Prinsip Penta-Helix dalam Penghapusan Kekerasan dan
Perkawinan Anak di NTB

Nusa Tenggara Barat (NTB) menjadi provinsi dengan presentase pernikahan anak tertinggi kedua tingkat nasional sebesar 16,59% di tahun 2022, hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) NTB Drs. T. Wismaningsih Drajadiah. Ibu Wisma juga menyampaikan data dispensasi perkawinan di Pengadilan Tinggi NTB terus meningkat selama empat tahun terakhir, dengan persentase pada tahun 2019 sebesar 370 kasus, 2020 sebesar 875 kasus, 2021 sebesar 1.132 dan awal tahun 2022 sebesar 153 kasus.

Melihat tingginya kasus pernikahan tersebut membuat pemerintah daerah menjadikan pencegahan perkawinan anak menjadi kebikan yang sangat penting dan serius. Berbagai terobosan dilakukan, mulai dari bagaiamana berkolaborasi antar Satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD), sampai melibatkan pihak luar (diluar instansi terkait) lainnya. Memang, jika melihat kompleksnya permasalahan kekerasan dan perkawinan anak ini dibutuhkan sebuah kerja bersama untuk memutus mata rantai kekerasand an perkawinan anak.

Dalam membangun sebuah tim agar tercipta lingkungan yang tepat bagi semua diperlukan interaksi dan kolaborasi. Kolaborasi adalah proses bekerja sama untuk menelurkan gagasan atau ide dan menyelesaikan masalah secara bersama-sama menuju visi bersama. Di dalam sebuah organisasi yang saling tergantung, kolaborasi menjadi kunci pemikiran kreatif. Kolaborasi itu penting untuk mencapai hasil terbaik saat menyelesaikan masalah yang rumit. Pada perkembangannya terdapat model kolaborasi dari yang sederhana terdiri dari dua pihak, kemudian berkembang menjadi tiga, empat, dan sampai lima pihak.

Kolaborasi tiga pihak atau dikenal dengan pendekatan triple-helix diperkenalkan oleh Etzkowitz dan Leydesdorff (1995). Kolaborasi ini menekankan bahwa interaksi ketiga komponen merupakan kunci utama bagi peningkatan kondisi yang kondusif bagi lahirnya inovasi, keterampilan, kreativitas, ide dalam pengembangan ekonomi kreatif. Triple-helix merupakan suatu pendekatan yang menguraikan tentang bagaimana sebuah inovasi muncul dari adanya hubungan yang seimbang, timbal balik, dan terus menerus dilakukan antar akademisi (perguruan tinggi serta lembaga penelitian dan pengembangan), pemerintah (government), dan para pelaku/sektor bisnis (entreprises). Sinerginitas ketiga komponen tersebut dikenal dengan istilah ABG (Academic, Business, and Government).

Konsep quadruple-helix disarankan pertama kali oleh Carayannis & Campbell (2009) dengan menambahkan helix keempat dari model Triple-Helix yang telah ada. Helix keempat ini diidentifikasi sebagai helix yang terasosiasi dengan ‘media’, ‘industri kreatif’, ‘budaya’, ‘nilai-nilai’, ‘gaya hidup’, dan ‘seni’. Alasan ditambahkannya helix keempat tersebut adalah karena nilai-nilai dan 5 budaya, di satu sisi, dan bagaimana realitas publik terbentuk dan dikomunikasikan oleh media, di sisi yang lain, memberikan dampak bagi sistem inovasi sebuah komunitas atau negara.

Peran media sangat penting dalam membentuk atau mengarahkan inovasi apa yang menjadi prioritas dalam sebuah negara. Adapun konsep penta-helix juga disarankan oleh Carayannis & Campbell (2010) dimana helix kelima merupakan penekanan aspek lingkungan alami (ekologi sosial) dari masyarakat dan ekonomi bagi pengetahuan produksi dan sistem inovasi.

Kolaborasi penta-helix bertujuan untuk memberdayakan otoritas lokal dan regional untuk menemukan pendekatan inovatif yang berkelanjutan dengan rencana aksi. Di dalam mendorong perubahan social tidak bisa dilakukan sendirian. Mengubah keadaaan harus dilakukan bersama-sama dengan banyak pihak. Hanya kolaborasi yang memungkinkan suatu masyarakat untuk dapat terus maju dan berkembang. Kolaborasi dalam konsep Penta-Helix merupakan kegiatan kerjasama antar bidang dan pihak dari Academic, Business, Community, Government, dan Media atau dikenal sebagai ABCGM.

Dalam kasus pencegahan kekerasan dan perkawinan anak, Pemerintah NTB sudah mulai melakukan upaya dengan konsep kolaborasi penta-helix. Melibatkan semua pihak untuk memutus mata rantai kekerasan dan perkawinan anak ini. Adapun peran dari masing masing actor meliputi :
Akademisi pada model penta-helix berperan sebagai conceptor. Seperti melakukan kajian-kajian terkait penyebab yang mendasar dalam kasus-kasus yang ada, melakukan kajian dampak dan bagaimana strategi untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan sumber daya manusia. Akademisi dalam hal ini merupakan sumber pengetahuan dengan konsep, teori-teori terbaru dan relevan.

