Di sebuah ruang kelas sederhana di SDN 1 Teros, Kecamatan Labuhan Haji, pagi itu suasana berbeda terasa. Anak-anak duduk rapi dengan seragam putih merah, namun beberapa tampak didampingi lebih dekat oleh guru pendamping. Ada yang berbicara dengan suara pelan, ada pula yang tampak sibuk menulis dengan gerakan lebih lambat dari teman-temannya. Tak ada tatapan aneh, tak ada cibiran — hanya semangat belajar yang sama. Inilah wajah baru pendidikan di Lombok Timur: sekolah yang berusaha merangkul semua anak, tanpa terkecuali.
Langkah kecil namun penting ini dimulai melalui program pendidikan inklusif yang digagas Pemerintah Kabupaten Lombok Timur bekerja sama dengan Lombok Research Center (LRC) dan lembaga mitra INOVASI. Tujuannya sederhana, namun berdampak besar: memastikan setiap anak, termasuk yang memiliki hambatan belajar, mendapatkan hak pendidikan yang setara.
Dari Data Menuju Aksi
Kepala SDN 1 Teros, Baiq Suriatun, M.Pd., mengaku sekolahnya seperti “dibukakan mata” setelah melakukan pendataan terhadap kondisi belajar siswanya melalui Profil Belajar Siswa (PBS).
“Dari total 242 siswa, ada 57 anak yang kami identifikasi memiliki hambatan belajar fungsional,” ujarnya. “Angka ini meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya 40 siswa. Data ini membuat kami sadar bahwa selama ini mungkin ada anak-anak yang luput dari perhatian.”
Data inilah yang kemudian menjadi alasan SDN 1 Teros ditunjuk sebagai sekolah percontohan (pilot project) pendidikan inklusif di Lombok Timur. “Kami tidak ingin hanya mencatat angka, tetapi bergerak. Karena pendidikan sejatinya bukan hanya untuk mereka yang cepat belajar, tetapi juga untuk yang membutuhkan waktu lebih lama memahami dunia,” lanjut Baiq Suriatun.
Potret Situasi: Angka yang Menggugah Kesadaran
Hasil asesmen yang dilakukan tim INOVASI dan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Dikbud) Lombok Timur pada tahun 2023 menunjukkan gambaran yang lebih luas. Dari 30 sekolah dasar yang disurvei, terhadap 1.200 siswa, ditemukan 640 anak mengalami hambatan fungsional belajar.
“Bayangkan, itu baru dari 30 sekolah,” kata Raihanatul Jannah dari Dikbud Lombok Timur. “Sementara kita punya 790 SD negeri di Lombok Timur. Angkanya bisa jauh lebih besar.”
Bagi Raihan, data ini bukan sekadar statistik, tapi panggilan moral. “Dengan terbitnya Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 tentang Pendidikan Inklusif, sudah jelas bahwa setiap sekolah wajib menciptakan lingkungan belajar yang aman, setara, dan bebas diskriminasi. Ini bukan pilihan, tapi keharusan,” tegasnya.

Lebih dari Sekadar Disabilitas
Kata “inklusif” sering disalahartikan hanya menyangkut anak dengan disabilitas. Padahal, esensinya jauh lebih luas. Pendidikan inklusif juga berarti menciptakan ruang belajar yang menghargai keberagaman—baik perbedaan kemampuan, sosial ekonomi, maupun latar budaya.
“Pendidikan inklusif itu bukan hanya soal disabilitas,” ujar Raihan lagi. “Tapi bagaimana sekolah menjadi tempat yang ramah, bebas kekerasan, dan mengajarkan nilai toleransi. Itu yang kita perjuangkan.”
Kolaborasi yang Hidup dari Akar Rumput
Perubahan paradigma pendidikan ini tentu tidak mudah. Diperlukan dukungan lintas sektor, mulai dari pemerintah desa, guru, orang tua, hingga tenaga kesehatan. Karena itu, LRC memfasilitasi Pertemuan Koordinasi Lintas Sektor pada 27 Oktober 2025 di SDN 1 Teros — mempertemukan para pemangku kepentingan untuk menyusun langkah nyata.
Menurut Baiq Titis Yulianty, Koordinator Program INKLUSI-LRC, sekolah tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri.
“Ketika kita bicara pendidikan inklusif, maka yang terlibat bukan hanya guru dan kepala sekolah. Pemerintah desa, puskesmas, wali murid, bahkan tokoh masyarakat harus ikut dalam lingkaran dukungan,” ujarnya.
Program percontohan di SDN 1 Teros diharapkan menjadi role model bagi sekolah lain di Lombok Timur. Melalui sekolah ini, para guru dari berbagai wilayah bisa belajar tentang mekanisme pendampingan dan metode pembelajaran yang lebih adaptif terhadap kebutuhan siswa dengan hambatan belajar.
Menyiapkan Guru, Menyiapkan Masa Depan
Salah satu tantangan terbesar dalam implementasi pendidikan inklusif adalah kesiapan tenaga pendidik. Banyak guru belum memiliki keterampilan khusus dalam menangani siswa dengan kebutuhan belajar berbeda. LRC bersama INOVASI dan Dikbud Lotim kini tengah menyiapkan serangkaian pelatihan dan pendampingan untuk meningkatkan kapasitas guru.
“Guru adalah garda terdepan. Tanpa mereka memahami prinsip inklusi, program ini hanya akan berhenti di atas kertas,” kata Baiq Titis.
Pelatihan ini mencakup strategi pembelajaran diferensiatif, asesmen berbasis kemampuan individual, hingga komunikasi efektif dengan anak berkebutuhan khusus.
Harapan dari Teros
Di tengah segala keterbatasan, semangat untuk membuka ruang bagi semua anak tetap menyala. “Kami ingin SDN 1 Teros menjadi sekolah yang benar-benar aman dan ramah bagi setiap anak,” kata Baiq Suriatun. “Karena pendidikan adalah hak, bukan privilese.”
Bagi Lombok Timur, langkah kecil dari sebuah sekolah desa ini bisa menjadi tonggak perubahan. Ketika anak-anak dengan hambatan belajar tak lagi disisihkan, ketika guru tak lagi bingung menghadapi perbedaan, dan ketika masyarakat mulai memahami arti sesungguhnya dari inklusi — saat itulah, mimpi tentang pendidikan yang adil bagi semua mulai menjadi nyata.
Dari sebuah ruang kelas di Teros, perubahan itu perlahan dimulai.

