HARI TANI NASIONAL 2023 : APA KABAR PERTANIAN NTB GEMILANG

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu daerah penopang swasembada pangan nasional. Predikat ini tentunya tidak terlepas dari kekayaan sumber daya alam NTB yang melimpah dan dipercaya mampu memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat serta mendorong perekonomian daerah. Namun sangat disayangkan bahwa, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 yang menyebutkan bahwa, dalam kurun 2018-2022 sumbangan sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terus menurun. Pada 2018 kontribusi sektor pertanian mencapai 23,48 persen dan terkahir pada 2022 kontribusinya menjadi 21,39 persen atau terjadi penurunan sebesar 2,09 persen (BPS, 2023).
Sebagai daerah penopang swasembada pangan nasional, artinya Provinsi NTB mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Namun pada kenyataannya tidak seperti itu.  Mengutip data terakhir BPS (Juli 2023), jumlah penduduk yang berkerja pada sektor pertanian berjumlah 966.397 orang dari total 2.689.658 orang penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja di NTB. Jumlah ini masih lebih rendah dibandingkan dengan yang bekerja pada sektor jasa sebanyak 1.229.531 orang namun, masih lebih banyak dibandingkan dengan yang bekerja pada sektor industri sebanyak 493.730 orang. Kondisi ini cukup disayangkan, fakta di lapangan tidak menunjukkan ciri daerah penopang swasembada pangan yang melekat di daerah yang dikenal dengan sebutan bumi gora ini.

 
Situasi Sektor Pertanian Dalam Visi NTB Gemilang
Didalam visi NTB Gemilang, sektor pertanian dalam mewujudkan visi tersebut memiliki posisi yang sangat penting. Dimana sektor pertanian bersama dengan sektor pariwisata dan sektor industri menjadi tumpuan dalam upaya menanggulangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan, dan pertumbuhan ekonomi yang inklusif dalam mewujudkan NTB Sejahtera dan Mandiri.

Namun apabila melihat kenyataan di lapangan saat ini, perhatian atau fokus pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah daerah terhadap sektor pertanian tidak sebanding dengan perhatian yang ditujukan pada sektor pariwisata dan sektor industri. Meskipun dalam struktur perekonomian NTB, kontribusi kedua sektor tersebut masih lebih kecil dibandingkan dengan kontribusi sektor pertanian secara luas. Selanjutnya, dipertegas lagi dengan keadaan tenaga kerja di sektor pertanian yang semakin berkurang, terutama minat pemuda NTB untuk berkiprah pada sektor pertanian[1].

Minat pemuda di NTB untuk terjun di sektor pertanian dalam tiga tahun terakhir ini cenderung mengalami penurunan. Data BPS menyebutkan pada 2022 persentase pemuda yang bekerja di sektor pertanian sebesar 24,58 persen, lebih rendah dibandingkan pada 2020 sebesar 26,58 persen. Terhadap sektor industri juga mengalami hal yang sama, dimana minat pemuda di NTB untuk berkiprah pada sektor industri cenderung menurun dalam tiga tahun terakhir. Pada 2022 terdapat 19,98 persen pemuda NTB yang bekerja pada sektor industri, turun dibandingkan dengan tahun 2020 yang sebesar 20,19 persen. Adanya peralihan prioritas pengembangan pembangunan dari sektor pertanian ke sektor pariwisata telah berdampak terhadap peningkatan minat pemuda NTB untuk terjun ke dalam sektor jasa. Hal ini dibuktikan dengan semakin meningkatnya persentase pemuda yang terserap di sektor ini, yaitu sebesar 55,45 persen pada 2022 dan lebih tinggi dari tiga tahun terakhir sebesar 53,22 persen pada 2020 (BPS: Statistik Pemuda Indonesia 2020-2022).

