Suasana di Aula Sekar Asri, Selong, Selasa (7/10/2025) siang itu terasa tenang, tapi serius. Di antara tumpukan kertas dan laptop yang terbuka, sekelompok orang duduk melingkar, berdiskusi tentang sesuatu yang jarang menjadi sorotan publik: bagaimana memastikan korban kekerasan mendapatkan layanan yang aman, profesional, dan berempati.
Pertemuan itu mempertemukan Lombok Research Center (LRC) dengan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kabupaten Lombok Timur. Pertemuan yang difasilitasi oleh Program INKLUSI BaKTI tersebut bertujuan untuk menyusun Standar Operasional Prosedur (SOP) bagi tenaga ahli psikolog klinis, mediator, dan konselor. Namun di balik istilah yang terdengar teknis itu, tersimpan semangat kemanusiaan — menata empati agar bisa bekerja secara sistematis.
Menata Aturan untuk Menguatkan Rasa Aman
Bagi Akhmad Saripudin, anggota tim penyusun SOP, dokumen ini bukan sekadar panduan kerja, melainkan fondasi agar setiap langkah pendampingan korban dilakukan dengan kepastian, kualitas, dan kepedulian.
“SOP ini akan memperjelas alur kerja, wewenang, dan tanggung jawab setiap psikolog dan unit terkait. Tujuannya agar pelayanan lebih efektif, konsisten, dan profesional,” ujarnya.
Dalam rancangan SOP tersebut, tim menyusun standar mulai dari kualifikasi tenaga profesional, prosedur layanan konseling, hingga standar fasilitas ruang pendampingan. Semua itu diarahkan untuk memastikan bahwa setiap korban — perempuan, anak, atau siapa pun yang datang mencari perlindungan — merasa aman dan dihargai martabatnya.
Kolaborasi: Membangun Sistem yang Kuat Bersama
Direktur Lombok Research Center, Suherman, melihat upaya ini sebagai bagian dari kerja bersama lintas sektor. Menurutnya, pelayanan perlindungan tidak bisa berjalan sendiri. Ia membutuhkan dukungan dari banyak pihak: pemerintah, lembaga nonpemerintah, hingga dunia usaha.
“Banyak perusahaan sekarang memiliki program CSR di bidang kemanusiaan. Ini peluang besar untuk memperkuat layanan UPTD PPA — misalnya membantu pengadaan alat atau fasilitas pendukung,” jelasnya.
Kolaborasi itu penting. Sebab realitas di lapangan menunjukkan bahwa banyak ruang layanan masih jauh dari ideal: ruang konseling yang tidak kedap suara, alat tes psikologis yang terbatas, hingga kurangnya sarana pendukung yang membuat proses konseling tidak maksimal. Melalui SOP ini, LRC dan UPTD PPA ingin memastikan standar layanan bukan hanya ada di atas kertas, tapi benar-benar dirasakan di lapangan.
SOP Sebagai Alat Advokasi
Bagi Hj. Yuliani, SST., M.Kes, Kepala UPTD PPA Lombok Timur, SOP yang sedang disusun juga memiliki peran strategis lain: alat advokasi.
“Dengan adanya SOP, kami punya acuan yang bisa disampaikan ke pemangku kebijakan. Bahwa ruang konseling, misalnya, idealnya harus kedap suara, ada satu set meja dan sofa, CCTV, televisi, rekorder, dan terpisah dari aktivitas lainnya,” ujarnya.
Standar-standar itu bukan untuk mempersulit, tapi untuk menjamin rasa aman dan kenyamanan psikologis bagi setiap klien. Karena di balik setiap sesi konseling, ada trauma, ada ketakutan, dan ada harapan untuk pulih.

Aturan yang Hidup dan Fleksibel
Meski berbentuk dokumen formal, tim penyusun memastikan SOP ini tidak kaku. Ia bersifat kontekstual dan bisa diperbarui sesuai kebutuhan di lapangan.
“SOP ini aturan tertulis, tapi kalau ke depan ada yang perlu ditambah atau disesuaikan, tentu bisa dilakukan,” kata Akhmad.
Pendekatan ini menunjukkan kesadaran bahwa dunia perlindungan sosial bersifat dinamis — selalu berubah mengikuti kompleksitas kasus dan kebutuhan korban. Maka, aturan pun harus mampu hidup dan beradaptasi.
Dari Dokumen ke Aksi Kemanusiaan
Penyusunan SOP ini mungkin terlihat teknis. Namun bagi para pekerja sosial dan tenaga layanan di UPTD PPA, ia adalah napas baru — pedoman yang memberi arah sekaligus perlindungan bagi mereka yang bekerja di garis depan menghadapi luka-luka sosial masyarakat.
Bagi korban kekerasan, SOP ini kelak akan menjadi jaminan tak tertulis bahwa ketika mereka datang mencari pertolongan, ada sistem yang berpihak, ruang yang aman, dan orang-orang yang siap mendengarkan dengan hati.
Lombok Timur kini sedang menulis empatinya dalam bentuk aturan.
Dan dari langkah kecil di ruang rapat itu, harapan besar tumbuh: sebuah sistem perlindungan yang lebih manusiawi, terstandar, dan berkelanjutan.

