Keamanan Pangan dan Ketahanan Pangan :
Dua Sisi Mata Uang

Ketahanan pangan (food security) merupakan salah satu isu paling sentral dalam pembangunan pertanian dan pembangunan nasional, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia yang berpenduduk besar. Dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan harus terdapat tiga pilar yang harus terpenuhi dimana, salah satu dari tiga pilar tersebut adalah terkait dengan pilar keamanan pangan.

Keamanan pangan merupakan salah satu faktor yang penting dalam menjamin ketersediaan pangan yang aman dan layak konsumsi. Pangan yang tidak aman dapat menimbulkan berbagai risiko kesehatan, seperti keracunan makanan, diare, dan penyakit lainnya. Oleh karena itu, keamanan pangan perlu menjadi perhatian utama dalam upaya mewujudkan ketahanan pangan. Keamanan pangan didefinisikan oleh UU Pangan (UU No 18, 2012) sebagai “Kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan”.  Sesuai dengan definisi tersebut, maka keamanan merupakan prasyarat dasar produk pangan.

Saat ini upaya peningkatan produktivitas pertanian menjadi tantangan utama dalam mencapai keamanan pangan di tengah upaya memenuhi permintaan yang terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk, perubahan iklim, dan lain sebagainya. Sejumlah kebijakan strategis dalam sektor pertanian akan diterapkan pada tahun 2024 dimana, salah satunya adalah melalui peningkatan produksi pangan domestik, penguatan riset, dan penambahan kapasitas petani dan nelayan.

Dua Sisi Mata Uang Keamanan Pangan dalam Mencapai Ketahanan Pangan
Upaya meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian melalui penggunaan pestisida dan pupuk kimia secara langsung akan berdampak pada peningkatan biaya produksi dimana, hal ini disebabkan oleh harga pestisida dan pupuk kimia yang tinggi. Selain itu, penggunan pestisida dapat mengganggu keseimbangan ekosistem, sehingga dapat menyebabkan munculnya hama dan penyakit baru.

Penggunaan pestisida untuk mengatasi hama dan gulma yang selama ini dilakukan oleh para petani akan meninggalkan reisdu atau sisa-sisa zat kimia yang beracun pada berbagai produk pertanian yang dikonsumsi oleh manusia dan hewan. Residu tersebut pastinya akan berdampak negatif bagi kesehatan manusia, seperti iritasi kulit, alergi, keracunan, kanker, gangguan hormon, dan kerusakan organ tubuh.

Untuk mengatasi serangan hama, para petani kita di Indonesia sudah terbiasa menggunakan pestisida kimia, bahkan penggunaannya sudah dilakukan secara berlebihan. Dalam laporan FAO (2022) yang berjudul “Pesticides use and trade 1990–2021”, Indonesia merupakan salah satu dari tiga negara pengguna pestisida terbesar di dunia pada 2021, setelah Brazil, dan Amerika Serikat. Penggunaan pestisida Indonesia tercatat mencapai 283 kiloton pada 2021.

Mengutip dari riset yang mendeteksi terjadinya cemaran pestisida di beberapa daerah lumbung pangan nasional, seperti di Indramayu dan Brebes. Riset juga menunjukkan pestisida jenis organoklorin mencemari perairan laut dan kerang hijau Perna viridis di pesisir Tambak Lorok Semarang[1]. Penggunaan pestisida tidak hanya digunakan oleh petani saja namun, dari berbagai kalangan masyarakat juga dapat ditemukan peredaran dari pestisida. Berbagai jenis pestisida yang umum digunakan oleh petani dan masyarakat adalah golongan insektisida, fungisida dan herbisida dengan bermacam merk dagang.

Jaminan keamanan pangan dan ketahanan pangan merupakan dua sisi yang sulit untuk dipisahkan. Peningkatan hasil produk pertanian merupakan harapan petani dan pemerintah dalam upaya mencapai ketahanan pangan dari aspek ketersediaan. Namun, penggunaan pestisida yang merupakan bahan kimia untuk mengatasi serangan hama dan dilakukan dalam jangka waktu lama akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan, produktivitas tanaman, serta makhluk hidup. Meskipun hal tersebut dilakukan sebagai upaya untuk meningkatkan hasil tanaman petani. Dampak dari pemakaian pestisida adalah pencemaran air, tanah, udara serta berdampak pada kesehatan petani, keluarga petani serta konsumen.