Selain itu, peran sektor pertanian dalam menopang terwujudnya visi NTB Gemilang masih menghadapi permasalahan klasik ketika musim tanam tiba, yaitu permasalahan kelangkaan pupuk. Permasalahan ini cukup rumit, terutama di tingkat petani. Selain ketersediaan stok, permasalahan yang sering terjadi adalah terkait dengan sistem distribusi, termasuk sistem pembelian yang dilakukan oleh petani yang seringkali berubah. Update data yang masih minim terhadap penerima pupuk subsidi menyebabkan pendistribusian Kartu Tani tidak berjalan efektif dan berdampak pada persoalan ketidaktepatan sasaran dan maraknya penyelewengan.

Umumnya petani di NTB masih menjalankan sistem pertanian konvensional yang mengandalkan pada input pupuk kimia yang berlebihan untuk memaksimalkan produktivitas tanamannya. Hal ini juga mempengaruhi terhadap serapan pupuk bersubsidi yang sangat tinggi namun, pupuk yang disiapkan oleh pemerintah tidak sesuai dengan kebutuhan riil para petani. Untuk mensiasati kekurangan pasokan pupuk bersubsidi, para petani umumnya juga menutupi kekurangan tersebut dengan cara membeli pupuk nonsubsidi. Namun setali tiga uang, pasokan pupuk nonsubsidi juga tidak sesuai dengan harapan para petani karena di banyak kios pupuk, stok pupuk nonsubsidi juga kosong.
 
Kontribusi Maksimum, Pemasukan Minimum
Meskipun sektor pertanian menjadi salah satu sektor yang sangat penting dalam upaya mewujudkan visi NTB Gemilang, terutama dalam upaya mengatasi angka kemiskinan di NTB, namun masih belum mampu memberikan dampak signifikan terhadap pengurangan kemiskinan di wilayah perdesaan. BPS dalam laporannya menyebutkan pada periode Maret 2023, angka kemiskinan di wilayah perdesaan Provinsi NTB mencapai 13,95 persen, lebih tinggi dibandingkan 6 bulan sebelumnya atau pada periode September 2022 sebesar 13,66 persen. Bahkan bila dibandingkan periode yang sama pada pada Maret 2022 sebesar 13,24 persen maka, kemiskinan di perdesaan pada Maret 2023 terjadi peningkatan.

Kontribusi sektor Pertanian, Kehutanan, dan Perikanan sebesar 21,39 persen pada PDRB Provinsi NTB di tahun 2022 serta penurunan angka kemiskinan di NTB belum dibarengi dengan peningkatan nilai tambah yang signifikan bagi para petani. Rata-rata pemasukan bersih sektor pekerja di sektor pertanian berkisar Rp 776,8 ribu per bulan pada 2022. Nilai ini kalau dibandingkan dengan standar garis kemiskinan di perdesaan versi BPS yang sebesar Rp 448.965 perbulan maka, nilai tersebut tidak masuk kategori miskin. Namun, pendapatan rata-rata tersebut paling rendah dibandingkan dengan sektor ekonomi lainnya, yaitu Rp 1.5 juta untuk sektor industri dan Rp 1.035 juta untuk sektor jasa.

Secara nasional, rendahnya tingkat kesejahteraan petani dapat juga terlihat dari pengeluaran rumah tangga pertanian (RTP) dan secara umum didominasi oleh pengeluaran untuk makanan sebesar 57,66%, dibandingkan dengan pengeluaran untuk nonmakanan sebesar 42,34%. Hal ini mengindikasikan petani masih perlu berjuang untuk sekadar memenuhi kebutuhan makanan.

