Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu daerah dengan potensi pertanian yang melimpah. Daerah ini pernah merasakan nostalgia kejayaan swasembada beras pada tahun 1980-an dan mendapatkan julukan “Bumi Gora” atau Bumi Gogo Rancah yang hingga saat ini masih menjadi suatu kebanggaan.
Gora merupakan suatu metode atau sistem bertani di lahan kering dan lahan basah yang ditemukan oleh Solichin G.P. bersama tim-nya pada tahun 1980. Metode Gora diprakarsai oleh Profesor Dr. Sjamsudin Djakamihardja, ahli pertanian Universitas Pertanian Bandung. Kesuksesan implementasi sistem bertani ini menyebabkan produksi padi NTB mengalami surplus dan berkontribusi terhadap swasembada pangan nasional. Kesuksesan program Gora diakui dunia dan mendapat perhatian dari Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO). Atas prestasi ini, Presiden Soeharto diundang pada upacara peringatan 40 tahun badan pangan PBB di Roma, Italia, 14 November 1985.
Potensi pertanian sebagai daya dukung ketahanan pangan NTB terus diakui secara nasional, bahkan pemerintah menetapkan NTB sebagai salah satu daerah penopang swasembada pangan nasional. Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan Provinsi NTB menyumbang produksi padi sebanyak 880,99 ribu ton pada 2023 atau mengalami kenaikan sebanyak 53,47 ribu ton bila dibandingkan produksi padi 2022 sebesar 827,52 ribu ton.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga menyebutkan dalam rilisnya, yaitu produksi padi NTB pada 2021 mencapai 1,42 juta ton GKG, meningkat menjadi 1,45 juta ton GKG pada 2022 atau naik 2,35% (33,39 ribu ton GKG). Meningkatnya produksi padi ini menunjukkan “kehebatan” pertanian NTB dimana, peningkatan produksi tersebut terjadi pada saat luas areal panen yang mengalami penurunan. Luas panen pada 2021 yaitu, 276,21 ribu hektar dan pada pada 2022 mengalami penurunan sebesar 6,22% atau 6,12 ribu hektar.
Ironi Daerah Lumbuh Padi
Namun, ironi saat ini adalah daerah yang seharusnya bergelimang padi, harga beras justru melambung tinggi, memekik getir di telinga masyarakat, khususnya mereka yang berada di garis kemiskinan. Data dari Badan Pangan Nasional (Bapanas) menyebutkan harga beras premium pada (13/02) adalah Rp15.900 dan terakhir pada (20/02) harga beras premium di NTB telah menembus Rp16.640. Begitu pula untuk harga beras medium, yaitu Rp 13.290 pada (13/02) menjadi Rp13.580 pada (20/02). Pertanyaannya kemudian mengapa harga beras di daerah lumbung padi terus merangkak naik? Penjabat Gubernur NTB[1] menyatakan bahwa keterlambatan pendistribusian serta anomali El Nino menjadi beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan harga beras di NTB.
Keterlambatan pendistribusian beras yang mengalami keterlambatan akibat libur panjang tentunya kurang tepat karena sebelumnya ketika penyaluran bantuan pangan yang dimulai pada akhir Januari hingga awal Februari berjalan lancar. Artinya, transportasi logistik tidak terpengaruh oleh adanya klaim libur panjang. Kemudian terkait dengan anomali El Nino, Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB mengklaim tahun 2023 produksi padi mencapai 1,5 juta ton, naik dari target 1,35 juta ton[2].
Apabila mengutip pemikiran Thomas Robert Malthus dalam An Essay on the Principle of Population (1798) yang menyatakan bahwa reproduksi manusia selalu berkembang lebih cepat daripada produktivitas hasil pertanian. Apabila selama ini kita terlena dengan predikat “Lumbung” nasional dengan tambahan bonus demografi di masa yang akan datang maka, daerah akan dihadapkan pada permasalahan krisis pangan seperti mahalnya harga beras sekarang ini, dan yang patut diwaspadai adalah akan berdampak pada program pengentasan kemiskinan di NTB. Jumlah penduduk miskin NTB menurut BPS pada 2023 sebesar 751.230 jiwa, naik dari tahun 2022 yang mencapai 731.940 jiwa.
Peran Bulog di daerah sebagai penyeimbang pasar harus diperkuat. Penyerapan gabah dari petani dengan harga layak dan pendistribusian beras ke masyarakat dengan harga terjangkau, akan menjadi benteng ketahanan pangan. Kemudian kolaborasi dengan pelaku pasar juga penting. Pedagang kecil dan menengah perlu diberdayakan, sehingga dapat menjadi jalur distribusi yang adil dan menguntungkan petani maupun konsumen. Edukasi masyarakat tentang pola konsumsi beras yang bijak, serta pemanfaatan beras alternatif, dapat turut berkontribusi dalam penstabilan harga.
Predikat sebagai lumbung pangan tentu harus selaras dengan harga beras yang terjangkau semua lapisan masyarakat. Melalui langkah konkrit dan kerja sama erat, keadilan pangan bisa diraih, dan Provinsi NTB benar-benar layak menyandang julukan “lumbung pangan” serta jargon “Bumi Gora” yang melekat puluhan tahun dengan penuh kebanggaan.
*Herman Rakha / Peneliti LRC
[1]https://lombok.tribunnews.com/2024/02/20/harga-beras-melambung-di-daerah-lumbung-padi-pemprov-ntb-segera-gelar-pasar-murah
[2] https://www.suarantb.com/2024/01/23/distanbun-ntb-klaim-produksi-padi-tahun-2023-sebesar-155-juta-ton/
