Pagi itu, Aula Gapoktan Desa Kertasari terasa lebih ramai dari biasanya. Dua puluh petani dari berbagai dusun sudah duduk rapi, sebagian masih membawa catatan kecil, sebagian lain terlihat penasaran sambil berbisik pada rekannya. Mereka hadir bukan untuk urusan pupuk subsidi atau rapat rutin kelompok tani, melainkan sebuah hal baru: penyuluhan tentang biostimulan berbahan dasar rumput laut Sargassum.
Sejak lama, bagi masyarakat Kertasari, Sargassum hanyalah pemandangan biasa di tepi pantai. Setiap kali air laut surut, tumpukan rumput laut cokelat itu mengapung, terseret ombak, lalu terdampar di pasir. Bau anyirnya kadang dianggap mengganggu, bahkan sesekali dibakar begitu saja agar pantai terlihat lebih bersih. “Sampah laut,” begitu kebanyakan orang menyebutnya. Namun hari itu, di akhir Agustus 2025, istilah “sampah” mulai digantikan dengan kata baru: “berkah.”
Sebuah Awal: Kick Off dan Penyuluhan
Sinergi Aquabloom—sebuah startup berbasis kelautan—bersama Lombok Research Center (LRC) meluncurkan proyek pengolahan Sargassum menjadi biostimulan pertanian. Setelah Kick Off Program Blue Innovative Startup Acceleration (BISA) pada 26 Agustus 2025 yang lalu, penyuluhan pertama digelar keesokan harinya, 27 Agustus 2025.
Di hadapan para petani, Michelle Arsjad, Direktur Aquabloom, menjelaskan dengan penuh semangat. “Selama ini petani masih sangat bergantung pada pupuk kimia. Dalam jangka panjang, itu bisa merusak kualitas tanah. Kita perlu perubahan,” ujarnya.
Michelle lalu mengangkat sebuah botol kecil berlabel AquaStrong. Cairan berwarna cokelat pekat itu bukan pupuk kimia, melainkan biostimulan dari rumput laut Sargassum. “Produk ini berfungsi meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman, menjaga daya tahan dari penyakit, dan khusus untuk cabai, membantu bunga menjadi buah lebih optimal,” tambahnya.
Bagi sebagian petani, ini terdengar seperti janji yang agak berlebihan. Namun rasa ingin tahu mereka lebih besar. Apalagi, masing-masing peserta mendapat dua botol AquaStrong ukuran 200 ml untuk diuji langsung di lahan mereka.
“Kalau berhasil, hasil panen cabai bisa lebih banyak tanpa harus menambah pupuk kimia,” gumam seorang petani sambil memegang botol itu.
Harapan Ganda: Petani Darat dan Petani Laut
Penyuluhan itu juga dihadiri Sunardi, Sekretaris Desa Kertasari. Ia menekankan pentingnya hasil nyata dari uji coba ini. “Kalau memang terbukti, biostimulan Sargassum tidak hanya bermanfaat bagi petani darat. Nelayan pun akan merasakan dampaknya karena permintaan rumput laut meningkat,” katanya.
Pernyataan Sunardi disambut anggukan setuju. Sebab, berbeda dengan pupuk kimia yang harus dibeli dari luar daerah, bahan dasar biostimulan ini tersedia melimpah di depan mata: laut Kertasari.
Dari situlah benang merah proyek ini mulai terlihat: satu inovasi, dua kelompok masyarakat yang diuntungkan. Petani darat mendapat pupuk organik murah, sementara nelayan memperoleh pasar baru untuk Sargassum yang selama ini terbuang percuma.

Dari Pantai ke Botol: Rantai Pasok Baru
Dua hari setelah penyuluhan petani, giliran nelayan Kertasari yang berkumpul di Aula Gapoktan. Kali ini, suasananya berbeda. Di meja depan, beberapa contoh Sargassum kering ditata rapi. Tim LRC dan Aquabloom menjelaskan lima jenis Sargassum yang dapat diolah menjadi biostimulan.
Baiq Nurul Nahdiat, perwakilan LRC, membuka pelatihan dengan penjelasan sederhana. “Modelnya begini, Bapak Ibu. Kami akan membeli Sargassum kering dari petani laut dengan harga Rp2.000 per kilo. Setelah terkumpul, rumput laut ini akan diolah oleh tim Aquabloom menjadi biostimulan pertanian.”