Bisnis pada model penta-helix berperan sebagai enabler. Bisnis merupakan entitas yang melakukan proses bisnis dalam menciptakan nilai tambah dan mempertahankan pertumbuhan yang berkelanjutan. Namun, dalam kasus pencegahan kekerasan dan perkawinan anak, sector bisnis berperan untuk menerapkan standar operasional di dalam manajement perusahaan. Artinya sector bisnis langsung menerapkan praktik-praktik dan prilaku penceganan. Selain itu dengan keterlibatan sector bisnis sebagai corong kampanye dengan melakukan langsung di manajement perusahaan akan membuat masyarakat semakin sadar.

Komunitas pada model penta-helix berperan sebagai accelerator. Dalam hal ini komunitas merupakan orang-orang yang memiliki minat yang sama dan relevan dengan isu yang berkembang. Bertindak sebagai perantara atau menjadi penghubung antar pemangku kepentingan. Selain itu, keterlibatan NGO dalam kampanye dan mendorong penghapusan kekerasan dan perkawinan anak akan menjadikan isu yang didorong menjadi semakin cepat ditangkap oleh semua pihak.

Pemerintah pada model penta-helix berperan sebagai regulator. Pemerintah berperan sebagai regulator sekaligus berperan sebagai controller yang memiliki peraturan dan tanggung jawab dalam terlaksananya semua kebijakan yang telah dibuat.

Media pada model penta-helix berperan sebagai expender. Media berperan dalam mendukung publikasi dalam promosi dan membuat brand image. Agar isu ini betul-betul menjadi isu yang harus diperhatikan bersama dengan langkah-langkah yang cepat dan tepat.
 
Konsep Penta-Helix Dalam Penghapusan Kekerasan dan Perkawinan Anak
Sejalan dengan program dari Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB terutama bagaimana pencegahan kekerasan dan perkawinan anak sudah melakukan kerjasama dengan para pihak yang tertuang dalam Peraturan Gubernur no 6 tahun 2016 tentang kedudukan, susunan organisasi, tugas dan fungsi serta tata kerja dinas-dinas daerah propinsi Nusa Tenggara Barat pada rincian tugas dinas DP3AP2KB pada poin 4.e mengatakan bahwa pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang melibatkan para pihak lingkup daerah Propinsi dan lintas lainnya.

Pendekatan kolaborasi bersama lintas sector yang menyeluruh maupun dengan berbagai komunitas, dan melakukan transisi berdasarkan pendekatan berbasis local, keagamaan dan budaya. Kebijakan ini dilatarbelakangi dengan banyaknya kasus kasus yang terjadi di NTB. Program ini sebagai bukti bahwa pemerintah daerah menganggap anak merupakan masa depan suatu bangsa dan daerah. Sehingga program pencegahan kekerasan dan pencegahan perkawinan ini harus menjadi program prioritas dan berkelanjutan. Keterlibatan para akademisi dari universitas yang ada di NTB akan menjadikan program ini menjadi program yang efektif dan tepat sasaran. Dikarenakan para akademisi akan melakukan perancangan, pengujian atas berbagai inovasi untuk menanggulangi dan memutus mata rantai kekerasan dan perkawinan anak di masyarakat.

Untuk mencapai tujuan dan sasaran diperlukan penetapan arah kebijakan dan untuk mendukung dalam melaksanakan arah kebijakan tersebut diperlukan strategi. Arah kebijakan dan strategi pada poin 3 dan 4 dalam renstra tahun 2019-2023 yaitu Meningkatkan kualitas perlindungan perempuan dan anak, dengan strategi adalah sebagai berikut: a. Penguatan lembaga penyedia layanan bagi perempuan dan anak yang memerlukan perlindungan khusus, b. Penguatan gerakan masyarakat anti kekerasan (Germak) terhadap perempuan dan anak, c. Peningkatan kualitas pelayanan kekerasan terhadap perempuan dan anak termasuk tindak pidana perdagangan orang (TPPO), dengan penekanan pada upaya pencegahan, penanganan, rehabilitasi sosial, reintegrasi dan pemulangan korban kekerasan, d. Penguatan sistem data dan informasi, mencakup data kekerasan perempuan dan anak antara lain jenis kekerasan, tempat kejadian dan jenis penanganannya dan Meningkatkan kualitas pemenuhan hak anak, dengan strategi adalah sebagai berikut: a. PerwujudanProvinsi layak anak, mencakup penguatan layanan ramah anak., akses dasar bagi seluruh anak., penguatan jejaring media massa, dunia usaha dan lembaga masyarakat dalam upaya pemenuhan hak anak., peningkatan partisipasi anak dalam pembangunan., peningkatan hak kesehatan reproduksi, b. Penguatan sistem data dan informasi, mencakup data pemenuhan hak-hak anak, c. Optimalisasi fungsi pengawasan terhadap pemenuhan hak anak.

