Suara mesin jahit pelan-pelan mereda, menandai berakhirnya dua puluh hari penuh semangat dan pembelajaran di Desa Banjar Sari, Kecamatan Labuhan Haji. Rabu, 15 Oktober 2025, Pemerintah Desa Banjar Sari resmi menutup pelatihan menjahit bagi kelompok disabilitas, kegiatan yang diinisiasi dengan dukungan Program INKLUSI dan Lombok Research Center (LRC).
Namun bagi para peserta, penutupan ini bukan akhir — melainkan awal dari perjalanan baru menuju kemandirian dan kesetaraan ekonomi.
Satu-Satunya Desa yang Anggarkan Pelatihan Disabilitas
Dalam acara penutupan yang berlangsung hangat di aula desa, hadir sejumlah tokoh penting, di antaranya Camat Labuhan Haji, Baiq Liyan Krisna Y, Kepala Desa Banjar Sari, Asmiluddin, S.Sos., MH, Program Officer INKLUSI-LRC, Lalu Farouq Wardana, Asisten Program, Triati, serta perangkat desa dan seluruh peserta pelatihan.
Dalam sambutannya, Baiq Liyan memberikan apresiasi tinggi terhadap komitmen Pemerintah Desa Banjar Sari. Ia menyebut, dari dua belas desa dan kelurahan di Kecamatan Labuhan Haji, baru Banjar Sari yang berani mengalokasikan anggaran khusus untuk pembangunan inklusif bagi kelompok disabilitas.
“Kalau boleh saya bilang, dari dua belas desa di Labuhan Haji, baru Banjar Sari yang punya program pelatihan seperti ini. Banyak yang melakukan pemberdayaan, tapi yang menyasar langsung teman-teman disabilitas baru desa ini,” ujarnya disambut tepuk tangan peserta.
Menurut Baiq, langkah Pemerintah Desa Banjar Sari menunjukkan pemahaman yang utuh terhadap hak-hak kelompok rentan. Ia menegaskan, dana desa bukan hanya untuk membangun infrastruktur, tetapi juga pembangunan manusia yang berkeadilan.
“Ini memang sudah amanat Undang-Undang Desa. Dana desa dikucurkan bukan semata untuk pembangunan fisik, tetapi juga untuk pemberdayaan yang menyentuh semua kalangan. Termasuk teman-teman disabilitas,” jelasnya.
Sinergi Pemerintah dan LRC untuk Pembangunan Inklusif
Pelatihan menjahit ini merupakan bagian dari kerja sama antara Pemerintah Desa Banjar Sari dan Program INKLUSI-LRC, yang selama ini aktif mendorong penerapan prinsip inklusif di tingkat desa.
Kepala Desa Banjar Sari, Asmiluddin, menyampaikan terima kasih kepada tim LRC yang telah mendampingi pemerintah desa dalam merancang dan melaksanakan berbagai program berbasis inklusi sosial.
“Upaya yang dilakukan LRC membantu kami memahami kewajiban pemerintah desa untuk memenuhi hak teman-teman disabilitas dan masyarakat rentan. Banyak ide yang kami adopsi dari mereka,” ungkap Asmiluddin.
Ia menambahkan, pemerintah desa berencana untuk mengembangkan program literasi dan pemberdayaan di masa depan agar masyarakat tidak hanya memiliki keterampilan teknis, tetapi juga kemampuan untuk mengembangkan ekonomi secara mandiri.
“Kami ingin semua warga berdaya. Termasuk mereka yang memiliki keterbatasan fisik. Karena keterbatasan bukan penghalang untuk berkarya,” ujarnya.
Dari Jahitan Pertama Menuju Kemandirian
Pelatihan menjahit yang berlangsung sejak 25 September 2025 ini diikuti oleh kelompok disabilitas dari berbagai dusun di Desa Banjar Sari. Selama dua puluh hari, para peserta belajar mulai dari dasar menjahit, mengenali pola pakaian, hingga membuat produk sederhana seperti tas dan masker kain.
Di sela acara penutupan, beberapa hasil karya peserta dipamerkan di meja pamer kecil di sudut ruangan. Di sana, tampak karya dari Nur, salah satu peserta penyandang disabilitas tunadaksa, yang kini mampu menjahit gamis sederhana. “Dulu saya tidak percaya bisa. Sekarang saya mau buka usaha kecil di rumah,” katanya tersenyum.
Cerita seperti Nur menjadi bukti nyata bahwa pemberdayaan bukan tentang bantuan, tetapi tentang membuka peluang dan kepercayaan diri.
Banjar Sari, Desa yang Menyambut Semua
Dalam sambutannya, Lalu Farouq Wardana, Program Officer INKLUSI-LRC, menyebut Desa Banjar Sari layak menjadi desa percontohan pembangunan inklusif di Lombok Timur. Menurutnya, pelatihan menjahit ini hanyalah satu pintu dari upaya panjang untuk memastikan setiap warga memiliki kesempatan yang sama.
“Pembangunan inklusif tidak hanya soal disabilitas atau ekonomi. Ini tentang memastikan tidak ada warga yang tertinggal. Semua harus bisa berpartisipasi, merasa dihargai, dan punya ruang untuk berkembang,” jelas Farouq.
Ia menegaskan, model kemitraan seperti di Banjar Sari membuktikan bahwa desa memiliki potensi besar menjadi motor utama pembangunan berkeadilan sosial. “Jika setiap desa punya komitmen seperti ini, maka visi pembangunan inklusif nasional akan lebih cepat terwujud,” tambahnya.
Menyulam Harapan, Menjahit Masa Depan
Penutupan pelatihan berlangsung sederhana, namun sarat makna. Setelah sambutan dan penyerahan sertifikat, para peserta satu per satu menyalami pelatih dan tamu undangan. Beberapa tampak meneteskan air mata haru.
Bagi mereka, pelatihan ini bukan hanya soal menjahit, tetapi juga tentang mengasah keberanian untuk bermimpi dan berdiri sejajar.
“Selama dua puluh hari, kami belajar bukan cuma menjahit, tapi juga percaya diri. Terima kasih sudah percaya bahwa kami juga bisa,” kata Rani, peserta lainnya.
Baiq Liyan menutup acara dengan pesan singkat namun kuat: “Hari ini kalian menutup pelatihan, tapi membuka masa depan. Jangan berhenti di sini. Jadikan ini awal dari usaha kalian sendiri.”
Tepuk tangan mengiringi ucapan itu. Di luar aula, langit Banjar Sari sore itu terlihat cerah. Di antara deru angin yang membawa aroma sawah, semangat baru tumbuh di hati para peserta: semangat untuk terus menjahit bukan hanya kain, tapi juga masa depan yang inklusif dan berdaya.