Kabar itu sontak memunculkan bisik-bisik optimisme. Bagi nelayan kecil, angka Rp2.000/kg memang tidak besar, tetapi jika pasokan stabil, hasilnya cukup menjanjikan. Terlebih lagi, Sargassum tidak perlu ditanam atau dipelihara. Ia tumbuh alami, mudah diambil ketika air laut surut.
“Biasanya kan rumput laut ini naik sendiri ke pantai, tinggal pungut saja. Jadi bisa dikerjakan siapa saja, bahkan ibu-ibu atau orang tua,” ujar Rizwan, seorang nelayan senior, ketika diminta pendapat. Ia menambahkan, “Menurut saya ini sangat realistis, apalagi bisa menambah penghasilan masyarakat pesisir yang rentan.”
Pelatihan: Belajar Membersihkan dan Mengeringkan
Dalam pelatihan itu, nelayan juga diajarkan cara sederhana namun penting: membersihkan dan mengeringkan Sargassum agar kualitasnya terjaga. Prosesnya melibatkan pencucian untuk menghilangkan pasir dan garam, lalu penjemuran di bawah sinar matahari hingga kadar air berkurang.
Meski terdengar sepele, langkah ini menentukan harga jual. Sargassum yang bersih dan kering lebih mudah diolah, menghasilkan biostimulan berkualitas tinggi.
Di antara peserta, beberapa ibu rumah tangga terlihat antusias. Mereka melihat peluang pekerjaan sampingan tanpa harus melaut. “Kalau tinggal jemur begini, saya bisa kerjakan sambil mengurus anak di rumah,” ujar seorang ibu sambil tersenyum.
Menggagas Identitas Baru Desa Kertasari
Di sela pelatihan, Baiq Nurul menyampaikan sebuah visi yang lebih besar. “Kalau rantai pasok ini berjalan, Kertasari bisa dikenal sebagai desa Sargassum. Bayangkan, pantai jadi bersih, nelayan dapat untung, petani konvensional juga merasakan hasilnya.”
Kalimat itu seakan menjadi benih mimpi baru bagi desa kecil di pesisir Lombok Barat ini. Selama ini Kertasari lebih dikenal karena pantainya yang indah dan wisata baharinya. Namun kini, ada peluang identitas baru: pusat pengolahan dan pemanfaatan Sargassum.
Sargassum: Dari “Sampah” ke Aset
Perubahan cara pandang ini mungkin adalah pencapaian terbesar dari proyek Aquabloom dan LRC. Sargassum yang dulunya dianggap sampah laut ternyata menyimpan potensi ekonomi besar. Selain biostimulan, ia bisa diolah menjadi bahan kosmetik, pakan ternak, bahkan bahan baku industri lainnya.
“Selama ini masyarakat tidak tahu kalau Sargassum punya nilai. Kita harus terus sosialisasikan agar semakin banyak yang mau jadi pemasok,” jelas Baiq Nurul.
Michelle Arsjad pun menambahkan bahwa Sargassum termasuk jenis rumput laut yang sangat mudah ditemukan. “Lokasinya dekat pantai, tidak butuh jaring. Karena itu harganya lebih murah dibandingkan rumput laut budidaya seperti cottoni,” ungkapnya.
Menyemai Harapan, Menunggu Panen
Kini, perjalanan Sargassum di Kertasari memasuki fase penting: demplot cabai yang menggunakan biostimulan. Selama dua bulan ke depan, tim penyuluh dari LRC dan Aquabloom akan rutin memantau perkembangan tanaman.
Setiap dua minggu sekali, mereka memastikan petani benar-benar menerapkan dosis yang tepat. Harapannya, cabai tumbuh lebih subur, bunga lebih banyak yang berubah menjadi buah, dan hasil panen meningkat signifikan.
Bagi petani, hasil nyata akan menjadi bukti tak terbantahkan. Dan bagi nelayan, setiap kilo Sargassum yang dijual berarti ada uang tambahan di kantong.
Epilog: Dari Kertasari untuk Indonesia
Kisah ini mungkin baru permulaan. Dari sebuah desa kecil di Lombok, lahir gagasan sederhana namun penuh makna: memanfaatkan apa yang ada di sekitar menjadi sumber kehidupan baru.
Sargassum yang dulu dianggap limbah kini menjadi simbol kolaborasi: antara darat dan laut, petani dan nelayan, riset dan praktik, tradisi dan inovasi.
“Dari sampah menjadi berkah,” begitu kalimat yang terlontar di akhir pelatihan. Dan mungkin, kalimat itu akan menjadi kisah nyata yang terus dikenang di Desa Kertasari.