Tantangan
Walaupun kita semua mengetahui bahwa anak merupakan generasi penerus suatu bangsa. Dan bagaimana tumbuh kembang anak hari ini akan bisa melihat seperti apa masa depan bangsa itu sendiri. Namun, dikarenakan secara politis, isu anak kurang “Seksi” maka kebijakan daerah dan kebijakan pimpinan daerah dalam politik anggaran masih belum berpihak. Hal ini dapat dilihat dari seberapa besar pimpinan daerah berani mengalokasikan anggaran belanja derahnya untuk program-program yang terkait dengan pencegahan kekerasan dan perkawinan anak di NTB.
Selama 3 tahun berturut-turut. Anggaran untuk Dinas tetap sama yaitu tahun 2021 sejumlah 29,8 milyar, tahun 2022 juga tetap sama 29,8 milyar dan tahun 2023 juga sama yaitu 29,8 milyar. Dana tersebut masih dibagi ke beberapa bidang di Dinas. Khusus untuk pencegahan kekerasan dan perkawinan anak setiap tahunnya berkisar 10,2 milyar setiap tahunnya.
 
Solusi terintegrasi seperti melibatkan penta-helix, dengan menggunakan teknologi berbasis IT, model bisnis yang ramah terhadap perempuan dan anak, dan perubahan perilaku yang pro-terhadap perempuan dan anak diharapkan dapat membantu dalam menaggulangi permasalah kekerasan dan pencegahan perkawinan anak di NTB. Dalam hal ini diperlukan pendekatan sosio-kultural dan teknis yang terintegrasi dan berkelanjutan dalam mentransformasi semua program yang telah dibuat bersama.

Visi yang diemban dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Provinsi Nusa Tenggara Barat 2019-2023 merupakan dokumen perencanaan komprehensif sekaligus sebagai pedoman perencanaan strategis Daerah yang merupakan penjabaran visi dan misi Kepala Daerah. Visi Pembangunan Nusa Tenggara Barat adalah ”Terwujudnya Masyarakat Nusa Tenggara Barat yang Beriman, Berbudaya, Berdayasaing dan Sejahtera”, yang khusus terkait dengan pemberdayaan perempuan dan anak tertuang dalam misi poin ke 4 yaitu Meningkatkan mutu sumberdaya manusia yang berdayasaing melalui optimalisasi pelayanan pendidikan, kesehatan, keluarga berencana dan kesejahteraan sosial yang berkualitas, terjangkau dan berkeadilan gender.

Pendekatan
Untuk mencapai tujuan di atas perlu melibatkan organisasi lintas sektor dan disiplin ilmu untuk bersama-sama merancang dan menguji perilaku sosial terintegrasi, inovasi teknologi dan dampak yang nyata dan langsung dapat terlihat di dalam kehidupan bermasyarakat. Melalui kebijakan yang telah disusun diharapkan tercipta solusi baru untuk membantu menurunkan bahkan menghapus angka kekerasan dan perkawinan anak di NTB, memberikan pemulihan bagi korban, memberikan pendidikan yang layak bagi anak-anak penerus bangsa, pelibatan komunitas ke dalam semua tahapan program. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan bukti ilmiah yang terlokalisasi dan inovasi sosio-kultural dan teknis yang dapat memberikan perbaikan dan pertumbuhan berkelanjutan untuk anak-anak generasi bangsa dalam kehidupan bermasyarakat.

Model kolaborasi penta-helix dalam pencegahan kekerasan dan perkawinan anak bertujuan untuk memecahkan masalah ini dengan mensinergikan 5 aktor yaitu pemerintah, pelaku usaha, masyarakat, pusat penelitian dan pendidikan, serta media. Masing-masing aktor berkontribusi dalam cara tersendiri untuk menciptakan system berkelanjutan dari aspek lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi dalam mengatasi permasalahan kekerasan dan perkawinan anak di NTB. Mengingat anak adalah generasi penerus suatu bangsa dan daerah. Baiknya tumbuh kembang anak akan baik pula perkembangan bangsa dimasa yang akan datang. Maka kolaborasi penta-helix harus dilakukan untuk mencegah kekerasan dan perkawinan anak dengan menciptakan multiplier-effect.

Melalui proses partisipatif akan mengintegrasikan pengetahuan, penyamaan persepsi, dan penerapan kearifan lokal dengan keahlian lintas disiplin untuk menghapus angka kekerasan dan perkawianan anak di Nusa Tenggara Barat. Dengan tetap pada tujuan pembangunan yang berkeadilan untuk tercapainya NTB GEMILANG.
 
Maharani*
Penulis adalah Peneliti Lombok Research Center (LRC)