Oleh: Harianto*
Masyarakat nelayan yang beroperasi dan menjual hasil tangkapannya di Tempat Pelelangan Ikan yang ada di Tanjung Luar, Kecamatan Keruak, Kabupaten Lombok Tmur akan menggelar upacara adat selamatan laut (bahasa lokal=Nyelamaq di Lauq).
Pada upacara selamatan laut tersebut para nelayan menyepakati awik-awik atau peraturan lokal dari komunitas adat untuk mengistirahatkan laut dengan tidak mencari ikan selama tiga hari tiga malam.
Setelah bertanya berbagai hal terkait quisioner riset ketahanan pangan di masyarakat pesisir, saya menyela perbincangan yang santai dengan tetua adat nelayan Suku Bajau di selatan Lombok Timur. Mulanya saya bertanya tentang pengetahuan dan budaya warga lokal dalam menjalankan aktivitasnya sebagai kelompok nelayan yang dikenal dengan julukan gipsi laut ini.
“Kami terbentuk dari kerasnya karang dan derasnya gelombang. Kami tak takut hujan atau angin. Jika musim ikan tiba, sampan kami tetap berlabuh di malam buta membelah lautan. Dan kami akan kembali pulang di pagi hari membawa hasil tangkapan,” ungkap Abdul Hamid di rumahnya akhir bulan April 2025.
Sepekan yang lalu saya kembali menghubungi nelayan sekaligus tetua adat Bajau yang berusia 56 tahun ini. Lombok Research Center (LRC) mengundang perwakilan masyarakat di 6 desa lokasi penelitian untuk hadir pada kegiatan Diskusi Kelompok Terpumpun yang bertema Optimalisasi Penguatan Desa Mandiri Pangan Dalam Mewujudkan Ketahanan Pangan di Kabupaten Lombok Timur.
Namun karena nomor ponsel Abdul Hamid tidak aktif dan tak dapat dihuhubungi, saya kemudian mengkonfirmasi hal itu ke pemerintah desa terkait kendala kesibukan masyarakat yang tidak bisa hadir di kegiatan diskusi.
“Mohon maaf, kami ndak bisa hadir. Pekan-pekan ini kami sedang disibukkan dengan persiapan gawe adat Selamatan Laut. Kami sudah mengutus warga kami yang lain untuk hadir. Besok pagi Minggu acara penentuan hari dan sandronya,” kata Sekdes Tanjung Luar, Ari Arfansyah pada Sabtu pagi, 17 Mei 2025.
“Nggih, ndak apa-apa, Daeng. Oya, jika kebetulan bertemu, salam tiang ke tetua adat Bajau, pak Abdul Hamid,” ucapku.
Suku Bajau—lidah orang Sasak menyebutnya suku Bajo. Konon, nenek moyang merekalah yang pertama kali mendiami wilayah tanjung bagian pesisir selatan Lombok Timur.
Sebelum menjadi Desa Tanjung Luar, wilayah pesisir ini dulunya satu desa dengan Pijot. Pijot ini sendiri berasal dari bahasa Bajau, yakni Piju. Hanya saja, lagi-lagi lidah orang Sasak menyebut Piju ini menjadi Pijot. Pijot tak begitu dikenal oleh orang-orang Bajau yang tinggal di pesisir perairan Sulawesi Selatan. Wilayah Tanjung Luar dan Pijot dikenal dengan sebutan Kampung Selaparang.
Nyelamaq di Lauq atau selamatan laut adalah upacara tolak bala dan manifestasi rasa syukur yang saban tahun tetap diselenggarakan oleh klan adat masyarakat pesisir bagian selatan Lombok Timur.
Selain sebagai upacara wujud rasa syukur para nelayan atas karunia Tuhan, ritual adat ini juga semacam harapan nelayan untuk mendapatkan panen ikan yang lebih baik serta diberikan keselamatan dalam mengarungi luasnya lautan.
Ritual nyelamaq di lauq ini dilakukan dengan melarung kepala kerbau ke tengah laut. Tiga hari berturut-turut sebelum kerbau disembelih, masyarakat adat bersama warga dari keturunan Bugis, Mandar dan Bajau akan mengarak kerbau tersebut keliling kampung. Ini sebagai penanda akan dilakukannya prosesi ritual adat nyelamaq di lauq.
Kepala kerbau yang dibalut hiasan benang-benang emas itu akan dilepas beramai-ramai menggunakan sampan ke tengah laut di gugusan sebuah terumbu karang berbentuk cincin. Jaraknya sekitar 1-3 mil dari daratan.

Riuh dan sakralnya ritual ini semakin terasa ketika bunyi musik sarone berpadu dengan suara hiruk pikuk ratusan nelayan di atas sampan. Sebelum melepas kepala kerbau, pemangku adat atau sandro terlebih dahulu mendapatkan bisikan terkait titik lokasi dan tempat untuk melarung.
Usai melarung kepala kerbau ke tengah laut, para nelayan di selatan Lombok ini dilarang untuk melakukan segala aktivitas di laut selama tiga hari tiga malam. Semua warga pun mematuhi awik-awik itu tanpa terkecuali.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa Suku Bajau berasal dari Kepulauan Sulu, Filipina Selatan. Sementara sumber lain menyebutkan asal-usul mereka dari Semenanjung Malaka atau ada juga yang mengatakan nenek moyang mereka dari Sulawesi Selatan.
Eksistensi Suku Bajau menyebar ke berbagai wilayah Indonesia, termasuk Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, dan wilayah timur lainnya. Mereka dikenal sebagai masyarakat maritim yang memiliki ketergantungan yang kuat dengan laut sebagai sumber mata pencaharian dan tempat tinggal.
Bagi Suku Bajau, laut bukan hanya sebagai tempat tinggal dan sumber mata pencaharian, tetapi juga menjadi bagian dari identitas dan budaya. Mereka dikenal sebagai nelayan, penyelam, dan perajin perahu yang ulung, serta memiliki pengetahuan mendalam tentang laut dan ekosistemnya.
Memelihara kelestarian ekosistem melalui ritual selamatan laut (nyelamaq di lauq) merupakan salah satu wujud ritual kepercayaan dan cara resiliensi komunitas adat nelayan di desa-desa sekitar Tanjung Luar untuk menjaga sumber penghidupan mereka yang bergantung dari hasil laut.
Ketahanan Pangan Lokal
Pemerintah RI telah menetapkan berbagai regulasi sebagai landasan hukum ketahanan pangan. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan menyebutkan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, aman, bergizi, merata, dan terjangkau.
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi juga menegaskan pentingnya peran masyarakat dalam sistem pangan, termasuk melalui pengembangan desa mandiri pangan.
Kabupaten Lombok Timur sebagai salah satu daerah agraris dan maritim di Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki potensi besar untuk mendukung ketahanan pangan nasional.
Desa Mandiri Pangan adalah desa yang mampu mengelola sumber daya secara berkelanjutan dan dapat memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya secara mandiri, baik dalam aspek produksi, distribusi, hingga konsumsi. Konsep tersebut sejalan dengan arah pembangunan nasional yang tercantum dalam RPJPN 2025–2045, yang menekankan pentingnya pembangunan berbasis wilayah dan penguatan ketahanan pangan lokal.
Upaya optimalisasi desa mandiri pangan tidak hanya berdampak pada penyediaan pangan, tetapi juga berkontribusi pada pengurangan kemiskinan, peningkatan gizi, serta pemberdayaan ekonomi masyarakat pedesaan.[]
*Penulis merupakan Peneliti Lombok Research Center (LRC)