Dari Laut ke Ladang: 100 Petani Kertasari Dapat Pelatihan Pengolahan Biostimulan dari Rumput Laut

Sabtu pagi, 11 Oktober 2025, aula Gapoktan Desa Kertasari dipenuhi deretan petani yang duduk rapi dengan catatan di tangan. Sebagian baru pulang dari sawah, sebagian lagi nelayan yang biasanya berangkat ke laut sebelum matahari terbit. Tapi hari itu, mereka tidak membawa jaring atau cangkul — mereka datang untuk belajar.
 
Pelatihan petani konvensional yang digelar oleh Lombok Research Center (LRC) bersama Aquabloom ini menjadi bagian dari Program BISA (Blue Innovative Startup Acceleration), yang telah memasuki tahap keempat sejak Agustus lalu. Total sudah 100 petani di Desa Kertasari yang mendapat pelatihan tentang penggunaan biostimulan alami dan perawatan tanaman hortikultura berbasis inovasi ramah lingkungan.
 
Mengubah Rumput Laut Jadi Harapan Baru
Program BISA hadir membawa gagasan segar: “dari laut ke ladang”. Melalui kolaborasi antara LRC dan Aquabloom, program ini mengolah rumput laut Sargassum — jenis rumput laut yang sering dianggap limbah — menjadi biostimulan pertanian, bahan alami yang mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman dan kesuburan tanah.
 
Tujuannya bukan hanya sekadar inovasi teknologi, tetapi juga menciptakan ekonomi biru yang terintegrasi dengan pertanian berkelanjutan. Petani laut dan petani darat kini bisa saling mendukung dalam satu ekosistem yang produktif.
 
“Dengan biostimulan dari Sargassum, petani bisa mengurangi ketergantungan pada pupuk kimia dan menjaga kelestarian lingkungan,” kata Dr. Maharani, narasumber dan pembina LRC yang juga peneliti pertanian berkelanjutan.
 
Ia menambahkan, Desa Kertasari memiliki dua kekuatan besar yang belum sepenuhnya digarap: potensi laut dan lahan pertanian. “Kita punya laut, punya lahan subur. Di sini, apa saja yang ditanam tumbuh. Bayangkan, kebutuhan cabai di NTB mencapai 10 ton per hari, dan separuhnya disuplai dari Lombok Timur. Kalau potensi ini dikelola dengan inovasi, ekonomi masyarakat pasti tumbuh pesat,” jelasnya.
 
Petani Didorong Mandiri dan Inovatif
Lebih dari sekadar pelatihan teknis, kegiatan ini menanamkan semangat kemandirian ekonomi di kalangan petani. Dr. Maharani menekankan pentingnya petani menguasai rantai produksi dari hulu ke hilir — mulai dari proses tanam, pengolahan bahan, hingga pemasaran hasil.
 
“Kami ingin petani Kertasari tidak hanya bergantung pada pihak luar. Produksi kita kendalikan, harga jual kita tentukan. Bahkan kalau bisa, pupuk dan obat tanaman kita buat sendiri,” ujarnya.
 
Semangat ini disambut antusias oleh para peserta yang sebagian besar adalah petani cabai, padi, dan tembakau. Mereka mengaku selama ini hanya mengandalkan pengalaman turun-temurun, tanpa banyak pengetahuan teknis tentang kandungan tanah atau kebutuhan spesifik tanaman.
 
Dukungan Pemerintah Desa: Petani Harus Naik Kelas
Dalam kesempatan yang sama, Sunardi, Sekretaris Desa Kertasari, menyampaikan apresiasi atas kontribusi LRC dan Aquabloom yang telah membantu meningkatkan kapasitas petani dan nelayan setempat. Ia menilai pelatihan ini menjawab kebutuhan riil masyarakat.
 
“Selama ini petani di Kertasari bekerja secara otodidak, belajar dari petani lain tanpa pendampingan teknis. Padahal, kesalahan dalam proses produksi bisa berpengaruh besar pada hasil panen,” ungkap Sunardi.
 
Menurutnya, banyak persoalan pertanian yang bukan hanya disebabkan oleh biaya produksi tinggi, tetapi juga karena kurangnya edukasi dan pelatihan. Ia berharap kegiatan seperti ini bisa berlanjut secara rutin agar petani Kertasari semakin profesional dan mampu bersaing.
 
“Pelatihan seperti ini bukan sekadar mengajarkan teori, tapi membentuk cara berpikir baru. Petani kita harus naik kelas,” tegasnya.
 
Suara dari Petani Perempuan
Tak hanya petani laki-laki yang mengikuti kegiatan ini. Sejumlah petani perempuan juga tampak aktif selama sesi pelatihan, salah satunya Raudatul Hasanah, yang dikenal sebagai salah satu penggerak kelompok tani wanita di Kertasari.
 
Ia mengaku banyak mendapat wawasan baru, terutama tentang perbedaan antara hama dan penyakit tanaman, serta cara penggunaan pupuk dan pestisida yang tepat.
 
“Selama ini kami sering asal semprot saja. Kadang tanaman malah rusak karena salah dosis atau salah bahan. Sekarang kami jadi lebih paham apa yang dibutuhkan tanaman,” tuturnya.
 
Bagi Raudatul, pelatihan ini bukan hanya soal bertani lebih baik, tetapi juga tentang percaya diri sebagai perempuan desa. “Kami jadi merasa punya peran penting. Ternyata perempuan juga bisa jadi pelopor pertanian berkelanjutan,” tambahnya sambil tersenyum bangga.
 
Inovasi dari Desa untuk Dunia
Program BISA bukanlah inisiatif singkat. Melalui empat gelombang pelatihan, LRC dan Aquabloom menargetkan terbentuknya ekosistem pertanian dan kelautan yang saling terhubung, di mana hasil laut seperti Sargassum bisa diolah menjadi produk bernilai tambah bagi sektor pertanian.
 
Dengan pendekatan ini, Kertasari diharapkan menjadi model desa inovatif yang mampu memadukan kearifan lokal dengan sains terapan.
 
“Kalau kita bisa ubah rumput laut jadi pupuk, kita tidak hanya menambah penghasilan, tapi juga menjaga lingkungan. Tidak ada yang terbuang sia-sia,” ujar Dr. Maharani.
 
Dari Kertasari, Gelombang Perubahan Dimulai
Menjelang sore, pelatihan ditutup dengan sesi foto bersama dan pembagian sertifikat. Para petani terlihat membawa pulang bukan hanya kertas tanda kelulusan, tapi juga semangat baru.
 
Bagi mereka, “dari laut ke ladang” bukan sekadar slogan — melainkan simbol perubahan cara berpikir: bahwa alam di sekitar bisa menjadi solusi bagi kehidupan yang lebih sejahtera dan berkelanjutan.
 
Dari tangan-tangan petani sederhana di Kertasari, kini tumbuh harapan baru: bahwa pertanian masa depan bisa dimulai dari desa kecil, dengan ilmu, kolaborasi, dan keberanian untuk berinovasi.