Swasembada pangan telah menjadi salah satu aksi prioritas Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendes dan PDT). Kebijakan ini dikuatkan dengan telah diterbitkannya Permendes dan PDT Nomor 2 Tahun 2024. Pemerintah desa bersama dengan warganya mesti bersiap untuk menyambut dan menyukseskan program ketahanan pangan ini.
Siang itu Rabu 30 April 2025, Kamarudin masih sibuk menyirami bibit kol, cabe dan tomat di gerai penjualan bibit yang dikelolanya bersama keluarga. Petani milenial usia 29 tahun warga Desa Sapit ini tampak antusias ketika menjawab beberapa pertanyaan kami dari tim Lombok Research Center (LRC) yang sedang melakukan penelitian terkait ketahanan pangan di Kabupaten Lombok Timur.
Awalnya Kamarudin bercerita mengenai omzet pendapatannya dari berjualan bibit sayur yang angkanya tak menentu dan tidak bisa diprediksi secara pasti. “Kadang ramai yang datang berbelanja, tapi kadang juga dalam sehari sepi tanpa pembeli,” ungkap Kamarudin.
Selain mengelola gerai penjualan bibit hortikultura, Kamarudin juga menggarap beberapa petak sawah dan kebun dengan total luas lahan sekitar satu hektar are. Di lahan sawahnya, Kamarudin hanya mampu memproduksi padi 1 ton lebih dalam setahun.
“Hasil produksi padi tidak ada yang kami jual. Semuanya kami simpan untuk dikonsumsi sendiri bersama keluarga dalam jangka waktu satu tahun. Kalaupun harus dijual paling hanya beberapa. Itu pun kalau ada keperluan tertentu saja karena kebutuhan yang mendesak baru kami akan jual,” tuturnya.
Untuk musim tanam kedua, Kamarudin biasanya menanami sawahnya dengan tanaman horti seperti cabai, tomat dan sayur mayur. Sedangkan di lahan kebun miliknya yang lain ditanami beberapa pohon buah yang panennya musiman seperti alpukat dan cengkeh.
Umumnya dalam satu tahun, warga Desa Sapit memiliki dua kali musim tanam. Musim tanam pertama adalah untuk padi dan musim tanam kedua petani biasanya menanam tanaman hortikultura. Pola musim tanam ini akan berbeda dengan di lokasi lahan sawah yang memiliki aliran air irigasi yang cukup; bisa dua kali musim tanam padi.
Selain pola tanam, kualitas dan kuantitas hasil produksi juga dipengaruhi oleh gangguan hama dan cuaca yang kerap berubah dan seringkali tidak bisa diprediksi.
Arini, petani perempuan di Desa Sapit ini tak bisa memastikan persentase perbedaan hasil produksi padi di lahan sawah miliknya akibat adanya perubahan iklim dan beberapa tahun terakhir ini kerap melanda wilayah desa di Kecamatan Suela. Namun ia menyadari jika kuantitas produksi padi di lahan miliknya itu seringkali tidak menentu dari tahun ke tahun.
“Saya tidak ingat perbedaan jumlahnya. Tapi jika dibandingkan dalam 5 tahun ini ada saja bedanya. Kadang sama dapat kita gabah dari tahun sebelumnya, kadang juga beda,” tuturnya.
Sekretaris Desa (Sekdes) Sapit, Hirmawanto mengungkapkan kebiasaan petani di desanya akan menggunakan pupuk dan pestisida kimia jika ada gangguan hama pada tanaman mereka.
“Memang sudah menjadi kebiasaan petani kita di Sapit ini menggunakan pupuk dan obat-obat kimia. Jarang ada yang menggunakan pupuk organik. Padahal, unit usaha BUMDes kita menyediakan penjualan pupuk kotoran sapi, tapi peminatnya masih sedikit. Pupuk hayati ini hanya diperlukan untuk tanaman di kebun. Itu pun belum banyak yang pakai,” jelasnya.
