Herman Rakha*
Perekonomian Kabupaten Lombok Timur (Lotim) masih ditopang dari sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sektor pertanian secara umum masih menjadi kontributor terbesar Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Atas Dasar Harga (ADH) Berlaku tahun 2024, yaitu sebesar 27 persen. Kontribusi ini turun dibandingkan dengan tahun 2020, sebesar 27,89 persen.
Meskipun memiliki potensi besar sebagai daerah agraris namun, Lombok Timur memiliki tantangan terkait dengan ketahanan pangan. Isu ini tentunya menjadi sangat penting bagi H. Haerul Warisin dan H. Moh Edwin Hadiwijaya selaku Bupati dan Wakil Bupati Lombok Timur dalam upaya mewujudkan visi pembangunan Lotim SMART (Sejahtera, Maju, Adil, Religius, Transparan), yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat, kemajuan wilayah, keadilan sosial, kehidupan beragama yang baik, dan pemerintahan yang transparan.
Selain itu, isu ketahanan pangan sangat penting terutama bagi kelompok rentan yang ada di Lombok Timur, seperti masyarakat miskin, perempuan kepala keluarga, penyandang disabilitas, dan kelompok lansia. Untuk itu, diperlukan suatu sistem pangan daerah yang inklusif dan menjadi solusi untuk memastikan semua lapisan masyarakat memiliki akses terhadap pangan yang cukup, bergizi, dan terjangkau.
Tren Ketahanan Pangan di Lombok Timur (2022–2024)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Nusa Tenggara Barat, tingkat kemiskinan di Lombok Timur menunjukkan fluktuasi dengan tren menurun, namun masih signifikan. Pada tahun 2022, persentase penduduk miskin di Lombok Timur mencapai 15,14 persen, naik menjadi 15,63 pada 2023, dan tahun 2024 turun menjadi 14,51 persen. Meski demikian, angka ini ini menunjukkan bahwa sekitar 185.030 jiwa masih hidup di bawah garis kemiskinan, dengan akses pangan terbatas.
Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 mencatat prevalensi stunting di Lombok Timur sebesar 35,6 persen, turun menjadi 27,6 persen pada 2023, dan ditargetkan turun ke 24,35 persen pada 2025 dan 20,87 persen pada 2029 (Indikator Sspek Kesehatan-Dokumen RPJMD Lombok Timur 2025-2029). Angka ini mencerminkan tantangan gizi buruk yang terkait dengan akses pangan yang tidak memadai, terutama bagi anak-anak dari keluarga miskin.
Kelompok rentan seperti perempuan kepala keluarga dan penyandang disabilitas menghadapi hambatan tambahan. Data Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Lombok Timur[1], menunjukkan bahwa 23,13 persen rumah tangga di Lombok Timur dipimpin oleh perempuan, banyak di antaranya berpenghasilan rendah dan bergantung pada sektor informal.
Sementara itu, berdasarkan data dari Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) yang disadur dari laman Satu Data NTB, jumlah penyandang disabilitas di Lombok Timur tahun 2022 adalah 130,781 atau mencapai 29,21 persen dari total jumlah penyandang disabilitas di NTB sejumlah 447,738. Berdasarkan jenis kelamin, jumlah perempuan penyandang disabilitas lebih besar dibandingkan dengan laki-laki, yaitu 75,171 (57.48%) berbanding 55,610 (42.52%). Penyandang disabilitas sering kali kesulitan mengakses layanan pangan karena keterbatasan fisik dan infrastruktur yang tidak ramah disabilitas. Data ini menggarisbawahi perlunya kebijakan yang inklusif untuk menjangkau kelompok-kelompok ini.
