Oleh: Maharani
Indonesia merupakan negara kepulauan yang terbesar dengan jumlah pulau 17.508 buah dan memiliki panjang garis pantai lebih dari 81.000 kilometer. Luas wilayah Indonesia termasuk Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah 5,8 kolimeter parsegi. Spesies flora dan fauna di lautan Indonesia merupakan terkaya dalam keanekaragamannya. Ekosistem pesisir merupakan sumber kehidupan bagi rakyat, bahkan selama bertahun-tahun telah menjadi pendukung bagi pembangunan sosial dan ekonomi di Indonesia (Dinas Perikanan, 2000).
Tidak hanya itu, ternyata dengan luas dan panjang garis pantai yang dimiliki telah menempatkan Indonesia sebagai negara kepulauan yang terluas di dunia dan dikenal berpotensi dalam berkontribusi pada sistem pembangunan berkelanjutan global. Beberapa kenyataan yang mendukung adalah; 1) lebih dari 81.000 kilometer garis pantai membentang secara leteral dari barat ke timur (kedua setelah Kanada) dengan lebih dari 60 % penduduk menempati kawasan ini; 2) wilayah laut yang mencapai tiga juta kolimeter persegi; 3) luas terumbu karang 12-15 % dari total terumbu karang global; 4) luas daratan hanya 1,9 juta kilometer persegi.
Kawasan pesisir Indonesia mencakup 181 daerah administratif dan 42 kota besar. Melalui industri semacam minyak dan gas bumi, pariwisata, perikanan dan transportasi, ekonomi pesisir dan kelautan menyumbang hampir 25 % dari Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dan mempekerjakan lebih dari 15 % tenaga kerja di Indonesia. Dari kenyataan tersebut, dapat dilihat bahwa perairan Indonesia sangat mempunyai nilai strategis dan ekonomis yang tinggi secara regional (Asia Tenggara) dan global.
Salah satu perairan penghasil ikan di Indonesia adalah perairan Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Di mana NTB memiliki luas wilayah lautnya 29.159,04 Km2, sedangkan luas daratan meliputi areal seluas 20.153,15 Km2. Perairan laut tersebut mengelilingi garis pantai sepanjang kurang lebih 2.333 Km, dan di dalamnya terdapat ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 3.601 km2. Ekosistem pesisir penting lainnya yang terdapat di propinsi ini adalah padang lamun (seagrass beds), rumput laut (seaweeds), pantai berpasir, dan ekosistem mangrove. Potensi lestari (Maximum Sustainable Yield) perikanan laut propinsi ini tercatat sekitar 98.450 ton, terdiri dari ikan – ikan pelagis 41.084 ton dan demersal 57.366 ton. Sementara itu, tingkat pemanfaatannya tahun 1999 sebesar 78.623,5 (berdasarkan landing space), kecuali untuk beberapa stok sumberdaya ikan di beberapa perairan pesisir, seperti cumi-cumi di Selat Alas dan udang di Teluk Cempi, sudah dalam status tangkap lebih (overfishing). Sampai saat ini, pemanfaatan sumberdaya ikan di perairan lepas pantai masih sangat rendah yakni hanya 1,2 % dari potensi lestari yang tersedia, sedangkan di perairan ZEE bahkan belum dimanfaatkan sama sekali (Dinas Kelautan dan Perikanan NTB, 2001).
Dari potensi tersebut NTB telah mengkontribusikan 10% dari total produksi perikanan laut Indonesia. Wilayah pesisir disepanjang garis pantainya secara oceanologi dan sosial ekonomi telah memenuhi syarat bagi pengembangan budidaya laut sehingga patut dipertimbangkan sesuai dengan jenis budidaya dan jenis komoditi yang ingin dikembangkan ( Bappeda Propinsi NTB, 2001).
Akan tetapi, sungguh sangat ironis. Mengingat wilayah laut dan pesisir yang memiliki kandungan sumberdaya alam yang begitu besar, ternyata ditempati oleh masyarakat yang sebagian besar termasuk kategori miskin. Dari 67.439 desa di Indonesia, kurang lebih 9.261 desa dikategorikan sebagai desa pesisir dengan sebagian besar penduduknya miskin. Sedangkan di NTB, jumlah rumah tangga perikanan (RTP) / perusahaan penangkapan ikan pada tahun 2005 tercatat sebanyak 21.589 RTP. Jumlah nelayan penangkapan ikan di wilayah perairan NTB sampai tahun 2005 tercatat sebanyak 45.842 orang ( Dinas Perikanan dan Kelautan NTB,2006).
Desa-desa pesisir tersebut merupakan kantong-kantong kemiskinan struktural yang potensial. Kesulitan mengatasi masalah kemiskinan di desa-desa pesisir telah menjadikan penduduk di kawasan ini harus menanggung beban kehidupan yang tidak dapat dipastikan kapan berakhirnya. Kerawanan di bidang sosial-ekonomi dapat menjadi lahan subur bagi timbulnya kerawanan di bidang kehidupan lain (Kusnadi, 2002).
Alasan-alasan terjadinya kemiskinan di daerah pesisir adalah tidak adanya akses ke sumber modal, akses terhadap teknologi, akses terhadap pasar serta rendahnya partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Fenomena ini hanya dapat diselesaikan dengan jalan wilayah pesisir dan laut dikelola secara optimal sehingga pemanfaatan sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya dapat dilakukan secara berkelanjutan dan sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Dengan kata lain, pembangunan wilayah pesisir dilakukan tanpa meninggalkan pertimbangan terhadap keadaan sosial ekonomi budaya masyarakat pesisir (Mubyarto,1984).
Banyak usaha-usaha yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan telah banyak dilakukan seperti meningkatkan teknologi penangkapan akan melalui program motorisasi, pembinaan hubungan sosial ekonomi lewat KUD dan bantuan modal lewat pemberian kredit berbunga rendah.. Namun berbagai usaha tersebut nampaknya belum berhasil, nelayan masih menghadapi masalah kemiskinan (Risadi, 1981). Permasalahan yang sering dihadapi adalah; 1) proses perencanaan berbasis masyarakat belum melibatkan masyarakat; 2) informasi masih kurang, baik dari perencana ataupun sosialisasi dalam pelaksanaan program; 3) sumberdaya manusia masih kurang; 4) pengelolaan lembaga desa masih lemah; 5) sikap budaya yang tidak mendukung, seperti sikap dan pola hidup masyarakat kebiasaan setempat; dan 6) kesejahteraan masyarakat yang masih rendah.
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi masalah adalah bagaimana kondisi kemiskinan nelayan dan apa faktor-faktor penyebab kemiskinan itu. Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, maka dilakukan penelitian mengenai “Identifikasi Kondisi Kemiskinan Masyarakat Nelayan di Kawasan Pesisir Lombok Timur”.