Desa Berdaya, LKKS, dan Harapan Nol Persen Kemiskinan Ekstrem NTB 2029

Oleh: Herman Rakha*

Ketika pemerintah pusat menargetkan nol persen kemiskinan ekstrem pada 2026, saya justru merasa cemas. Target itu memang terdengar heroik, tetapi saya ragu apakah cukup realistis jika hanya bertumpu pada pola lama: bantuan sosial. Mari kita lihat kasus Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai contoh nyata.
 
Data menunjukkan, dalam tiga tahun terakhir angka kemiskinan ekstrem di NTB memang menurun: dari 176 ribu jiwa (2,79%) pada 2022 menjadi 119 ribu jiwa (2,04%) di 2024. Pemerintah tentu berhak berbangga, sebab itu adalah capaian yang signifikan. Namun pertanyaan pentingnya: apakah penurunan itu benar-benar hasil dari transformasi ekonomi, atau sekadar efek jangka pendek dari program bantuan sosial?
 
Saya cenderung melihatnya sebagai yang kedua. Bantuan sosial memang penting—sebagai “jaring pengaman” agar warga tidak jatuh lebih dalam ke jurang kemiskinan. Tapi, kita juga tahu bantuan sosial memiliki sifat instan: begitu program berhenti, risiko masyarakat miskin kembali ke titik semula sangat besar. Dalam bahasa sederhana, bansos hanya menahan, bukan mengangkat.
 
Pendapat saya ini sejalan dengan pernyataan Gubernur NTB pada saat membuka kegiatan Penguatan Kapasitas Pengurus Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) pada Kamis (18/09/2025). Beliau menyatakan “Bantuan sosial itu jembatan, bukan tujuan akhir. Yang paling penting adalah bagaimana kita menciptakan masyarakat NTB yang mandiri secara sosial dan ekonomi,” ujar  Gubernur NTB  Dr. H. Lalu Muhammad Iqbal, S.IP., M.Si.
 
Akar Masalah: Infrastruktur, Data, dan Akses Dasar
Mari jujur saja, kemiskinan ekstrem di NTB bukan hanya soal kekurangan uang belanja. Ada masalah struktural yang jauh lebih kompleks. Lihatlah kondisi infrastruktur. Memang 79% jalan kabupaten sudah beraspal, tetapi hampir 26% masih dalam kondisi rusak berat. Artinya, ada ribuan keluarga di pelosok Lombok dan Sumbawa yang setiap hari harus berjibaku di jalan berlumpur hanya untuk menjual hasil panen. Mereka kehilangan kesempatan mendapatkan harga pantas karena akses transportasi buruk.
 
Belum lagi soal sanitasi. Pada 2024, hanya 6,84% rumah tangga NTB yang menggunakan layanan sanitasi aman. Bayangkan, mayoritas keluarga masih hidup tanpa toilet layak atau air bersih yang terjamin. Bagaimana kita bisa berharap kualitas hidup membaik kalau penyakit diare saja masih jadi ancaman sehari-hari?
 
Masalah data juga pelik. Saya sering mendengar keluhan masyarakat: keluarga miskin yang seharusnya menerima bantuan justru terlewat, sementara keluarga yang cukup mampu malah terdaftar sebagai penerima. Kesalahan “inclusion” dan “exclusion” seperti ini menggerus kepercayaan publik terhadap program pemerintah. Tanpa data yang valid, seluruh strategi pengentasan kemiskinan hanya akan menjadi tebak-tebakan.
 
Bantuan Sosial: Perlu, Tapi Tidak Cukup
Saya tidak menolak bansos. Justru saya akui, Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), dan subsidi kesehatan lewat BPJS telah banyak menyelamatkan keluarga miskin di NTB. Namun, harus kita akui: bansos hanya meredam gejala, bukan menyembuhkan penyakit. Bahkan ada risiko masyarakat menjadi pasif, menggantungkan harapan pada bantuan ketimbang mencari jalan keluar sendiri.
 
Apakah ini berarti bansos salah? Tidak. Bansos tetap diperlukan sebagai fondasi. Tetapi, ia tidak boleh menjadi satu-satunya instrumen. Kalau pemerintah pusat maupun daerah ingin benar-benar menuntaskan kemiskinan ekstrem, maka strategi yang dibangun harus komprehensif.
 
Pemberdayaan Ekonomi: Jalan yang Sering Terlupakan
Saya percaya NTB punya potensi besar. Pertanian, perikanan, peternakan, hingga pariwisata—semuanya bisa menjadi mesin penggerak ekonomi rakyat. Sayangnya, potensi itu belum tergarap optimal. Masyarakat miskin di desa sering hanya jadi buruh tani dengan upah rendah, atau pedagang kecil yang tidak punya akses modal.
 
