Membangun Desa di NTB Yang Berbudaya

Disetujuinya revisi Undang-Undang tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menjadi undang-undang, setidaknya telah memunculkan beberapa poin yang menjadi sorotan, antara lain yaitu tentang penambahan penghasilan kepala desa, alokasi anggaran dana desa, insentif kepala rukun tetangga (RT) dan rukun Warga (RW), serta masa jabatan kepala desa.
Dari beberapa poin tersebut, terdapat salah satu yang menjadi perhatian publik, yaitu mengenai penambahan masa jabatan seorang kepala desa dimana, hal ini merupakan hasil dari negosiasi dan kompromi dari pihak-pihak yang berkepentingan. Namun pertanyaannya adalah, apakah dengan ditambahkannya masa jabatan seorang kepala desa, akan berdampak terhadap kemajuan desa yang berdaulat dan mandiri?
Pertanyaan tersebut penting untuk dikemukakan mengingat sejak UU tentang Desa disahkan, tingkat ketimpangan desa ternyata masih tinggi. Berdasarkan data dari BPS tahun 2014, tingkat ketimpangan desa pada tahun 2014 angkanya sebesar 0,34 dan tahun 2023 sebesar 0,313. Dimana artinya adalah penurunan tingkat ketimpangan desa berjalan sangat lambat atau penurunannya hanya mencapai angka 0,027 dalam 10 tahun. Begitu pula kalau melihat indikator kemiskinan desa, yakni dari 13,76 persen (2014) menjadi 12,36 persen (2023), atau hanya berkurang 1,4 persen dalam 10 tahun terakhir.
 
Pembangunan Desa di NTB yang Berkebudayaan
Berbicara pembangunan desa dalam konteks daerah dan berdasarkan pada data Indeks Desa Membangun (IDM) 2023, di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdapat 480 desa kategori maju, 252 desa mandiri, 282 desa berkembang, dan 7 desa masih berstatus desa tertinggal. Artinya, lebih dari 70 persen desa-desa di NTB telah mencapai level maju dan mandiri dan tentunya sisa dari desa-desa tersebut akan terus didorong untuk menjadi desa-desa yang maju dan mandiri.

Meskipun sebagian besar desa-desa di NTB telah mencapai level desa maju dan mandiri namun, tentunya bukan menjadikan capaian-capaian tersebut menjadi tolak ukur keberhasilan pembangunan desa, terutama apabila melihat dari indikator kemiskinan desa. BPS menyebutkan dalam rilisnya persentase penduduk miskin perdesaan di NTB pada September 2022 sebesar 13,66 persen (360,66 ribu orang) menjadi 13,95 persen (367,70 ribu orang) pada Maret 2023. Sedangkan untuk angka ketimpangan (Gini Ratio) pada 2022 sebesar 0,373, naik menjadi 0,375 pada 2023.

Untuk itu, penting bagi pemerintah daerah untuk terus melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan pembangunan desa. Mengutip Bung Hatta dalam bukunya terkait dengan beberapa Fasal Ekonomi yang ditulisnya dimana, desa merupakan sumber produksi pangan dan tenaga yang penting bagi kemajuan kota. Sementara desa adalah pasar yang penting bagi barang-barang dari kota. Jadi, jika orang desa hidup miskin, orang kota akan kehilangan pasar. Begitu pula sebaliknya.