Selain penggunaan pestisida yang tidak sesuai, tantangan dalam upaya mewujudkan keamanan pangan adalah masih ditemukannya pangan yang beredar di pasaran yang mengandung bahan kimia berbahaya seperti formalin, boraks, rhodamine B, methanil yellow, dan pangan yang belum memenuhi standar keamanan pangan. Bahan-bahan kimia tersebut apabila menumpuk di dalam tubuh dapat berdampak buruk terhadap kesehatan. Bahan kimia dalam makanan yang dimaksud dalam hal ini adalah pengawet, penyedap, pewarna, pemantap, antioksidan, pengemulsi, pengumpal, pemucat, pengental, dan anti gumpal.
 
Pangan Lokal Dalam Menjamin Keamanan Pangan
Di tengah kondisi global saat ini, pangan menjadi salah satu isu strategis yang harus menjadi prioritas, baik di masa sekarang dan di masa yang akan datang. Hal ini karena pangan, baik dari sisi produksi, distribusi, maupun konsumsi memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan dimensi sosial, ekonomi, dan politik.

The Global Food Security Index (GFSI) mencatat ketahanan pangan di Indonesia pada 2022 sebesar 60,2 dimana, angka ini lebih tinggi dibandingkan dari tahun sebelumnya, yaitu 59,2. Namun apabila di lihat dari 10 tahun terakhir, GFSI terbaik Indonesia tercatat pada 2018 sebesar 62,4. Meskipun Indonesia merupakan negara agraris namun, berdasarkan GFSI Indonesia berada di urutan ke 69 dari 113 negara dan di bawah rata-rata global sebesar 62,2

Menjaga ketersediaan pangan melalui peningkatan produksi sangat penting namun, ketersediaan pangan harus juga dibarengi dengan keamanan pangan secara kualitas maupun kuantitas. Hal ini sebagai salah satu langkah penting di dalam upaya mengurangi kerentanan pangan sehingga, upaya diversifikasi keragaman pangan sangat diperlukan. Salah satunya adalah melalui diversifikasi pangan lokal.

Diversifikasi pangan lokal merupakan upaya yang penting untuk mencapai ketahanan pangan nasional yang aman dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengembangan pangan lokal dapat membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat, terutama petani dan pelaku usaha pangan lokal.

Permasalahan Indonesia sebagai negara agraris yang masih mengimpor pangan dapat diatasi dengan cara mendorong peningkatan produksi pangan lokal, terutama komoditas non-beras melalui usaha diversifikasi pangan lokal. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi pangan lokal di Indonesia mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun 2023, produksi ubi jalar mencapai 22,3 juta ton, produksi jagung mencapai 32,2 juta ton, dan produksi kacang tanah mencapai 2,8 juta ton. Diversifikasi pangan lokal akan berdampak terhadap upaya pengurangan ketergantungan masyarakat terhadap beras yang selama ini masih menjadi fokus pembangunan pertanian.

Selain itu, sebagian besar pangan lokal dihasilkan dari kearifan lokal masyarakat Indonesia dimana, dalam proses pembuatannya masih menggunakan metode tradisional. Sehingga hal ini dari aspek keamanan pangan juga dapat terjamin dan pada sisi lainnya juga dapat membantu melestarikan kearifan lokal tersebut. Pangan lokal memiliki kandungan gizi yang beragam, sehingga dapat membantu masyarakat memperoleh nutrisi yang seimbang. Hal ini penting untuk menjaga kesehatan masyarakat.



[1]https://theconversation.com/indonesia-pengguna-pestisida-terbesar-ketiga-dunia-tapi-riset-efeknya-masih-kurang-216168


Herman Rakha (Peneliti LRC)