PERDES PERLINDUNGAN SOSIAL DAN PENCEGAHAN PERKAWIANAN ANAK : KOMITMEN DESA AIKMEL UTARA MENJADI DESA INKLUSIF

Memastikan pelaksanaan program perlindungan sosial tepat sasaran, khususnya terhadap masyarakat menjadi salah satu syarat dalam upaya mewujudkan pembangunan yang inklusif. Salah satu upaya dalam memperkuat upaya tersebut dapat dilakukan melalui sebuah regulasi pemeritahan dan kebijakan yang inklusif di tingkat lokal atau desa. Selain itu, kebijakan yang inklusif akan akan menjadi jawaban atas isu-isu sosial yang marak terjadi di tengah masyarakat, seperti masalah pernikahan anak, lansia dan disabilitas.
 
Atas dasar inilah Lombok Research Center sebagai lembaga mitra BaKTI dalam Program INKLUSI bekerjasama dengan Pemerintah Desa Aikmel Utara melaksanakan kegiatan Finalisasi dan Pengesahan Peraturan Desa Aikmel Utara Tentang Perlindungan Sosial dan Pencegahan Perkawinan Anak. Direktur LRC, Suherman secara khusus menyampaikan bahwa LRC sebagai lembaga yang memperjuangkan terciptanya masyarakat inklusif tidak akan berlepas tangan dan secara terus menerus akan membantu Pemerintah Desa Aikmel dalam sosialisasi hingga kebijakan diterapkan pada masyarakat.
 
“Kami sebagai lembaga akan berkomitmen dalam mengawal perdes ini hingga tahap sosialisasi dan penerapan hingga menjembatani pemerintah desa dengan pemerintah daerah dalam pelaksanaan aturan”, kata Suherman dalam sambutannya.
 
Perlindungan sosial penting untuk diangkat untuk menjawab tantangan masyarakat di Desa Aikmel Utara, khususnya bagi kelompok rentan seperti perempuan kepala keluarga yang berjumlah 118 orang, lansia 313 orang, anak stunting 32 orang, pekerja migran 231 orang dan disabilitas 27 orang. (Data kondisi penduduk Desa Aikmel Utara dari laman facebook Lombok Research Center diakses Selasa, 25/7/2023). Sehingga kelompok inilah yang akan menjadi sasaran utama untuk dicover kebutuhannya dalam penerapan kebijakan.
 
Selain masalah sosial dan kelompok rentan juga terdapat masalah yang perlu untuk ditangani di Desa Aikmel Utara yakni masalah perkawinan anak, bagaimana pun juga masalah perkawinan anak ini bukan hanya menjadi masalah di tataran lokal atau desa namun menjadi masalah nasional, bahkan NTB menjadi provinsi nomor dua sebagai penyumbang angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia, terjadi peningkatan pernikahan anak di NTB  dari periode 2015-2022, yakni sebesar 14,68% pada 2015 meningkat menajdi 16,23% pada 2022 (Data BPS dari laman facebook Lombok Reseacrh Center diakses Selasa, 25/7/2023). Data yang lain menunjukkan 43,5% kasus stuntingdi Indonesia terjadi pada anak berumur di bawah tiga tahun (batita) dengan usia ibu 14-15 tahun, sedangkan 22,4% dengan rentang usia 16-17 tahun (Data BPS dari https://genbest.id/articles/bahaya-pernikahan-dini-sebagai-penyebab-stunting diakses Selasa 25/7/2023). Inilah yang menyebabkan harus ada kebijakan di tataran desa yang khusus untuk menekan angka pernikahan anak, khususnya di Lombok Timur.
 
“Negara saat ini tengah menjalankan program nasional untuk menurunkan angka stunting, dan salah satu cara untuk mendukung pembangunan pemerintah pusat yakni dengan mencegah terjadinya perkawinan anak sebagai salah satu penyebab stunting”, kata M. Tanwir, SH selaku Ketua BPD Aikmel Utara.
 
Hal juga yang menumbuhkan kesadaran Pemerintah Desa Aikmel sebagai sebagai salah satu desa dampingan LRC untuk turut dalam memajukan masyarakat melalui pembangunan melalui kebijakan inklusif. Pemerintah Desa Aikmel Utara memiliki harapan yang besar dengan terbitnya perdes tentang perlindungan sosial dan pencegahan pernikahan anak. Kepala Desa Aikmel Utara, Muhtasar Ayudi menyebut bahwa perdes ini akan menjadi pegangan untuk memaksimalkan penyusunan program yang lebih bermanfaat bagi masyarakat sekaligus menjadi landasan hukum yang akan meminimalisir pelanggaran undang-undang dan aturan di dalam masyarakat, khususnya tentang perkawinan anak.
 
“Dengan terbitnya perdes, semoga aturan ini tidak hanya berakhir di atas kertas namun bisa dieksekusi hingga manfaatnya dirasakan manfaat. Selain itu, terkait masalah pernikahan anak yang masih terjadi semoga aturan ini bisa membuat masyarakat sadar dan tidak melakukan hal yang melanggar aturan (pernikahan anak)”, ucap Ayudi.
 
Pernikahan anak memang bukan hanya masalah penyimpangan perilaku semata, namun ini merupakan akar masalah yang menyebabkan masalah lainnya, salah satunya adalah kemiskinan kultural, yakni kemiskinan yang disebabkan oleh adat, budaya atau sifat dari anggota keluarga yang membuat mereka menjadi miskin. Sehingga dari perdes yang dibuat akan ada solusi untuk menekan angka pernikahan anak, misalnya dengan meningkatkan kapasitas remaja melalui pelatihan atau bekerjasama dengan lembaga lain untuk memberi beasiswa bagi remaja yang ingin melanjutkan kuliah, sehingga perhatian anak-anak bisa teralihkan untuk mengejar pendidikan bukan pernikahan. Dr. Maharani selaku tim penyusun perdes  sekaligus manajer LRC juga menyampaikan bahwa LRC telah berkolaborasi dengan Yayasan Khouw Kalbe (YKK) untuk menekan angka pernikahan anak dan kekerasan perempuan, sehingga YKK akan memberikan kesempatan bagi perempuan Indonesia maksimal usia 25 tahun yang sedang atau ingin melanjutkan kuliah tahun untuk mengikuti seleksi beasiswa pendidikan di bulan Oktober mendatang.
 
“Sehubungan dengan kerjasama yang kami lakukan dengan Yayasan Khouw Kalbe yang sesuai dengan pembangunan di Desa Aikmel Utara untuk menekan pernikahan anak, kami membantu (YKK) mencarikan anak-anak yang ingin kuliah, sehingga anak-anak yang mau mendaftarkan diri akan kita fasilitasi dari sisi pembekalan dan pendampingan”, ucap Maharani sebelum kegiatan dilanjutkan dengan pembubuhan tanda tangan oleh pemerintah desa di dalam dokumen perdes.

Penulis : Baiq Nurul Nahdiat (Staf Komunikasi LRC)