Mengapa tidak didorong pelatihan keterampilan berbasis kebutuhan nyata? Mengapa akses Kredit Usaha Rakyat (KUR) tidak diperluas ke desa-desa terpencil? Atau mengapa pariwisata NTB yang terkenal indah itu hanya menguntungkan investor besar, sementara masyarakat lokal tetap berada di pinggiran?
 
Kita butuh keberpihakan lebih serius. Pemerintah harus menciptakan ruang agar masyarakat miskin ikut masuk ke rantai ekonomi, bukan sekadar jadi penonton.
 
Layanan Dasar: Pendidikan dan Kesehatan
Kemiskinan tidak akan berakhir kalau anak-anak dari keluarga miskin tidak bisa melanjutkan sekolah. Masih banyak anak di NTB yang putus sekolah karena biaya dan jarak. Sama halnya dengan kesehatan. Ketika tenaga medis hanya terkonsentrasi di kota, masyarakat di pulau-pulau kecil terpaksa pasrah jika sakit parah.
 
Di sinilah peran negara benar-benar ditunggu. Beasiswa, sekolah baru, puskesmas keliling, hingga dokter terbang—semua harus menjadi bagian dari strategi. Bukan sekadar program ad hoc yang hanya hadir saat kampanye.
 
Strategi Berlapis, Bukan Parsial
Menurut saya, jalan keluar NTB dari jerat kemiskinan ekstrem harus mencakup empat hal: (1) Bansos tetap ada sebagai jaring pengaman darurat; (2) Pemberdayaan ekonomi: dari UMKM, pertanian modern, hingga pariwisata inklusif; (3) Akses pendidikan dan kesehatan yang merata sampai pelosok; (4) Pembangunan infrastruktur dasar, dari jalan, listrik, air bersih, hingga internet desa; dan (5) yang paling penting: data yang akurat. Tanpa itu, semua intervensi hanya akan berjalan pincang.
 
Harapan atau Ilusi?
Saya percaya NTB bisa keluar dari jerat kemiskinan ekstrem. Tetapi mari kita realistis. Jalan menuju nol persen kemiskinan ekstrem bukan hanya soal menyalurkan bansos. Ia adalah soal keberanian pemerintah untuk melakukan perubahan struktural: membangun infrastruktur, memberdayakan rakyat, memperbaiki layanan dasar, dan menata data dengan transparan.
 
Namun, di tengah tantangan itu, saya melihat secercah harapan dari program Desa Berdaya yang digagas Gubernur NTB. Program ini menargetkan 106 desa miskin ekstrem di NTB untuk diberdayakan secara menyeluruh—mulai dari penguatan ekonomi lokal, peningkatan layanan dasar, hingga pembangunan infrastruktur desa. Bagi saya, inilah model intervensi yang paling masuk akal: membangun kemandirian di akar rumput, bukan sekadar mengguyur bantuan.
 
Lebih dari itu, peran Lembaga Koordinasi Kesejahteraan Sosial (LKKS) baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota di NTB menjadi kunci penting. LKKS hadir bukan hanya sebagai mitra teknis, tetapi juga sebagai motor penggerak yang mampu menyinergikan pemerintah, dunia usaha, lembaga pendidikan, dan masyarakat sipil. Melalui koordinasi yang solid, LKKS dapat memperkuat implementasi Desa Berdaya, memastikan bahwa program tidak hanya berhenti di atas kertas, tetapi benar-benar dirasakan manfaatnya oleh masyarakat miskin.
 
Jika program Desa Berdaya ini diperkuat dengan sinergi lintas sektor dan dukungan LKKS, saya optimis target kemiskinan ekstrem nol persen bukan sekadar mimpi. Memang, target pemerintah pusat adalah 2026, tetapi untuk NTB, perjalanan menuju nol persen pada 2029 masih realistis selama langkah yang ditempuh tidak setengah hati.
 
Kalau semua itu bisa dilakukan secara konsisten, saya yakin NTB bukan hanya bisa menurunkan angka kemiskinan ekstrem, tetapi juga membangun masa depan yang lebih adil dan sejahtera bagi seluruh warganya. Namun jika kita hanya mengandalkan bansos, maka target itu tidak lebih dari sekadar ilusi manis yang sulit diwujudkan.
 
*Penulis adalah pemerhati kebijakan publik NTB