Oleh karena itu, melalui revisi perubahan atas UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa pada 28 Maret 2024 yang lalu, setiap kepala daerah yang ada di NTB harus melakukan pembenahan dan upaya-upaya percepatan dalam rangka mencapai target yang direncanakan dapat terwujud sehingga, desa-desa di NTB dapat menjadi desa yang berdaulat dan berkebudayaan. Tentu kebudayaan yang dimaksudkan bukan hanya terkait dengan kesenian dan pertunjukkan saja. Hal ini karena apabila kita kaitkan dengan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat NTB dan penanggulangan kemiskinan yang terus dilakukan oleh pemerintah daerah maka, kebudayaan memiliki peranan yang cukup penting. Hal ini karena setiap desa yang ada di NTB pastinya memiliki kekayaan kearifan lokal yang dapat menjadi modal dasar dalam upaya mendorong pemanfaatan sumber pangan berbasis lokal. Dengan memakan nasi, terlihat kelas sosial dan kehidupan yang lebih modern. Pandangan ini terus-menerus tertanam sehingga sumber pangan yang ada seolah-olah hanya beras. Masyarakat NTB pada masa lalu selalu memproduksi sumber pangan yang berasal dari umbi-umbian dan sumber lain yang tersedia di sekitarnya.

Apalagi kalau dikaitkan dengan upaya pemerintah daerah dalam menurunkan angka stunting (tengkes), banyak jenis-jenis sumber pangan bergizi yang dapat dimanfaatkan dan telah dipraktikkan sejak dulu oleh masyarakat NTB dalam upaya menjaga kesehatan sekaligus bersahabat dengan alam pastinya. Berbagai pengetahuan tradisional masyarakat NTB terkait dengan fungsi dari setiap jenis tumbuhan telah banyak dipraktikkan secara turun-menurun melalui tradisi lisan. Dari tataran konsep pembangunan secara nasional, desa saat ini telah mendapat porsi yang luas dalam berbagai aspek pembangunan yang dilaksanakan dari berbagai level pemerintahan maupun dari sumber daya keuangan yang semuanya memiliki tujuan terhadap upaya kemajuan desa.
 
SDG’s Desa Untuk Mewujudkan Desa Berbudaya
Potensi kearifan lokal yang dimiliki oleh setiap desa yang terdapat di NTB maka, implementasi Suistainable Development Goals (SDGs) Desa yang telah dicanangkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi menjadikannya sebagai salah satu upaya konkret dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan.

Didalam SDG’s Desa terdapat 18 tujuan yang ingin dicapai dalam rangka mewujudkan pembangunan berkelanjutan, yaitu desa tanpa kemiskinan, desa tanpa kelaparan, desa sehat dan sejahtera; pendidikan desa berkualitas; desa berkesetaraan jender; desa layak air bersih dan sanitasi; desa berenergi bersih terbarukan, pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi desa, inovasi dan infrastruktur desa; desa tanpa kesenjangan; kawasan permukiman desa berkelanjutan; konsumsi dan produksi desa yang sadar lingkungan. Selain itu, pengendalian dan perubahan iklim oleh desa, ekosistem laut desa, ekosistem daratan desa; desa damai dan berkeadilan; kemitraan untuk pembangunan desa, dan terakhir adalah kelembagaan desa dinamis dan budaya desa adaptif.

Oleh karena itu, desa-desa di NTB harus terus didorong dan dikawal agar mampu untuk dapat memanfaatkan setiap potensi lokal yang dimilikinya sebagai modal dalam rangka menyelesaikan berbagai persoalan-persoalan yang terdapat di desanya. Hal ini tentunya juga harus tetap memanfaatkan semua sumber daya yang terdapat di desa, mulai dari penyediaan sumber air bersih, kesehatan, pendidikan, hingga upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Pemerintah daerah juga harus terus mengupayakan agar setiap desa dapat melakukan inventarisasi serta pendokumentasian terhadap kebudayaan yang ada di setiap desanya. Salah satu contoh dari upaya-upaya tersebut adalah seperti, sejarah desa, upacara adat, kuliner, seumber pangan lokal, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, dan lain sebagainya yang berkaitan dengan kebudayaan.

Wariga (dibaca:Warige) merupakan salah satu contoh pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat Sasak di Pulau Lombok NTB, yaitu merupakan pengetahuan lokal yang terkait dengan ilmu perbintangan. Wariga merupakan tata cara perhitungan untuk mencari hari baik, kapan akan dimulainya suatu kegiatan dalam kehidupan manusia di bumi terutama pada suku Sasak. Wariga diperuntukkan oleh sebagian besar masyarakat yang mendiami pulau lombok digunakan untuk menentukan hari baik terutama dalam bercocok tanam. Masyarakat Lombok mayoritasnya adalah petani.

