilanjutkan dengan keberadaan data terpilah, yaitu antara kelompok usia yang masih produktif ataupun tidak serta berdasarkan kebutuhan setiap lansia yang dibutuhkan.
 
Herman Rakha / Peneliti LRC