Kelompok Konstituen (KK) merupakan kelompok masyarakat yang dibentuk oleh Lombok Research Center sebagai mitra BaKTI dalam Program Inklusi, kelompok konstituen sebagai ujung tombak Program Inklusi akan menjadi penyambung harapan masyarakat rentan nantinya ke pemerintah daerah maupun pemerintah pusat melalui layanan berbasis komunitas. Saat ini LRC sudah membentuk kelompok konstituen di 15 desa dampingan di Lombok Timur. Untuk itu, LRC secara kontinyu melakukan kontrol terhadap aktivitas dan capaian KK dengan melakukan penguatan melaui diskusi bulanan secara rutin.
Pada kesempatan ini Rabu, 26/7 2023 Kelompok Konstituen Lentera Mas, Desa Lendang Nangka Utara, Kec. Masbagik, Lombok Timur laksanakan kegiatan diskusi bulanan di Kantor Desa Lendang Nangka Utara yang dihadiri pengurus dan anggota. Ada beberapa point yang disampaikan oleh Lalu Khaidir selaku Asisten Program Inklusi sebelum memulai diskusi, pertama dibutuhkan masukan dari anggota KK yang akan menjadi bahan evaluasi untuk membantu lemabaga dalam menyusun rancangan program tahun 2024. Kedua, jika KK ingin melakukan peremajaan atau perubahan struktur bisa dilakukan melalui komunikasi dengan kepala desa agar dibuatkan SK baru. Ketiga, setiap capaian yang diperoleh kelompok konstituen baik dalam penanganan kasus atau dalam membantu perlindungan sosial masyarakat agar lebih dirapikn lagi pencatatan dan dokumentasinya, karena ini akan menjadi data yang akan membantu lembaga baik, LRC, BaKTI dan Program Inklusi untuk menyusun program ke depannya.
“Diskusi ini sebenarnya termasuk kegiatan penguatan KK, dan jika ke depan dibutuhkan penguatan dari sisi kapasitas kami (LRC-BaKTI/Program Inklusi) siap mendatangkan narasumber untuk memberikan materi yang diperlukan, jadi silakan semuanya sharing apa saja kendala atau kebutuhan yang belum terpenuhi,” kata Khadir saat memulai diskusi.
Bebera hal yang diinginkan kelompok kostituen Lentera Mas yang disampaikan oleh Lalu Samsul Hadi (anggota KK), pertama KK ingin mendapatkan pembinaan untuk menigkatkan kapasitas, seperti mekanisme pencatatan capaian/berita, alur pembuatan adminduk dan perlindungan sosial lainnya (karena yang mengerti hanya 1-2 orang) dan mediasi konflik yang baik. Kedua, keberadaan KK Lentera Mas masih belum banyak diketahui masyarakat, karena itu butuh sosialiasi yang lebih masif yang bisa menjembatani komunikasi antara KK dengan masyarakat. Hadi juga menambahkan jika sebenarnya sudah banyak capaian KK yang berhasil dilakukan, seperti pencegahan pernikahan anak dan membantu masyarakat mengurus adminduk, sayangnya masih kurang di pencatatan. “Saya inginkan ke depannya agar capaian KK bisa terdata dengan baik dan itu nanti bisa ditempel di papan sehingga semua orang bisa tahu apa saja aktivitas kita, dan masyarakat bisa mengenal keberadaan KK itu sendiri”, kata Hadi menambahkan.
Sementara dari anggota KK yang lain membahas tentang isu pernikahan anak yang masih sering terjadi di Lendang Nangka Utara. Permasalahan pernikahan anak merupakan masalah yang sudah mengakar di Lombok Timur tak terkecuali di Desa Lendang Nangka Utara, pernikahan anak masih menjadi masalah yang sulit dientaskan meskipun sudah ada beberapa aturan yang diberlakukan, seperti Perda NTB No.5 Tahun 2021 Tentang Pernikahan Anak, UU No.12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang di dalamnya terdapat pidana bagi siapa saja yang memaksa menikahkan anak di bawah umur dan Peraturan Desa Tentang Pendewasaan Usia Pernikahan yang sudah diterapkan di 254 desa di Lombok Timur. Bahkan, sekolah-sekolah sudah menerapkan denda sebasar 2,5-5 juta bagi siswa yang melakukan pernikahan, nyatanya pernikahan anak masih terus terjadi.
