Lombok Timur SMART: Membuka Pintu Inklusi untuk Setiap Langkah

Oleh: Herman Rakha*

Kabupaten Lombok Timur, dengan visi pembangunan SMART (Sejahtera, Maju, Adil, Religius, Transparan) di bawah kepemimpinan Bupati Haerul Warisin dan Wakil Bupati Moh. Edwin Hadiwijaya, memiliki peluang besar untuk menjadi model daerah inklusif Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) maupun di Indonesia. Di dalam dokumen RPJMD Kabupaten Lombok Timur 2025-2029 yang sedang dibahas, terdapat beberapa program kebijakan dalam upaya mendukung pembangunan inklusif.

Penulis menggarisbawahi terkait dengan kebijakan pasangan Iron-Edwin dalam mendorong pembangunan inklusif di Lombok Timur. Sebagai pegiat isu-isu inklusivitas, tentu rencana pembangunan tersebut harus didukung, meskipun tidak harus meyakini bahwa kebijakan tersebut nantinya akan berjalan sesuai dengan target. Pengalaman penulis selama ini, penyandang disabilitas di Lombok Timur masih menghadapi narasi ketidaksetaraan yang membatasi hak mereka atas pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan partisipasi sosial.

Data dari Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang disadur dari laman Satu Data NTB, jumlah penyandang disabilitas di Lombok Timur tahun 2022 adalah 130,781 atau mencapai 29,21 persen dari total jumlah penyandang disabilitas di NTB sejumlah 447,738. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah perempuan penyandang disabilitas lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 75,171 (57.48%) berbanding 55,610 (42.52%).

Dengan populasi penduduk berkebutuhan khusus tersebut, tentunya merupakan salah satu tantangan yang tidak dapat diabaikan dalam kerangka mewujudkan pembangunan inklusif di Lombok Timur. Tulisan ini bertujuan memberikan masukan konstruktif kepada pemerintah daerah agar visi SMART dapat benar-benar menyentuh kelompok rentan ini, mewujudkan Lombok Timur yang adil dan sejahtera untuk semua.

Lombok Research Center (LRC) melalui dukungan Program INKLUSI telah membuat kajian terkait dengan berbagai hambatan yang dialami oleh penyandang disabilitas di daerah ini. Berdasarkan laporan LRC (2023), berbagai hambatan sistemik yang berimplikasi terhadap terdiskriminasinya mereka dalam mengakses berbagai layanan publik, mulai dari pendidikan hingga pekerjaan.

Satuan pendidikan yang berada di wilayah kewenangan daerah saat ini memang telah berstatus sebagai “Sekolah Ramah Anak”, yaitu sekolah yang berupaya menjamin dan memenuhi hak-hak anak dalam setiap aspek kehidupan secara terencana dan bertanggung jawab. Namun, apakah keberadaan satuan pendidikan yang telah ramah anak itu mampu memberikan dan menyediakan kesempatan bagi anak-anak di Lombok Timur yang memiliki kebutuhan khusus untuk dapat belajar bersama di lingkungan kelas reguler?

Berdasarkan data hasil rekapitulasi Kementerian Pendidikan Nasional tahun 2024, jumlah anak tidak bersekolah di Lombok Timur mencapai 21.778 anak dengan rincian sebagai berikut; (1) Anak belum pernah sekolah, 13.139 anak; (2) Anak putus sekolah, 4.309 anak; dan (3) Anak lulus tidak lanjut, 4.330 anak. Ekonomi, keterbatasan akses, dan faktor sosial budaya menjadi penyebab munculnya angka tersebut.

Banyak sekolah belum memiliki fasilitas ramah disabilitas, seperti ramp atau kurikulum inklusif, sehingga anak-anak berkebutuhan khusus sulit mengakses pendidikan bermutu. Berbicara tenaga pendidik, di Lombok Timur terdapat sekitar lebih dari 40 guru yang memiliki keterampilan khusus yang keberadaan mereka hingga saat ini masih belum dimaksimalkan fungsi dan keterampilan mereka.
 
Dalam hal pekerjaan, data dari Lombok Barat (2023) yang menunjukkan hanya 0,8% penyandang disabilitas terserap dalam dunia kerja mengindikasikan tantangan serupa di Lombok Timur. Selain itu, laporan PBB di Indonesia (2023) menyoroti kesenjangan data disabilitas, yang menyebabkan kebutuhan kelompok ini sering terabaikan dalam perencanaan pembangunan. Stigma sosial juga memperburuk situasi, dengan penyandang disabilitas kerap menghadapi diskriminasi atau bahkan kekerasan fisik dan mental.

