MAKAN BERGIZI GRATIS DI LOMBOK TIMUR: HARAPAN DAN TANTANGAN UNTUK KELOMPOK RENTAN

Oleh : Herman Rakha*

Hamparan sawah bak permadani terhampar dengan bukit hijau di belakangnya, bahkan di beberapa wilayah pedesaan, kokohnya Gunung Rinjani dan aliran sumber air yang masih alami menjadi pemandangan biasa yang menambah pesona keindahan panorama alam di Kabupaten Lombok Timur. Namun di balik pesona alamnya, ada cerita yang tak selalu terdengar, anak-anak yang berjuang melawan stunting, ibu hamil yang kekurangan gizi, dan keluarga miskin yang kesulitan untuk mengakses pangan bergizi.

Kabupaten Lombok Timur dengan pesona dan sumber daya alam yang melimpah, menyimpan tantangan besar dalam memastikan hak pangan bagi kelompok rentan. Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang resmi diluncurkan oleh pemerintah pusat pada januari 2025 yang lalu, hadir sebagai angin segar.Wakil Bupati Lombok Timur, H. Moh. Edwin Hadiwijaya, menegaskan komitmen Pemerintah Daerah Lombok Timur (Pemda Lotim) dalam mendukung peningkatan kualitas gizi anak-anak melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG). Wabup juga memberikan penegasan bahwa program MBG mampu memberikan dampak positif tidak hanya bagi kesehatan anak-anak, namun juga terhadap kesejahteraan petani lokal[1].

Penulis sepakat dengan apa yang ditegaskan oleh Wabup Lombok Timur namun, penulis juga bertanya apakah Program MBG tersebut dapat menjawab kebutuhan kelompok rentan yang ada di Lombok Timur? Penulis ingin mengajak Anda menyelami harapan dan tantangan di balik MBG, khususnya di Lombok Timur, dengan melihat fakta di lapangan dan mimpi besar untuk generasi Lombok Timur yang lebih sehat.

Di dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional tertuang empat target utama penerima program makan bergizi gratis, diantaranya (1) peserta didik pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah di lingkungan pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan keagamaan, pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus, dan pendidikan pesantren; (2) anak usia di bawah lima tahun; (3) Ibu hamil; dan (4) Ibu menyusui.

Di Kabupaten Lombok Timur, program ini telah disosialisasikan di berbagai kecamatan, seperti Sembalun, Aikmel, Suela, Sikur, Selong, dan keruak, dengan target 3.000 siswa per kecamatan atau menyasar 63.000 anak di 21 kecamatan[2]. Tujuannya memang sangat mulia untuk memastikan anak-anak sebagai generasi penerus mendapatkan asupan gizi seimbang untuk dapat tumbuh sehat dan cerdas. Namun kembali ke pertanyaan penulis di awal, bagaimana memastikan program tersebut sampai pada kelompok rentan, seperti anak-anak dari keluarga miskin, penyandang disabilitas, ataupun komunitas yang terpencil yang jauh dari pantauan pemerintah daerah. Program ini mungkin menjadi suatu janji kehadiran negara di meja makan mereka.

Untuk itu mari kita melihat lebih dekat kondisi Lombok Timur. Berdasarkan data dari Riskesdas/SSGI/SKI (2023) di Lombok Timur ada sebesar 27,6% balita mengalami stunting. Sedangkan berdasarkan e-PPGBM (2023) sebesar 16,18% balita mengalami stunting di Lombok Timur. Artinya, hampir satu dari tiga anak di bawah usia lima tahun di daerah ini mengalami pertumbuhan terhambat akibat malnutrisi kronis. Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Kabupaten Lombok Timur menargetkan penuntasan 11.833 keluarga berisiko stunting pada tahun 2025[3].

Angka ini diperparah dengan masih tingginya tingkat kemiskinan. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan persentase penduduk miskin di Lombok Timur tahun 2024 mencapai 14,51 persen, artinya terdapat 14-15 orang yang rata-rata pengeluaran sebulannya di bawah garis kemiskinan. Persentase kemiskinan ini turun 1,2 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kelompok rentan, seperti keluarga petani subsisten atau pekerja harian, sering kali hanya mampu menyediakan makanan berbasis karbohidrat tanpa protein atau mikronutrien yang cukup. Di wilayah terpencil seperti Sembalun atau Sambelia atau yang berada di pulau Maringkik, akses ke pasar pangan bergizi juga terbatas oleh jarak dan biaya transportasi. Di sinilah MBG diharapkan menjadi game-changer.

Sosialisasi MBG di Lombok Timur, yang melibatkan Badan Gizi Nasional (BGN) dan DPR, menunjukkan komitmen awal yang kuat. Di Kecamatan Aikmel, misalnya, BGN menegaskan bahwa MBG bukan sekadar program makan siang gratis, melainkan upaya memastikan anak-anak mendapatkan gizi seimbang. “Bukan hanya kenyang, tetapi sehat,” kata salah satu perwakilan BGN dalam acara sosialisasi, seperti dilansir Tribun Lombok pada 13 Mei 2025. Di Keruak, program ini juga disambut antusias oleh masyarakat, meskipun uji coba MBG sempat ditunda hingga 6 Januari 2025 karena kendala logistik[4]. Langkah ini menunjukkan bahwa pemerintah berusaha menyesuaikan program dengan realitas lapangan, tapi tantangan besar masih menanti.