Begitu pula terhadap tingkat pendidikan penduduk berumur 5 tahun keatas di rumah tangga berusaha di pertanian dan rumah tangga buruh tani  di Indonesia masih cukup rendah, selama tahun 2020-2022 persentase penduduk yang tidak sekolah dan tamat SD di rumah tangga berusaha di pertanian tiap tahunnya lebih tinggi dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Pada tahun 2022 terlihat ada peningkatan tingkat pendidikan yang ditamatkan penduduk, jika sebelumnya terbanyak tidak sekolah maka ditahun ini terbanyak adalah tamat SD sebesar 29,70%. Penduduk yang tamat dari perguruan tinggi pada tahun 2022 sebesar 4,14% juga meningkat dibandingkan tahun 2021 yang hanya sebesar 3,77%. Peningkatan persentase penduduk yang tamat perguruan tinggi juga terjadi pada rumah tangga buruh tani, tahun 2022 persentasenya sebesar 2,27%.
 
Nilai Tukar Petani: Produktivitas Yang Tidak Sebanding
Dalam menilai produktivitas serta kesejahteraan petani, selama ini menggunakan acua Nilai Tukar Petani (NTP). NTP adalah perbandingan harga yang diterima petani dan harga yang harus dibayarkan oleh mereka. Berdasarkan data BPS, angka NTP di subsektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, serta perikanan pada turun sebesar -1,30 persen dari tahun 2021 ke tahun 2022. Sebagai perbandingan, NTP turun sebeesar -0,20 persen pada tahun sebelumnya.

Namun, data BPS juga menunjukkan bahwa, meskipun indeks harga yang diterima petani melalui produksinya meningkat sebesar 2,54 persen pada 2022, indeks harga yang harus dibayar oleh petani untuk memenuhi konsumsi rumah tangganya juga naik, bahkan kenaikannya lebih besar yaitu mencapai 4,01 persen. Pembayaran konsumsi rumah tangga mencakup makanan, minuman, dan perlengkapan rutin rumah tangga.

Saat ini telah banyak pendapat dan analisis dari beberapa ahli yang menyebutkan bahwa NTP belum dapat menggambarkan kondisi kesejahteraan petani secara utuh. Hal ini disebabkan karena perhitungan NTP hanya mengukur harga tanpa mempertimbangkan penghasilan yang diteriama oleh petani berdasarkan hasil panen dari luasan lahan garapan yang dimilikinya. Dengan luas lahan garapan yang relatif kecil, memang peran harga terhadap penerimaan petani bisa jadi tidak signifikan.

Perubahan iklim yang terjadi menyebabkan naiknya suhu permukaan serta menambah tingkat kerentanan terhadap kejadian bencana alam hidrometeorologi dimana, hal ini juga akan semakin menambah risiko gagal panen. Dalam konteks geografis dan ekologis di Provinsi NTB, hal ini akan turut menjadi suatu tantangan karena sebagian besar pada umumnya petani di daerah inii masih mengimplementasikan sistem budidaya konvensional. Secara tidak langsung strategi mata pencaharian (livelihood) yang digunakan akan berlandaskan pada pengetahuan-pengetahuan tradisional, seperti ketinggian lahan, ketersediaan sumber air, dan kesuburan tanah.
 
Rekomendasi Kebijakan
Tentunya penulis yang juga merupakan bagian dari masyarakat NTB sangat mengapresiasi beberapa program pembangunan, terutama dalam sektor pertanian untuk mewujudkan visi NTB Gemilang. Dimana salah satu tujuan dari program-program tersebut adalah pengentasan kemiskinan melalui upaya peningkatan produksi, nilai tambah dan mendorong pertumbuhan ekonomi yang dimulai dari daerah perdesaaan.

Untuk itu penulis juga sangat berharap di tahun 2023 ini terdapat kebijakan yang mengarah pada akselerasi program untuk meningkatkan kesejahteraan petani di NTB. Industrialisasi yang menjadi program unggulan visi NTB Gemilang memang mensyaratkan adanya peningkatan nilai tambah dari produk pertanian namun, seharusnya pemerintah daerah juga membarengi dengan kebijakan terhadap intervensi harga pada beberapa komoditas unggulan pertanian NTB agar ketika panen raya tiba harganya tidak jatuh atau dikendalikan oleh para tengkulak.

