Mendorong Rehabilitasi Kesehatan Jiwa Berbasis Masyarakat di NTB

Suherman H.M. Sahir*

Kesehatan merupakan aspek penting dalam kehidupan manusia. Individu yang sehat akan mampu menjalani tuntutan kehidupannya dengan baik dan optimal sesuai dengan status dan peran yang diharapkan oleh masyarakat di mana individu tersebut hidup. Akan tetapi gangguan pada kesehatan manusia bukanlah persoalan yang mudah dihindari oleh manusia. Gangguan kesehatan sendiri ada yang bentuknya fisik dan ada yang menyerang aspek psikis dari manusia. Semakin berkembangnya zaman, gangguan-gangguan kesehatan dapat ditangani dengan baik berkat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam dunia medis.

Menurut Departemen Kesehatan RI, gangguan jiwa pengertiannya adalah terjadinya perubahan pada fungsi jiwa yang mengakibatkan fungsi jiwa mengalami gangguan, sehingga menimbulkan penderitaan atau hambatan pada individu dalam melaksanakan peran sosial. Selalu ada penyintas gangguan jiwa di seluruh belahan dunia. Oleh karena itu gangguan jiwa sendiri dipandang oleh organisasi kesehatan dunia atau WHO (World Health Organization) yang berada di bawah naungan PBB sebagai isu global yang harus mendapatkan perhatian dan penanganan yang serius, seperti Skizofrenia, Alzheimer, Epilepsi, Depresi, dan masih banyak yang lainnya.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, menyebutkan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menempati urutan 17 dengan jumlah orang penyintas kesehatan mental di Indonesia. Prevalensi rumah tangga dengan anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa Skizofrenia/Psikosis di NTB adalah 9,6 persen dari 1,422,319 total jumlah rumah tangga. Persentase tersebut lebih tinggi dari angka nasional yang mencapai 6,7 persen dan membutuhkan penanganan yang komprehensif. Dari 9,6 persen penduduk NTB yang mengalami gangguan jiwa Skizofrenia/Psikosis, 11,14 persen berada di daerah perkotaan dan 8,29 persen berada di daerah perdesaan.

Skizofrenia adalah gangguan mental yang terjadi dalam jangka waktu panjang, gangguan tersebut menyebabkan penderita mengalami halusinasi, delusi atau waham, kekacauan berpikir, dan perubahan perilaku. Penderita skizofrenia pada umumnya mengalami kesulitan untuk membedakan antara kenyataan dengan pikiran yang ada. Gangguan ini bersifat kronis, sering mengalami kekambuhan sehingga membutuhkan tata laksana jangka panjang. Semakin sering terjadi kekambuhan maka prognosisnya semakin buruk dan gangguan fungsi pada Orang Dengan Skizofrenia (ODS) semakin berat. Gangguan jiwa bukan merupakan penyebab kematian secara langsung namun menjadi beban produktivitas terbesar dibanding penyakit kronis lainnya.
Masih berdasarkan hasil Riskesdas 2018, estimasi jumlah penyintas gangguan jiwa berat yang pernah mengalami pemasungan (seumur hidup) adalah 17,79 persen (perkotaan) dan 17,01 persen (perdesaan). Sedangkan jumlah penyintas gangguan jiwa berat yang mengalami pemasungan tiga bulan terakhir adalah, 35,57 persen (perkotaan) dan 20,65 (perdesaan).

Tantangan Menghapus Stigma Negatif Bagi Penyintas Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) atau Orang Dengan Disabilitas Psikososial (ODDP)
Pada umumnya orang yang menjadi penyintas ODGJ atau ODDP masih terjadi permasalahan hingga saat ini. Terdapat dua macam stigma menurut Anisa (2022) yaitu, public stigma dan self stigma. Public stigma merujuk pada suatu sikap negatif yang dimiliki oleh anggota masyarakat tentang orang-orang dengan karekter terdevaluasi atau dipandang lebih buruk atau lebih rendah. Sedangkan self stigma merujuk pada suatu sikap negatif masyarakat yang terinternalisasi ke diri sendiri. Anisa juga menjelaskan bahwa seringkali dampak dari adanya stigma ini menyebabkan ODGJ atau penyintas gangguan mental akan terhambat dalam upaya mencari pertolongan bahkan hingga tidak ingin mencari pertolongan. Padahal dalam proses pemulihan, penerimaan menjadi langkah awal yang besar.

Terdapat beberapa hambatan yang menjadi tantangan dalam upaya menghapus stigma negatif kepada penyintas ODGJ atau ODPP antara lain adalah, pengetahuan masyarakat yang masih terbatas mengenai gangguan jiwa atau disabilitas psikososial. Secara umum pengetahuan masyarakat Indonesia secara umum serta masyarakat NTB pada khususnya masih terbatas terhadap permasalahan disabilitas psikososial. Masyarakat masih sering beranggapan bahwa orang dengan disabilitas psikososial sebagai orang yang berbahaya, tidak mampu, atau tidak produktif.