Tantangan dalam Sistem Pangan Inklusif
Sistem pangan di Lombok Timur masih menghadapi sejumlah tantangan. Pertama, keterbatasan akses ekonomi produktif bagi kelompok rentan membuat mereka sulit membeli pangan bergizi. Kedua, infrastruktur distribusi pangan, seperti akses jalan ke desa-desa terpencil, belum merata, sehingga menyulitkan distribusi bantuan pangan. Ketiga, kebijakan afirmatif yang menyasar kelompok rentan masih minim, terutama dalam hal pemberdayaan ekonomi perempuan dan penyandang disabilitas. Keempat, data terpadu tentang kebutuhan pangan kelompok rentan masih kurang akurat, sehingga bantuan sering kali tidak tepat sasaran.
Rekomendasi Kebijakan untuk Pemerintah Daerah
Untuk mengatasi tantangan ini, pemerintah daerah Lombok Timur perlu mengadopsi pendekatan inklusif dalam pengembangan sistem pangan. Berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan:
1. Pengembangan Lumbung Pangan Desa Berbasis Partisipasi Masyarakat
Sesuai dengan Keputusan Menteri Desa PDTT No. 82 Tahun 2022 tentang Pedoman Ketahanan Pangan Di Desa, pemerintah daerah dapat mendorong pembangunan lumbung pangan desa untuk memastikan ketersediaan pangan di tingkat lokal. Lumbung ini harus melibatkan partisipasi masyarakat, termasuk kelompok rentan, dalam perencanaan dan pengelolaannya. Misalnya, 239 desa di Lombok Timur dapat memanfaatkan lahan kas desa untuk pertanian kolektif yang dikelola oleh kelompok perempuan dan penyandang disabilitas.
2. Program Pemberdayaan Ekonomi melalui UMKM Pangan Lokal
Pemerintah daerah dapat meluncurkan program pelatihan dan pendanaan UMKM pangan lokal yang melibatkan perempuan kepala keluarga dan penyandang disabilitas. Contohnya, pelatihan pengolahan ikan laut menjadi produk bernilai tambah seperti abon atau kerupuk dapat meningkatkan pendapatan kelompok rentan sekaligus mendukung ketahanan pangan lokal.
3. Peningkatan Infrastruktur dan Layanan Pangan Ramah Disabilitas
Infrastruktur distribusi pangan, seperti pasar tradisional dan posko bantuan pangan, harus dirancang ramah disabilitas dengan akses jalan yang mudah dan layanan antar pangan untuk penyandang disabilitas yang tidak dapat berpindah tempat. Program ini dapat berupa pembangunan infrastruktur pendukung ketahanan pangan.
4. Penguatan Data Terpadu untuk Bantuan Pangan Tepat Sasaran
Pemerintah daerah perlu memperbarui Data Pensasaran Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem (P3KE) untuk memetakan kebutuhan pangan kelompok rentan. Data ini harus mencakup informasi spesifik tentang perempuan kepala keluarga, penyandang disabilitas, dan lansia, sehingga bantuan pangan seperti Program Makan Bergizi Gratis dapat menjangkau mereka secara efektif.
5. Promosi Pola Konsumsi Pangan Beragam dan Bergizi
Mengacu pada Gerakan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (B2SA), pemerintah daerah dapat mengkampanyekan pola makan berbasis sumber daya lokal, seperti jagung, kacang-kacangan, dan ikan laut, untuk meningkatkan gizi masyarakat miskin. Program ini dapat diintegrasikan dengan Posyandu untuk menjangkau ibu hamil dan anak-anak dari keluarga rentan.
Sistem pangan daerah yang inklusif di Lombok Timur bukan hanya kebutuhan, tetapi juga tanggung jawab bersama. Pemerintah daerah harus bekerja sama dengan komunitas lokal, organisasi masyarakat sipil, dan sektor swasta untuk mewujudkan ketahanan pangan yang berkeadilan. Dengan mengimplementasikan rekomendasi di atas, Lombok Timur dapat menjadi model daerah yang tidak hanya swasembada pangan, tetapi juga memastikan bahwa tidak ada satu pun warga yang tertinggal dalam akses pangan bergizi. Mari bersama wujudkan Lombok Timur yang inklusif dan berkelanjutan!
*Merupakan peneliti pada Lombok Research Center (LRC)