Merespon Permendes Nomor 2 Tahun 2025 ini yang fokus pemanfaatan Dana Desa 20% untuk program ketahanan pangan, Hirmawanto menyatakan bahwa Pemerintah Desa Sapit telah menyiapkan beberapa rencana program, di antaranya adalah menguatkan keberadaan BUMDes dan P3A (Perkumpulan Petani Pemakai Air) serta pembangunan jalan usaha tani baru.
Berdasarkan informasi dari Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL), luas lahan sawah irigasi di Desa Sapit berjumlah 234,60 Ha. Sedangkan untuk luas lahan sawah tadah hujan luas totalnya 219,84 Ha.

Pertanian Pangan di Desa Sepit
Lain di Sapit, lain pula kondisi pertanian di Desa Sepit, Kecamatan Keruak. Data dari UPTPP Kecamatan Keruak tahun 2025 menyebutkan luas sawah existing reguler irigasi di Desa Sepit totalnya ada 150,4 Ha, dengan hasil produksi padi sebanyak 977,6 Ton.
Selain padi, produksi jagung di Desa Sepit per tahun rata-rata 7,8 ton jagung kering pipil. Sementara untuk komoditas non pangan unggulan lainnya dalam satu hektare lahan dapat memproduksi 1,7 ton tembakau kering per tahun.
Di tahun 2025 ini Pemerintah Desa Sepit telah menetapkan perencanaan dan mengalokasikan 20% dari total Dana Desa untuk program ketahanan pangan. Beberapa program yang dicanangkan adalah revitalisasi embung desa, pembukaan jalan usaha tani baru dan pengelolaan agrowisata di areal tanah kas milik desa.
“Salah satu program ketahanan pangan yang sudah kita kerjakan dan masih berjalan hingga saat ini, yaitu pemeliharan 44 ekor induk kambing. Sistemnya bagi hasil dengan masing-masing peternak yang memelihara. Tapi program ini sedang kami evaluasi, apakah masih menguntungkan atau tidak, karena dari 44 ekor kambing di tahun 2022 tersisa 38 ekor di tahun 2023 dan 2024 lalu,” ungkap Sekretaris Desa Sepit, Muhammad Sulhan Hadi pada Selasa (29/4/2025).
Mahalnya upah buruh serta tingginya harga pupuk dan pestisida kimia masih menjadi masalah dan keluhan klasik petani di Desa Sepit. Karena itu, para petani berharap agar pupuk bersubsidi bisa mencukupi kebutuhan sesuai luas lahan garapan.
Para petani juga mengharapkan bantuan teknologi mesin berupa alat pencacah tanah dan alat panen serta tempat khusus untuk mengeringkan hasil produksi padi mereka.
“Teknologi pertanian ini sangat membantu kami para petani dalam meningkatkan hasil produksi,” ungkap Ketua Gapoktan Semu Karya, Zul Hakim.
Fokus Penggunaan Dana Desa 2025
Di antara poin penting fokus penggunaan Dana Desa tahun 2025, yaitu pertama untuk penanganan kemiskinan ekstrem sebesar 15 persen. Fokus kedua pada penguatan desa yang adaptif terhadap perubahan iklim. Selanjutnya peningkatan promosi dan layanan dasar kesehatan, termasuk pencegahan stunting.
Keempat, yaitu dukungan terhadap program ketahanan pangan atau swasembada pangan. Fokus kelima, yaitu pengembangan potensi keunggulan desa seperti desa wisata atau desa ekspor.
Dana Desa bisa digunakan untuk pemanfaatan teknologi dan sistem informasi untuk percepatan implementasi desa digital. Selanjutnya Dana Desa juga bisa digunakan untuk pembangunan berbasis padat karya tunai dan penggunaan bahan baku lokal. Semua penggunaan Dana Desa tersebut harus diputuskan melalui Musyawarah Desa.[Har*]
*Penulis merupakan peneliti pada Lombok Research Center (LRC)