Pagi itu, halaman kecil di Dusun Benteng Selatan tampak lebih ramai dari biasanya. Puluhan anak perempuan duduk melingkar, sebagian membawa buku catatan, sebagian lagi sibuk menempelkan gambar di papan tulis sederhana. Di tengah lingkaran, seorang perempuan muda berbicara dengan penuh semangat tentang pentingnya mengenali diri dan berani bermimpi. Ia adalah Baiq Titis Yulianty, Koordinator Program INKLUSI dari Lombok Research Center (LRC).
“Banyak anak menikah bukan karena mereka mau, tapi karena dijebak keadaan,” ujarnya lembut, namun tegas. “Kalau kita punya pengetahuan dan percaya diri, kita bisa bilang tidak.”
Kegiatan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Sejak Maret 2025, masyarakat Dusun Benteng Selatan bersama LRC dan Pemerintah Desa Lendang Nangka Utara membentuk sebuah komunitas belajar yang dinamai Kelompok Belajar Benteng Selatan. Di tempat sederhana itu, harapan-harapan kecil mulai disemai — terutama untuk melindungi anak-anak dari bahaya perkawinan usia dini.
Ruang Aman di Tengah Desa
Lahir dari semangat gotong royong, kelompok belajar ini kini menaungi sekitar 180 anak berusia 7 hingga 18 tahun. Mereka datang setiap pekan untuk belajar, bermain, dan mengikuti kegiatan literasi. Ada yang belajar menulis puisi, membaca buku di taman baca, bahkan menari dan melukis. Semua kegiatan itu menjadi bagian dari upaya membangun ruang aman dan menyenangkan bagi anak-anak di desa. “Anak-anak di sini butuh wadah untuk tumbuh tanpa tekanan. Kami ingin mereka punya tempat untuk belajar dan bermimpi,” tutur Baiq Titis.
Desa Lendang Nangka Utara sendiri merupakan salah satu desa binaan Program INKLUSI, yang didukung oleh LRC untuk memperkuat kesetaraan dan perlindungan anak. Dari desa inilah muncul gagasan bahwa pendidikan bisa menjadi benteng paling kuat melawan perkawinan anak.

Belajar Bijak di Dunia Digital
Pertemuan pertama komunitas ini diikuti oleh 50 anak perempuan yang dikumpulkan oleh kepala dusun setempat. Dalam sesi tersebut, mereka tidak hanya membahas bahaya perkawinan dini, tapi juga belajar bijak bermedia sosial. “Jangan mudah percaya pada orang asing di media sosial. Jangan unggah foto pribadi sembarangan,” pesan Baiq Titis kepada para peserta.
Pesan itu lahir dari realita. Banyak kasus perkawinan anak di Lombok Timur berawal dari interaksi di dunia maya. Dari pertemanan virtual yang berujung jebakan, hingga manipulasi yang membuat anak kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Karena itu, edukasi digital menjadi salah satu bagian penting dari kurikulum komunitas ini.
Kolaborasi dari Akar Rumput
Dukungan terhadap gerakan ini datang dari berbagai pihak. Saparwadi, Kepala Dusun Benteng Selatan, menegaskan bahwa keberhasilan program tidak hanya bergantung pada lembaga atau pemerintah, tapi juga pada kesadaran keluarga dan masyarakat. “Orang tua harus ikut menjaga. Anak-anak perlu didukung agar mereka tidak cepat menyerah pada tekanan ekonomi atau budaya yang menormalisasi perkawinan anak,” katanya.
Ia berharap kegiatan ini bisa menjadi contoh bagi dusun lain di Lombok Timur. Sementara itu, Suaidatul Amni, Ketua Kader Benteng Selatan, menekankan pentingnya menjaga kesehatan reproduksi dan membangun kepercayaan diri anak. “Pencegahan perkawinan anak bukan hanya soal usia. Ini soal bagaimana anak menghargai dirinya sendiri,” ucapnya. “Mulailah dari hal sederhana — sayangi diri sendiri.”

Menuju Kemandirian Komunitas
Ke depan, Lombok Research Center berencana mengembangkan komunitas ini secara mandiri melalui local fundraising — penggalangan dana dari potensi dan sumber daya lokal. Masyarakat akan dilibatkan penuh agar kegiatan tidak hanya bergantung pada bantuan luar, tapi tumbuh dari semangat gotong royong desa itu sendiri. “Kalau kesadaran masyarakat tumbuh, perubahan akan datang dengan sendirinya,” ujar Baiq Titis optimistis.
Dari desa kecil di Lombok Timur ini, muncul gerakan yang pelan tapi pasti menumbuhkan harapan baru. Di antara tawa anak-anak yang bermain di halaman, terselip pesan sederhana: bahwa masa depan tidak boleh dirampas oleh pernikahan dini. Benteng Selatan kini bukan sekadar nama dusun — ia telah menjadi benteng nyata bagi anak-anak untuk bermimpi, belajar, dan mencintai masa depan mereka sendiri.