Selain itu, pemerintah juga harusnya terus mengupayakan adanya pengembangan serta sosialisasi mengenai penggunaan bibit unggul. Selama ini pengembangan bibit unggul hanya dilakukan oleh lembaga-lembaga riset negara namun, keberadaan Badan Riset Daerah (BRIDA) NTB sudah saatnya untuk dimaksimalkan fungsinya dan jangan hanya berkutat pada upaya penciptaan inkubasi UMKM saja. BRIDA NTB harus juga mampu mengembangkan benih-benih pertanian yang sesuai dengan karakter geografis Provinsi NTB.

Bahkan kalaupun BRIDA NTB masih belum mampu secara mandiri untuk melakukan riset-riset yang terkait dengan pengembangan benih pertanian maka, BRIDA NTB harus juga diarahkan untuk dapat menggandeng pihak swasta untuk mendukung upaya riset-riset pertanian. Pada akhirnya, benih merupakan barang modal yang menentukan kualitas dan nilai produk petani. Usaha untuk memastikan efisiensi dalam produksi dan distribusinya amat penting. Untuk itu, pemerintah Provinsi NTB harus juga memperkuat kebijakannya melalui regulasi yang mampu menjadi pendorong bagi usaha-usaha penangkaran dan perbanyakan benih di NTB.

Sumberdaya lahan kering di NTB mencapai sekitar 84% dari total luas lahan pertanian, namun kekayaan alam tersebut belum dikelola dengan optimal karena keterbatasan SDM, teknologi pertanian, infrastruktur penunjang, dan manajemen pembangunan pertanian yang menyeluruh untuk semua jenis lahan. Salah satu kendala utama pertanian lahan kering adalah ketersediaan air. Kondisi infrastruktur irigasi yang masih kurang di NTB akan menambah tantangan bagi pengelolaan lahan kering. Berdasarkan hasil penelitian CIPS (Center for Indonesia Policy Studies) pada 2021 mennyatakan bahwa hanya 50 persen petani di luar pulau Jawa yang memiliki akses irigasi. Untuk itu dalam pembangunan irigasi di NTB harus memperhatikan faktor geografis, seperti kemiringan lahan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah adalah memperbanyak keberadaan embung-embung mini.

Dalam hal ini maka, penting untuk merancang kebijakan agar di setiap desa terdapat embung mini karena berdasarkan hasil beberapa kajian terkait dengan keberadaan embung akan mampu meningkatkan produksi pangan dari indeks pertanaman 1,4 kali menjadi 2-3 kali setahun. Secara operasional embung berfungsi mendistribusikan dan menjamin kontinuitas ketersediaan pasokan air untuk keperluan tanaman ataupun ternak dimusim kemarau dan mencegah banjir dimusim penghujan. Tak hanya itu, dalam embung juga dapat disebar ikan untuk usaha perikanan dan mencegah perkembangan jentik nyamuk.

Terakhir, perlu adanya perubahan paradigma didalam memperlakukan palaku usaha yang terdapat di sepanjang rantai pertanian (contoh: pedagang pengepul dan usaha penggilingan). Kelompok ini harus dipandang juga sebagai salah satu aktor penting yang dapat menentukan nilai tambah dari produk pertanian. Untuk itu, kebijakan yang dapat ditempuh adalah dengan pemberian insentif untuk kelompok ini agar dapat berinvestasi pada pasilitas pengolahan pasca panen.

Semoga dengan peringatan Hari Tani Nasional yang akan kita peringati bersama pada 24 September 2023 yang akan datang menjadi tonggak bagi kemajuan dan kebangkitan sektor pertanian dalam menopang terwujudnya visi NTB Gemilang.

[1] https://www.suarantb.com/2021/05/03/industrialisasi-menuju-ntb-gemilang/
 

Penulis : Suherman HM. Sahir (Peneliti LRC)