Muhnan (Kawil Dusun Kapitan) menyebut bahwa seolah pernikahan anak ini adalah masalah yang sangat sulit dibendung disebabkan adat merarik, karena ketika seorang anak perempuan sudah dibawa 1×24 jam oleh lawan jenis maka, itu sudah disebut sebagai merarik (kawin lari). Akhirnya daripada menanggung malu, orangtua lebih memilih menikahkan anak-anaknya daripada melanjutkan pendidikan. Padahal menanggung malu paling hanya sebentar saja dibanding harus menanggung masalah seumur hidup. Muhnan menambahkan, setelah disahkannya Perda Tahun 2021 Tentang Pernikahan Anak, ada sekitar 7 kasus laporan pernikahan anak yang ditangani namun itu berhasil dicegah dengan mediasi.
“Masalahnya, terkadang anaknya masih ingin melanjutkan sekolah, namun dari pihak orangtua yang bersikukuh untuk menikahkan anaknya karena tidak mau menanggung malu yang hanya sebentar saja, akhirnya kalau kawil tidak mau menikahkan, mereka menikahkan anaknya secara diam-diam”, ujar Muhnan.
Lalu Khaidir menyebutkan bahwa pernikahan anak ini adalah akar dari masalah yang lain, seperti tidak ada adminduk seperti KK, KTP baru dan akta kelahiran anak, sehingga akan sulit ke depannya untuk mendapatkan layanan sosial, dari sisi kesehatan bagi perempuan karena organ reproduksi yang belum siap akan rentan untuk mengalami kekurangan gizi, keguguran bahkan kematian ibu dan janin, dan dari sisi ekonomi, ini tentunya akan semakin membuat kemiskinan semakin mengakar yang tentunya akan membuat kehidupan akan semakin sulit.
Padahal jika dilihat dari profil Desa Lendang Nangka Utara, desa ini memiliki 27 sekolah, yakni Taman Kanak-Kanak berjumlah 10 buah, SD/MI berjumlah 9, SLTP/MTS berjumlah 4 buah dan SMU/MA/SMK berjumlah 2 buah, sehingga dari sisi pendidikan seharusnya anak-anak di desa lendang nangka utara bisa terpenuhi dengan baik, selain itu desa juga secara aktif selalu turun untuk melakukan mediasi saat ada laporan tentang pernikahan anak, artinya desa tidak tinggal diam saat terjadi pernikahan anak, namun yang sulit diubah adalah pemikiran masyarakat itu sendiri.
Selain memasifkan sosialisasi tentang pencegahan pernikahan anak, pengetahuan masyarakat tentang hukum dan undang-undang juga harus lebih ditingkatkan agar masyarakat tahu apa sanksi yang didapatkan saat melanggar sebuah peraturan. Kedua, bila perlu setiap sekolah mengadakan jam khusus untuk memberikan edukasi kepada siswa untuk mencegah pernikahan anak atau membentuk kegiatan konseling (sesi curhat) yang anggotanya berasal dari siswa itu sendiri. Ketiga, selama ini edukasi tentang pernikahan anak lebih ditujukan untuk perempuan, padahal dalam konteks kebiasaan masyarakat di Lombok Timur, kekuasaan itu terletak pada laki-laki (yang mengajak menikah) sehingga seharusnya kesadaran tentang bahaya pernikahan anak ini juga lebih dimasifkan pada laki-laki. Keempat, memaksimalkan kegiatan keagaaman, adat, sosial lainnya untuk sosialisasi pencegahan pernikahan anak, misalnya melalui hutbah jumat, ceramah sekolah, atau melalui banner-banner yang dipasang di desa.
Baiq Nurul Nahdiat (Staf Komunikasi LRC)