UGR Bangun Kampus Aman: Dari Sosialisasi Menuju Budaya Anti-Kekerasan

Suara riuh mahasiswa memenuhi Auditorium Universitas Gunung Rinjani (UGR) pada Kamis, 18 September 2025. Namun kali ini, bukan untuk perayaan atau wisuda. Mereka berkumpul untuk membicarakan sesuatu yang lebih mendasar: bagaimana menciptakan kampus yang aman, bebas dari kekerasan, dan inklusif bagi semua.
 
Kegiatan bertajuk Sosialisasi Pencegahan Kekerasan di Perguruan Tinggi ini digelar UGR bekerja sama dengan Lombok Research Center (LRC). Di balik kegiatan itu, tersimpan komitmen kuat universitas yang terletak di Lombok Timur ini untuk menerjemahkan semangat Permendikbudristek Nomor 55 Tahun 2024 ke dalam tindakan nyata.
 
Kekerasan Bukan Sekadar Kasus, Tapi Budaya yang Harus Diubah
Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Perguruan Tinggi (PPKPT) UGR, Rini Endang Setyowati, menegaskan bahwa kampus harus menjadi ruang yang aman bagi semua warganya—tanpa diskriminasi, tanpa intimidasi, tanpa kekerasan dalam bentuk apa pun.
 
“UGR sudah membentuk Satgas PPKPT dan kami berkomitmen untuk terus melakukan sosialisasi di setiap tahapan akademik. Kami ingin memastikan setiap mahasiswa tahu haknya untuk dilindungi dan kewajibannya menjaga lingkungan kampus,” ujarnya.
 
Menurut Rini, kekerasan di perguruan tinggi seringkali muncul bukan karena niat jahat semata, tetapi karena budaya yang membiarkan. “Kita terbiasa dengan candaan seksis, komentar diskriminatif, atau tindakan intimidatif yang dianggap biasa. Padahal itu bentuk kekerasan juga,” tambahnya.
 
Dari Regulasi ke Aksi Nyata
Terbitnya Permendikbudristek No. 55 Tahun 2024 menjadi pijakan hukum penting bagi perguruan tinggi untuk menindaklanjuti isu kekerasan di lingkungan akademik. Namun bagi UGR, peraturan ini bukan sekadar kewajiban administratif.
 
Melalui pembentukan Satgas PPKPT, universitas mulai menanamkan sistem perlindungan yang menyentuh tiga aspek utama: pencegahan, penanganan, dan pemulihan. Satgas yang beranggotakan dosen, tenaga kependidikan, mahasiswa, dan psikolog ini bertugas tidak hanya menindak laporan, tetapi juga menumbuhkan kesadaran kolektif di kalangan sivitas akademika.
 
“Setiap laporan kami tangani secara rahasia dan berpihak pada korban. Tapi yang lebih penting adalah membangun budaya di mana kekerasan tidak punya ruang untuk tumbuh,” tegas Rini.
 
Kampus Aman Dimulai dari Kesadaran
Sebagai narasumber utama, Baiq Titis Yulianty, Koordinator Program INKLUSI dari LRC, menyoroti luasnya bentuk kekerasan yang bisa terjadi di kampus. Kekerasan, katanya, tidak selalu tampak dalam bentuk fisik.
 
“Kekerasan bisa berupa komentar merendahkan, pelecehan verbal, perundungan di media sosial, bahkan kebijakan yang tidak adil. Ini semua bagian dari kekerasan struktural,” jelasnya.
 
Ia juga menekankan pentingnya partisipasi seluruh civitas akademika. “Kita semua harus jadi bagian dari solusi. Kalau melihat ada teman yang jadi korban, jangan diam. Laporkan, dampingi, dan bantu,” ujarnya.
 
Menurut Baiq, kegiatan seperti ini penting untuk menumbuhkan empati dan kepekaan sosial mahasiswa. Sebab, banyak kasus kekerasan terjadi karena korban merasa sendirian, takut bicara, atau tidak tahu harus melapor ke siapa.
 
Diskusi, Refleksi, dan Harapan
Dalam sesi diskusi terbuka, sejumlah mahasiswa berbagi pengalaman tentang perundungan dan diskriminasi yang pernah mereka alami atau saksikan. Beberapa di antara mereka meneteskan air mata ketika menyadari bahwa hal-hal yang dulu mereka anggap “biasa” sebenarnya adalah bentuk kekerasan yang seharusnya tidak ditoleransi.
 
“Dulu saya pikir ejekan di media sosial itu cuma bercanda, tapi ternyata bisa bikin orang trauma,” kata Nisa, mahasiswi Fakultas Hukum, dengan nada bergetar.
 
Bagi banyak peserta, kegiatan ini bukan hanya menambah pengetahuan, tapi juga membangkitkan kesadaran bahwa mencegah kekerasan berarti menjaga martabat manusia.
 
Membangun Budaya Peduli di Kaki Rinjani
UGR kini menapaki jalur baru: menjadikan kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, tetapi juga tempat belajar tentang kemanusiaan.
 
Dalam waktu dekat, Satgas PPKPT berencana meluncurkan kampanye digital bertajuk #KampusAmanUGR yang akan menyasar media sosial mahasiswa. Kampanye ini diharapkan menjadi ruang berbagi informasi, dukungan, dan edukasi tentang kekerasan berbasis gender, etnis, dan sosial.
 
“Pencegahan kekerasan bukan proyek jangka pendek. Ini tentang membangun budaya peduli, saling menghargai, dan empati,” kata Baiq.
 
Langkah Kecil Menuju Perubahan Besar
Menjelang akhir kegiatan, seluruh peserta diminta menuliskan satu komitmen pribadi di secarik kertas. Ada yang menulis “Saya akan menghargai perbedaan,” ada pula yang menulis “Saya berani bicara jika melihat kekerasan.”
 
Kertas-kertas itu kemudian ditempel di papan bertuliskan #KampusAmanUGR. Simbol sederhana yang menggambarkan tekad bersama—bahwa perubahan bisa dimulai dari satu langkah kecil, satu kesadaran, dan satu keberanian untuk peduli.
 
Dari kaki Gunung Rinjani, UGR memulai langkahnya. Perlahan tapi pasti, universitas ini tengah menumbuhkan budaya baru: kampus yang aman, inklusif, dan bebas kekerasan.