Pengetahuan tradisional tersebut saat ini tidak banyak diketahui dan dipahami oleh generasi muda Sasak karena keberadaan pengetahuan lokal ini tidak pernah terdokumentasikan dalam bentuk tulisan melainkan hanya melalui tradisi lisan saja sehingga, lambat laun pengetahuan ini akan punah seiring perjalanan waktu. Apabila dihubungkan dengan kondisi perubahan iklim yang terjadi saat ini maka, pengetahuan ini akan sangat berguna karena masyarakat Sasak zaman dulu untuk memulai bercock tanam selalu melihat tanda-tanda kondisi alam dan ini memungkinkan untuk mengurangi risiko gagal panen dan menjaga ketahanan pangan masyarakat.

Dengan pencatatan yang bagus diharapkan masyarakat lokal bisa melakukan pengembangan jenis tanaman yang akan diusahakan dan pemanfaatannya dapat lebih terencana dan berkelanjutan. Dalam penanggulangan tengkes dan kemiskinan, misalnya, sumber-sumber pangan lokal yang ada bisa dimanfaatkan dan dikontekstualisasikan dengan kondisi saat ini.
Selanjutnya adalah “menjamurnya” keberadaan desa wisata di NTB dapat dimanfaatkan karena setiap desa pastinya memiliki keragaman budaya dan potensi ini harus terus didorong melalui penyelenggaraan festival desa wisata NTB yang dirangkaikan dengan penyelenggaraan bazar. Hal ini juga akan memperkuat hubungan sosial kemasyarakatan sehingga nilai-nilai gotong royong yang telah ada namun mulai sedikit mengalami penurunan dapat tumbuh kembali dan terus terbangun di tengah-tengah masyarakat. Hal yang tidak kalah penting adalah keterlibatan kaum perempuan dan anak-anak dalam proses regenerasi dan memperkuat identitas desanya.

Keberadaan desa mandiri dan maju yang selama ini menjadi kebanggan dan keberhasilan seorang kepala desa tidak akan bermakna apabila kondisi masyarakatnya masih belum sejahtera. Sehingga desa-desa di NTB harus terus didorong untuk selalu memperhatikan dan memanfaatkan potensi kelokalannya sebagai modal dan menjadi jati diri serta sebagai salah satu sumber perekonomian desa dengan tidak meninggalkan nilai-nilai budaya yang ada di desa.

Masa jabatan yang ditambah menjadi delapan tahun dan bisa mencapai 16 tahun harus dapt menjadikan seorang kepala desa mampu untuk menggali dan mengajak generasi muda dan kaum terpelajar untuk melihat potensi yang ada di desa. Selain itu, kehidupan dan pembangunan yang inklusif di desa harusnya juga terus untuk mendapatkan prioritas karena, tujuan besar dari implementasi SDG’s Desa adalah memastikan tidak ada satupun yang merasa tertinggal dalam pembangunan yang dilaksanakan di desa.

Desa harus jeli dalam melihat potensi budaya yang dimilikinya dimana, apabila hal tersebut dapat dikelola maka, akan menjadi suatu yang lebih berdaya guna dan berhasil guna. Adanya penambahan alokasi dana desa harus dapat dimanfaatkan untuk memajukan kebudayaan desa sebagai salah satu cara dalam rangka menyelesaikan berbagai persoalan yang ada di desa.
 
