Di sebuah ruangan sederhana di Desa Banjar Sari, Kabupaten Lombok Timur, terdengar suara mesin jahit berderu pelan. Di balik meja kerja, enam orang penyandang disabilitas tampak tekun menggerakkan tangan mereka, menyusuri pola kain dengan penuh konsentrasi. Sesekali, instruktur yang juga seorang perempuan disabilitas mendekat, memberi arahan, memperbaiki lipatan, atau sekadar menyemangati.
Selama dua puluh hari, mulai 23 September 2025, mereka mengikuti pelatihan menjahit yang digagas pemerintah Desa Banjar Sari. Program ini bukan sekadar kegiatan keterampilan, melainkan sebuah langkah nyata untuk membuka ruang inklusi dan kemandirian bagi kelompok yang selama ini kerap terpinggirkan.
“Kami percaya bahwa setiap orang memiliki kesempatan untuk produktif dan mandiri,” ujar Kepala Desa Banjar Sari, Asmiluddin, S.Sos., M.H., saat ditemui di sela-sela kegiatan pembukaan. Baginya, inisiatif ini adalah wujud pertanggungjawaban moral sekaligus kewajiban pemerintah desa dalam mengakomodasi potensi warganya, termasuk penyandang disabilitas.
Membidik Kelompok Rentan
Tidak banyak desa yang secara spesifik menargetkan kelompok disabilitas dalam program pemberdayaan. Banjar Sari menjadi pengecualian. Dari enam peserta yang ikut, lima di antaranya adalah perempuan dan satu laki-laki, semuanya penyandang disabilitas fisik.
Pemilihan mereka bukan tanpa alasan. Data lapangan menunjukkan, kelompok disabilitas di pedesaan kerap menghadapi berlapis tantangan—mulai dari stigma sosial, keterbatasan akses pendidikan dan pekerjaan, hingga hambatan mobilitas. Alhasil, banyak yang terjebak dalam lingkaran ketergantungan ekonomi.
Dengan memberikan pelatihan menjahit, pemerintah desa berharap dapat membuka pintu alternatif. Keterampilan ini tidak hanya memberi peluang usaha mandiri, tetapi juga dapat menumbuhkan rasa percaya diri bahwa mereka mampu berkarya dan berkontribusi bagi perekonomian desa.
Dimensi Inklusi Sosial dan Ekonomi
Menariknya, pelatihan ini menghadirkan instruktur yang juga seorang perempuan disabilitas berpengalaman di bidang menjahit. Kehadirannya memberi pesan kuat: keterbatasan fisik bukan penghalang untuk menjadi sumber inspirasi.
“Ketika mereka melihat instruktur yang senasib tapi sudah berhasil, itu membangkitkan optimisme. Bahwa mereka pun bisa,” jelas Asmiluddin.
Inisiatif ini tidak berhenti pada peningkatan keterampilan teknis semata. Pemerintah desa juga ingin menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa penyandang disabilitas adalah bagian dari potensi desa, bukan sekadar objek belas kasihan. Dengan kata lain, pelatihan menjahit hanyalah pintu masuk menuju transformasi sosial yang lebih luas: desa inklusif dan berkeadilan.

Dukungan Lembaga Mitra
Langkah Desa Banjar Sari mendapat apresiasi dari Lombok Research Center (LRC), lembaga yang selama ini aktif mendorong pembangunan inklusif melalui Program INKLUSI. Lalu Farouq Wardana, Program Officer INKLUSI-LRC, menilai bahwa apa yang dilakukan pemerintah desa menunjukkan keseriusan sekaligus keberpihakan terhadap kelompok rentan. “Isu inklusi tidak hanya sekadar slogan. Pemerintah Desa Banjar Sari sudah membuktikan dengan aksi nyata,” ujarnya.
Menurut Farouq, penting bagi pemerintah desa untuk melihat penyandang disabilitas bukan sebagai persoalan, melainkan sebagai bagian dari solusi. Dengan memberi mereka ruang, desa sejatinya sedang memperluas basis pembangunan yang lebih partisipatif.
Membangun Ekonomi Desa yang Berkeadilan
Pelatihan menjahit ini diharapkan menjadi titik awal. Pemerintah desa berkomitmen untuk melanjutkan program serupa, termasuk membuka akses yang lebih luas bagi perempuan disabilitas dalam bidang ekonomi dan peningkatan kapasitas.
Asmiluddin mengakui, tantangan ke depan tidak ringan. Hasil dari pelatihan harus diikuti dengan langkah-langkah lanjutan: bagaimana produk mereka bisa dipasarkan, bagaimana menghubungkan dengan koperasi atau kelompok usaha desa, hingga bagaimana masyarakat luas bisa menerima dan mengapresiasi karya mereka.
“Kalau keterampilan sudah ada, tugas kita berikutnya adalah memastikan mereka punya pasar. Di sinilah pentingnya sinergi antara desa, lembaga mitra, dan masyarakat,” tambahnya.
Harapan yang Terajut
Di akhir sesi pelatihan, sebuah benang merah mulai terlihat: inklusi sosial tidak lagi sebatas wacana. Melalui program sederhana ini, Desa Banjar Sari membuktikan bahwa membangun desa bukan hanya soal infrastruktur fisik, tetapi juga tentang membangun manusia. Para peserta kini bukan lagi sekadar penerima manfaat. Mereka tengah menapaki jalan baru menuju kemandirian. Setiap jahitan yang mereka hasilkan adalah simbol ketekunan, keberanian, sekaligus harapan.
Jika komitmen ini terus dijaga, bukan mustahil Banjar Sari akan menjadi contoh bagaimana desa kecil di Lombok Timur mampu melahirkan prakarsa besar: menjadikan inklusi sebagai wajah utama pembangunan. “Semoga ini menjadi jalan terwujudnya desa dan masyarakat yang inklusif serta berkeadilan,” tutup Farouq