Salah satu tantangan utama adalah distribusi pangan di wilayah terpencil. Lombok Timur memiliki topografi yang beragam, dari dataran rendah hingga pegunungan. Kecamatan seperti Sembalun, yang terletak di kaki Gunung Rinjani, sering menghadapi kesulitan akses selama musim hujan. Bagaimana makanan bergizi bisa sampai ke sekolah-sekolah di desa-desa terisolasi? Belum lagi, infrastruktur penyimpanan pangan, seperti gudang berpendingin, masih terbatas di banyak kecamatan. Tanpa solusi logistik yang matang, MBG berisiko gagal menjangkau kelompok rentan yang paling membutuhkan, seperti anak-anak di desa-desa terpencil atau keluarga yang tinggal di daerah rawan bencana.

Inklusivitas juga menjadi isu krusial. MBG menargetkan “akses merata” untuk semua siswa, tanpa memandang latar belakang ekonomi atau sosial, seperti disampaikan dalam sosialisasi di Sembalun pada 16 Mei 2025[5]. Namun, bagaimana dengan anak-anak penyandang disabilitas atau kelompok rentan lain, seperti anak-anak dari keluarga migran atau komunitas marginal? Anak-anak dengan kebutuhan khusus sering kali membutuhkan menu yang disesuaikan, seperti makanan rendah garam untuk penderita gangguan ginjal atau tekstur lembut untuk anak dengan kesulitan menelan. Tanpa pelatihan khusus bagi penyedia makanan atau pendamping di sekolah, MBG berisiko tidak sepenuhnya inklusif. Di Lombok Timur, di mana data tentang anak berkebutuhan khusus masih terbatas, pemerintah daerah perlu bekerja ekstra untuk memetakan dan mengakomodasi kebutuhan ini.

Selain itu, pengawasan program menjadi kunci. Lombok Timur bukan daerah yang terbebas dari isu penyimpangan program sosial. Dana desa atau bantuan sosial pernah dilaporkan disalahgunakan di beberapa wilayah. MBG, dengan anggaran besar dan distribusi pangan skala luas, rentan terhadap praktik korupsi atau ketidakefisienan. Pemerintah daerah harus melibatkan komunitas lokal—misalnya, kelompok ibu-ibu PKK atau karang taruna—untuk memantau distribusi dan kualitas makanan. Transparansi, seperti laporan publik tentang anggaran dan penerima manfaat, juga penting untuk menjaga kepercayaan masyarakat. Tanpa pengawasan yang ketat, mimpi besar MBG bisa tergerus oleh praktik yang tidak bertanggung jawab.

Meski begitu, harapan tetap ada. MBG bukan hanya soal makanan di piring, tetapi juga tentang investasi jangka panjang untuk generasi Lombok Timur. Bayangkan seorang anak dari keluarga petani di Sambelia atau Pulau Maringkik, yang sebelumnya hanya makan nasi dengan garam, kini mendapatkan protein dari telur atau ikan melalui MBG. Gizi yang lebih baik berarti konsentrasi belajar yang meningkat, risiko penyakit yang berkurang, dan peluang untuk meraih cita-cita yang lebih besar. Untuk ibu hamil dan menyusui, asupan gizi yang cukup bisa mencegah stunting pada generasi berikutnya. Jika dikelola dengan baik, MBG bisa menjadi katalis perubahan sosial di Lombok Timur, mengurangi kesenjangan gizi dan memberdayakan kelompok rentan.
 
Memastikan Program MBG yang Inklusif
Lalu, apa yang bisa dilakukan untuk memastikan MBG sukses di Lombok Timur? Pertama, pemerintah daerah perlu berinvestasi pada infrastruktur logistik, seperti armada pengiriman pangan atau gudang penyimpanan di kecamatan terpencil. Kedua, pelatihan bagi guru, tenaga kesehatan, dan penyedia makanan harus mencakup aspek inklusivitas, seperti penanganan kebutuhan gizi khusus. Ketiga, keterlibatan komunitas lokal dalam perencanaan dan pengawasan program akan memastikan MBG berjalan sesuai kebutuhan masyarakat. Terakhir, pemerintah bisa memanfaatkan potensi lokal, seperti ikan dari nelayan Lombok Timur atau sayuran dari petani Sembalun, untuk memenuhi kebutuhan pangan MBG. Ini tidak hanya mendukung ekonomi lokal, tetapi juga memastikan makanan segar dan bergizi sampai ke penerima.

Sebagai penutup, MBG adalah langkah besar menuju masa depan yang lebih sehat bagi kelompok rentan di Lombok Timur. Namun, keberhasilannya bergantung pada eksekusi yang cermat, inklusif, dan transparan. Penulis percaya, dengan kolaborasi antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat sipil, program ini bisa menjadi tonggak perubahan. Mari kita dukung MBG, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan memastikan suara kelompok rentan didengar dan kebutuhan mereka terpenuhi. Karena di setiap piring makanan bergizi, ada harapan untuk generasi yang lebih kuat dan bermartabat.
 
 


[1] https://www.rri.co.id/mataram/makan-bergizi-gratis/1476947/pemda-lombok-timur-komitmen-tingkatan-gizi-anak-lewat-program-mbg
 [2] https://ntb.idntimes.com/news/ntb/ruhaili/pelaksanaan-program-makan-bergizi-gratis-di-lombok-timur-ditunda?page=all
 [3] https://www.teras.id/read/630134/dp3akb-lombok-timur-targetkan-penuntasan-11-833-keluarga-berisiko-stunting-pada-2025
 [4] https://ntb.idntimes.com/news/ntb/ruhaili/pelaksanaan-program-makan-bergizi-gratis-di-lombok-timur-ditunda
 [5] https://mataram.antaranews.com/berita/424017/dpr-dan-badan-gizi-nasional-sosialisasi-mbg-di-lombok-timur
 

*Penulis merupakan Peneliti Lombok Research Center (LRC)