Membangun “Kebudayaan” Desa NTB
Desa-desa yang terdapat di NTB pada umumnya sama dengan desa-desa lainnya di Indonesia dimana, masyarakatnya telah memiliki nilai kebiasaan yang lekat dengan menjaga sumber daya alam dan lingkungan. Hal ini karena desa-desa secara keseluruhan memiliki sektor utama, yaitu sektor pertanian. Berdasarkan Hasil Pencacahan Lengkap Sensus Pertanian 2023 -Tahap I Provinsi Nusa Tenggara Barat, jumlah rumah tangga usaha pertanian di NTB sebanyak 756.168. Jumlah ini mengalami peningkataan dari 10 tahun sebelumnya (2013) yang mencapai 600.613 rumah tangga usaha pertanian.

Kondisi tersebut tentunya menjadi “perangsang” bagi setiap desa-desa di NTB untuk dapat terus membangun ketahanan pangan dengan berbasis komunitas yang disertai dengan pengembangan pengetahuan lokal yang telah dimiliki untuk merawat relasi masyarakat, sehingga pembangunan yang ada di desa dapat memanusiakan manusia.

Mewujudkan desa yang mandiri perlu dilakukan dengan proses penggalian kembali nilai-nilai sejarah kemajuan bangsa yang dahulunya dapat memberikan fondasi kuat untuk membentuk masyarakat yang tertib. Budaya membaca menjadi penting untuk meningkatkan kapasitas masyarakat desa. Dengan literasi yang baik, masyarakat desa juga bisa berpartisipasi lebih aktif lagi untuk menghasilkan informasi dan pengetahuan guna menyelesaikan permasalahan yang ada.

Dalam era saat ini, pembangunan desa telah menjadi suatu agenda penting dalam pembangunan (manusia) Indonesia. Termasuk dalam tahun politik pada 2024 ini, yaitu pemilu dan pilkada secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Pun demikian halnya dengan NTB, perspektif calon gubernur serta calon bupati/walikota perlu untuk disaring komitmen politiknya, khususnya dalam bidang kebudayaan.

Hal ini penting untuk diberikan penekanan agar desa-desa yang ada di NTB tidak lagi hanya menjadi wahana objektifikasi logika pembangunan modern dan komodifikasi kontemporer yang justru menyuburkan gaya hidup dengan teknologi baru dan menumbuhkan konsumerisme semata. Sekaligus sebagai sebuah usaha mengunjungi kembali (revisiting) dan menemukan kembali (reinventing) gagasan-gagasan yang lebih masuk akal tentang bagaimana sebuah masyarakat dapat dikembangkan dalam sebuah konsep yang tidak saja partisipatoris tapi juga kontekstual.

Pembangunan desa yang berlandaskan pada kebudayaan memang tidaklah mudah dan harus melibatkan komitmen dan kolaborasi multipihak sehingga kebudayaan yang menjadi kekayaan lokal desa-desa di NTB dapat menjadi dasar bagi pelaksanaan pembangunan. Sehingga langkah awal yang dapat dilakukan terlebih dahulu adalah mengenali potensi yang terdapat di desa. Selanjutnya setelah potensi desa dapat diidentifikasi maka, langkah selanjutnya adalah pengembangan dari potensi-potensi desa tersebut. Terkahir setelah itu, baru kemudian dilakukan pemanfaatan dan pengembangan dari potensi-potensi desa yang ada.
Ini semua harus dilakukan oleh masyarakat desa karena saat ini desa telah menjadi subyek pembangunan dan bukan lagi hanya sebagai obyek dari pembangunan itu sendiri. Artinya, implementasi pembangunan yang terjadi di desa merupakan hasil pemikiran masyarakat dan untuk kepentingan masyarakat desa-desa di NTB.

Sehingga, predikat desa maju dan desa mandiri yang telah bayak diraih oleh desa-desa di NTB tidak hanya sebagai exercise teknokrat dan exercise administrasi pertanggungjawaban program pemerintah semata. Tetapi betul-betul merupakan strategi pengembangan kebudayaan. Mewujudkan Desa Mandiri Budaya melalui pengetahuan ini, semoga semakin memperkuat pembangunan di NTB.
 
 
 Suherman H. M. Sahir*
*Penulis merupakan peneliti pada Lombok Research Center (LRC)