Pupuk Langka di Negeri Agraris

Oleh : Maharani*

Musim tanam (MT) tahun 2021/2022 sudah dimulai. Sejak pertengahan bulan November yang lalu, hujan sudah mulai merata di seluruh wilayah Nusa tenggara Barat (NTB). Biasanya petani di NTB pada Umumnya dan Pulau Lombok pada khususnya akan merasa terbebani setiap musim tanam tiba. Kenapa bisa seperti itu?

Setiap musim tanam tiba, petani akan selalu kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Petani Indonesia sudah lama mengalami ketergantungan akan pupuk kimia bersubsidi. Sejak diberlakukannya program swasembada pangan. Pada tahun 1984, Indonesia berhasil swasembada beras dengan angka produksi sebanyak 25,8 ton. Kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada 1985. Pasalnya, pangan merupakan kebutuhan mendasar bagi manusia untuk dapat mempertahankan hidup. 

Program swasembada pangan tersebut pun diikuti oleh produksi pupuk kimia. Yang imbasnya petani harus menggunakan pupuk kimia. Sampai saat inui ketergantungan akan pupuk kimia pun berlanjut. Sehingga berdampak dan menjadi beban Negara sampai saat ini.

Pupuk menjadi sarana produksi pertanian yang tidak bisa lepas dari kebutuhan petani. Karena itu jika distribusi tersendat, maka bisa menggangu usaha tani. Bahkan untuk menjamin kebutuhan penyubur tanaman tersebut, pemerintah memberikan subsidi yang jumlahnya hingga triliunan rupiah.

Pemerintah memberikan pupuk bersubsidi kepada para petani dalam rangka mendukung ketahanan pangan nasional. Pemberian pupuk bersubsidi ini haruslah memenuhi enam prinsip utama yang sudah dicanangkan atau disebut 6T, yakni tepat jenis, tepat jumlah, tepat harga, tepat tempat, tepat waktu, dan tepat mutu. Agar bisa memenuhi prinsip 6T, Kementerian Pertanian (Kementan) terus kawal dan membenahi sistem pendistribusian pupuk subsidi. Di antaranya lewat e-RDKK dan penerapan kartu tani serta memperketat pengawasan.

Mengenai pupuk bersubsidi ini diatur dalam Surat Keputusan Menperindag No. 70/MPP/Kep/2/2003 tanggal 11 Pebruari 2003, tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi Untuk Sektor Pertanian. Saat ini musim tanam tiba, ketersediaan pupuk harus terjaga dengan baik. PT. Pupuk Indonesia Holding Company (PIHC) sebagai perusahaan pelat merah yang bertugas menyediakan pupuk subsidi dituntut untuk ikut mengamankan stok pupuk.

Pada tahun 2021 alokasi pupuk subsidi yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 49 Tahun 2020 adalah sebesar 9,04 juta ton dan 1,5 juta liter pupuk organik cair.  Data sampai Oktober 2021 realisasi penyerapan pupuk subsidi baru mencapai angka 6.249.279 ton atau tercapai 69,1 persen. Artinya masih terdapat cadangan 2.792.279 ton yang bisa dimanfaatkan sampai akhir tahun

Kondisi Lapangan Jelang MT

Seperti apa kondisi ketersediaan pupuk pada musim tanam Oktober-Maret 2021-2022 ini?. Berdasarkan data dari kementrian Pertanian dan PIHC Hingga 31 Oktober 2021, jumlah stok pupuk subsidi di lini II yakni gudang penyangga level provinsi dan lini III di level kabupaten/kota berjumlah 1.126.723 ton. Artinya jumlah ini mencapai 294 persen dari stok minimum ketentuan pemerintah. 

Namun, sejak hujan turun sampai saat ini, petani masih kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Apapun merknya. Dibeberapa kabupaten di Pulau Lombok, mulai dari Lombok Tengah, Lombok Barat dan Lombok Timur, petani bersama beberapa organisasi kemasyarakatan bahkan sampai mendatangi gudang dan distributor pupuk bersubsidi di masing-masing wilayahnya.

Untuk pendistribusian pupuk bersubsidi diatur oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15/M-DAG/PER/4/2013 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian secara nasional mulai dari Lini I sampai dengan Lini IV dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 47/Permentan/SR.310/12/2017 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk bersubsidi. Mengenai jenis pupuk subsidi yang dimaksud tertuang dalam Pasal 3 yakni Urea, SP-36, ZA dan NPK dengan komposisi N : P : K = 15 : 15 : 15 dan 20 : 10 : 10. Semua pupuk tersebut harus memenuhi standar mutu Standar Nasional Indonesia (SNI).