Visi SMART pemerintah daerah menawarkan kerangka yang kuat untuk mengatasi ketidaksetaraan ini. Pertama, aspek Sejahtera dapat diwujudkan melalui jaminan akses layanan dasar. Penyandang disabilitas membutuhkan layanan kesehatan yang inklusif, seperti rehabilitasi fisik atau konseling psikologis, serta pendidikan yang ramah difabel. Program INKLUSI yang saat ini sedang berjalan harus dilanjutkan dengan komitmen anggaran yang jelas. Kedua, aspek Maju menuntut pemberdayaan ekonomi. Pelatihan keterampilan kerja, seperti kerajinan atau teknologi digital, dapat meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam pasar kerja. Contohnya, target Lombok Barat untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja disabilitas menjadi 1,9% pada 2026 bisa menjadi acuan.

Ketiga, aspek Adil menekankan pentingnya regulasi inklusif. Peraturan Daerah (PERDA) Nomor 5 Tahun 2023 Tentang Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan hak Disabilitas, Perempuan dan Anak di Kabupaten Lombok Timur (Perda Inklusif), yang telah disahkan pada 23 Desember 2023 adalah langkah bersejarah. Namun, implementasinya perlu pengawasan ketat. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa fasilitas umum, seperti kantor bupati atau puskesmas, memiliki aksesibilitas fisik seperti ramp dan toilet ramah difabel. Keempat, nilai Religius dapat dimanfaatkan untuk mengkampanyekan kesadaran publik. Nilai-nilai kemanusiaan dalam agama, seperti kasih sayang dan keadilan, dapat digunakan untuk mengurangi stigma sosial terhadap penyandang disabilitas. Terakhir, aspek Transparan menuntut keterbukaan data dan anggaran. Pemerintah perlu mempublikasikan data penyandang disabilitas secara berkala dan melibatkan mereka dalam perencanaan, seperti melalui Musrenbang tematik ataupun Musrenbagdes tematik.
 
Rekomendasi
Untuk mewujudkan visi ini, beberapa rekomendasi kebijakan dapat dipertimbangkan. Pertama, pemerintah daerah harus membentuk forum konsultasi rutin dengan organisasi penyandang disabilitas serta organisasi masyarakat sipil (OMS) untuk memastikan aspirasi mereka terdengar. Kedua, alokasikan anggaran khusus untuk program pemberdayaan, seperti pelatihan kerja dan pendidikan inklusif, dengan target terukur seperti peningkatan partisipasi kerja hingga 2% pada 2027. Ketiga, tingkatkan aksesibilitas fisik di semua fasilitas umum, dimulai dari kantor pemerintahan dan sekolah. Keempat, luncurkan kampanye publik berbasis nilai-nilai religius untuk menghapus stigma sosial, misalnya melalui khutbah Jumat atau kegiatan komunitas. Kelima, integrasikan data disabilitas dalam sistem perencanaan pembangunan, seperti yang dilakukan di Manggarai Timur melalui kerja sama dengan Yayasan AYO Indonesia.

Kolaborasi adalah kunci untuk mengatasi ketidaksetaraan ini. Pemerintah daerah harus bekerja sama dengan organisasi non-pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil untuk memastikan kebijakan inklusif berjalan efektif. Selain itu, Bupati dan Wakil Bupati perlu menjadikan isu disabilitas sebagai prioritas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2025-2029, dengan indikator keberhasilan yang jelas, seperti nol kasus kekerasan terhadap penyandang disabilitas dan peningkatan akses layanan publik.

Lombok Timur memiliki potensi besar untuk menjadi kabupaten inklusif yang tidak hanya sejahtera dan maju, tetapi juga adil bagi semua warganya. Dengan komitmen kuat dari Bupati Haerul Warisin dan Wakil Bupati Moh. Edwin Hadiwijaya, serta dukungan masyarakat, visi SMART dapat menjadi kenyataan. Mari bersama-sama memastikan bahwa penyandang disabilitas tidak lagi tertinggal, tetapi menjadi bagian integral dari pembangunan Lombok Timur yang bermartabat.