Pandangan ini tentunya berdampak terhadap sikap masyarakat yang menjauhi para penyintas disabilitas psikososial, bahkan dari pihak keluarga pun seringkali membatasi ruang gerak para penyintas atau membiarkan mereka berkeliaran. Stereotip ini sering kali membuat orang dengan gangguan jiwa atau disabilitas psikososial diperlakukan berbeda dan ditolak oleh masyarakat.
Tantangan lainnya adalah terkait dengan upaya penghapusan stigma negatif terhadap penyindas disabilitas psikososial adalah ketersediaan layanan kesehatan mental yang memadai baru hanya ada di Rumah Sakit Jiwa Mutiara Sukma (RSJMS) Provinsi NTB yang terdapat di Kota Mataram. Begitu pula terhadap keberadaan sumber daya medis yang terkait dengan kesehatan jiwa yang masih terkonsentrasi di daerah perkotaan, dalam hal ini lebih banyak ada di Kota Mataram. Kurangnya akses ke layanan kesehatan mental membuat orang dengan gangguan jiwa atau disabilitas psikososial sulit untuk mendapatkan bantuan yang mereka butuhkan.

Selanjutnya, hambatan yang menjadi tantangan dalam upaya penghapusan stigma negatif terhadap penyintas disabilitas psikososial adalah terkait dengan dukungan masyarakat dan pemerintah. Banyak masyarakat yang masih menganggap gangguan jiwa sebagai hal yang tabu dan menakutkan. Mereka sering kali mengaitkan gangguan jiwa dengan hal-hal negatif, seperti kekerasan, kegilaan, dan kenakalan. Akibatnya, mereka menjadi takut dan enggan untuk berinteraksi dengan penyintas ODGJ. Selain itu, pemerintah daerah belum memiliki kebijakan yang komprehensif dalam mengatasi stigma terhadap penyintas disabilitas psikososial ini.
 
Rehabilitasi Kesehatan Jiwa Berbasis Masyarakat: Menuju Pemulihan yang Berkelanjutan
Kesehatan jiwa adalah aspek penting dalam kesejahteraan manusia yang seringkali terlupakan atau diabaikan dalam masyarakat kita. Dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa telah meningkat secara signifikan, tetapi masih ada banyak tantangan dalam menyediakan layanan rehabilitasi kesehatan jiwa yang efektif dan berkelanjutan. Salah satu pendekatan yang telah muncul sebagai solusi potensial adalah rehabilitasi kesehatan jiwa berbasis masyarakat.

Rehabilitasi kesehatan jiwa berbasis masyarakat adalah sebuah konsep yang menekankan peran masyarakat dalam mendukung pemulihan individu yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Pendekatan ini memandang kesehatan jiwa sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar. Ini berarti bahwa lingkungan sosial, budaya, ekonomi, dan masyarakat memiliki peran penting dalam proses pemulihan individu yang mengalami gangguan kesehatan jiwa.

Untuk itu, sangat penting bagi pemerintah Provinsi NTB bersama dengan pemerintah daerah 10 kabuptaen/kota lainnya untuk terus berupaya dalam meningkatakan kesadaran dan pemahaman masayrakat terkait dengan permasalahan kesehatan jiwa. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan kampanye edukasi dan advokasi, baik secara kuantitas maupun kualitas yang bertujuan untuk menghilangkan stigma dan diskrimnasi terhadap para penyintas disabilitas psikososial yang ada di NTB.

Salah satu faktor yang sangat penting dalam upaya rehabilitasi kesehatan jiwa berbasis masyarakat adalah adanya dukungan keluarga dan masyarakat, terutama dalam masa pemulihan seorang penyintas disabilitas psikososial. Untuk itu, sangat penting untuk memberikan pendidikan keluarga dan dukungan tersebut harus dapat tersedia untuk membantu keluarga dalam mengatasi tantangan yang dihadapi.

Dukungan keluarga dan masyarakat sangat penting dalam pemulihan individu yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Program pendidikan keluarga dan dukungan psikososial harus tersedia untuk membantu keluarga dalam mengatasi tantangan yang dihadapi. Begitu pula terhadap program-program yang terkait dengan rehabilitasi penyintas disabilitas psikososial harus melibatkan peran komunitas atau masyarakat yang bertujuan untuk dapat membantu penyintas psikososial agar tetap merasa terhubung dan bernilai dalam masyarakat.
Pendekatan rehabilitasi kesehatan jiwa berbasis masyarakat tidak hanya berfokus pada pengobatan medis, tetapi juga memahami kesehatan jiwa dalam konteks holistik. Ini termasuk aspek-aspek seperti kesehatan fisik, sosial, ekonomi, dan spiritual.

*Peneliti di Lombok Research Center