Ketersedian stok berdasarkan data dan fakta di lapangan sangat jauh berbeda. Lalu dimanakan letak sekat yang terjadi? Siapa saja oknum yang bermain?. Ini menjadi catatan dan pertanyaan kita bersama.

Berdasarkan data dan fakta menarik yang terjadi pada MT kali ini adalah pada Oktober yang menjadi awal musim tanam, ternyata penebusan pupuk subsidi hanya terealisasi 645.080 ton atau 84 persen jauh lebih rendah dari SK Dinas 869.760 ton. Berdasarkan informasi di lapangan rendahnya penebusan pupuk subsidi ini ditengarai beberapa faktor.

Misalnya, posisi keuangan petani yang melemah karena untuk kebutuhan lain. Sebagian lainnya tidak menebus pupuk subsidi, karena belum mulai tanam atau tidak tanam lagi karena sewa lahan garapannya tidak diperpanjang. Ada juga petani yang enggan menebus di MT I karena jatahnya mengecil (perubahan dosis), mengakibatkan biaya transportasi lebih mahal.

Selain itu secara teknis, penebusan secara manual tidak dapat diwakilkan, sehingga menjadi tantangan lain dalam penyaluran pupuk. Ada juga beberapa daerah yang membatasi penyaluran pupuk bersubsidi berdasarkan musim tanam.

Secara prinsip dalam penebusan memang diperlukan kehati-hatian agar sesuai aturan main yang ditetapkan. Hal ini menjadi penting agar tidak menjadi temuan yang bermuara pada Badan Pemeriksa Keuangan.  

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian dan Kementerian Keuangan juga diminta menetapkan single HPP sebagai acuan maupun evaluasi pembayaran. Kemudian PIHC diminta meningkatkan peran supervisi atas kegiatan pengadaan dan pengawasan penyaluran di tingkat anak perusahaan.

Selain lintas sektoral, Kementrian Pertanian juga meminta dukungan semua pihak, terutama aparat, untuk mengawal distribusi pupuk bersubsidi sehingga tidak ada penyalahgunaan pupuk bersubsidi. Program e-RDKK dan kartu tani juga merupakan langkah kongret Kementan dalam memperbaiki sistem penyaluran pupuk subsidi. Upaya lain dilakukan melalui optimalisasi alokasi pupuk bersubsidi yang tersedia di tiap-tiap kabupaten dan kota, serta mendorong distributor dan kios untuk mengoptimalkan penyaluran pupuk bersubsidi.

Pada peraturan tersebut juga diatur mengenai produsen pupuk itu sendiri. Di sini produsen pupuk diwajibkan menyimpan stok hingga kebutuhan dua minggu ke depan. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah kelangkaan saat terjadi lonjakan permintaan di musim tanam. 

Tidak hanya itu saja, nantinya untuk mendapatkan pupuk bersubsidi ini para petani diharuskan memiliki kartu tani yang terintegrasi dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). Kartu Tani tersebut berisi mengenai kuota yang sesuai dengan kebutuhan petani. Untuk jumlah kuota ini tergantung dari luas lahan yang dimiliki setiap petani. 

Dilihat dari peraturan yang dibuat dari pusat sampai daerah sangat detail dan rinci. Namun, petani tidak membutuhkan administrasi yang rumit. Yang penting jagung, padi dan cabenya mendapatkan pupuk. Tugas administrasi adalah pemerintahd alam hal ini petugas lapangan yang sudah digaji dari pajak para petani. Sederhanakanlah aturannya. Dan sedaikanlah pupuknya. Agar hasil panen petani berlimpah dan senyum kecil di sudut bibit petani bisa keluar. Untuk angkos anak-anak petani sekolah.

Dimasa pandemi covid ini, beberapa daerah yang mengandalakna sector pertaniannya mampu bertahan. Sector pertanian menjadi dasar yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi. Jangan sampai petani hanya dibutuhkan pada saat saat genting dan pada saat musim kampanye. Hanya sekedar menyediakan pupuk saja, pemerintah tidak mampu. Dan jangan sampai pupuk ini terus dan terus berulang langka setiap musim tanam. Sehingga akan muncul sebuah anekdot baru “Pupuk Langka di Negeri agraris”.
 
Penulis adalah Peneliti Lombok Research Center (LRC)