Herman Rakha*
Pertumbuhan ekonomi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada kuartal II-2025 menjadi sinyal peringatan keras. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekonomi NTB terkoreksi −0,82 persen (y-on-y). Sektor pertambangan bahkan terpuruk lebih dalam, dengan kontraksi mencapai −29,93 persen. Angka ini membuktikan, jika tambang goyah, seluruh struktur ekonomi NTB ikut rapuh.
Selama ini, memang benar tambang—terutama di Pulau Sumbawa—menjadi penyumbang terbesar PDRB. Namun, ketergantungan ini jelas berbahaya: ekonomi terlalu mudah terombang-ambing oleh harga global dan kebijakan eksternal. Akibatnya, ketimpangan kota-desa semakin melebar, sementara lapangan kerja yang menyerap masyarakat luas justru kurang terjamin.
Pertanian: Potensi Besar yang Belum Maksimal
Pertanian adalah tulang punggung mayoritas masyarakat NTB. Namun, data menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Produksi padi tahun 2024 hanya mencapai 1,45 juta ton gabah kering giling (GKG), turun 5,53 persen dari 2023. Luas panen padi juga menyusut menjadi 280,03 ribu hektare, turun 2,6 persen dari tahun sebelumnya. Untuk jagung, Januari–Mei 2025 sudah ada 105,2 ribu hektare panen, dengan produktivitas bervariasi antar kabupaten.
Artinya, sektor yang menopang hajat hidup orang banyak justru sedang menurun. NTB harus segera menguatkan kembali sektor ini: perbaikan irigasi, alat pascapanen, teknologi pertanian modern, hingga akses pasar. Tanpa itu, pertanian hanya akan jadi penyangga hidup, bukan penggerak ekonomi.
Pariwisata: Motor Baru yang Mulai Menggeliat
Berbeda dengan tambang dan pertanian, sektor pariwisata justru menunjukkan tren optimistis: Semester I-2024, kunjungan wisatawan mencapai ±800 ribu orang. Sepanjang 2024, realisasi kunjungan mencapai 2,3 juta orang, hanya sedikit di bawah target 2,5 juta orang. Awal 2025, kunjungan wisatawan mancanegara melalui Bandara Lombok meningkat 10,45 persen dibanding bulan sebelumnya.
Pemerintah menargetkan kontribusi pariwisata terhadap PDRB NTB naik dari 11,64 persen (2025) menjadi 12,60 persen (2029). Meski begitu, masih ada pekerjaan rumah. Tingkat hunian hotel (TPK) pada November 2024 hanya 36,24 persen untuk hotel berbintang. Artinya, banyak wisatawan datang, tapi belum cukup lama tinggal atau membelanjakan uang mereka di NTB. Inilah celah yang harus diisi dengan promosi, event internasional, pengembangan desa wisata, dan perbaikan fasilitas.
Ekonomi Kreatif: Menambah Nilai dari Identitas Lokal
Selain pariwisata, ekonomi kreatif juga memiliki peluang besar. NTB mulai aktif mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk produk kuliner khas, budaya, hingga kesultanan. Dekranasda NTB mendorong UMKM memperkuat branding, kemasan, dan digitalisasi pemasaran.
Jika dijalankan serius, kontribusi ekonomi kreatif NTB terhadap PDB nasional ditargetkan naik dari 0,39 persen (2025) menjadi 0,47 persen (2029). Angka ini memang kecil, tapi menjadi awal penting untuk menjadikan produk lokal NTB punya daya saing di pasar nasional maupun global.
Arah Kebijakan: Dari Data ke Aksi
Dari gambaran di atas, jelas bahwa NTB tidak bisa terus bergantung pada tambang. Kondisi ini juga pernah mendapat atensi dari Menteri dalam Negeri, Tito Karnavian pada acara Musrenbang RPJMD Provinsi NTB 2025 di Mataram, Rabu, 4 Juni 2025 yang lalu. Mendagri menyoroti dan mengajak Pemda NTB untuk serius mendorong pertumbuhan ekonomi daerah, termasuk diversifikasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada sektor pertambangan.
Beberapa langkah strategis yang mendesak antara lain: Alihkan anggaran ke sektor produktif: 20–30 persen belanja modal sebaiknya difokuskan ke pertanian dan pariwisata. Selain itu program berbasis outcome yang tidak harus fokus pada bantuan bibit, tapi juga peningkatan produktivitas dan akses pasar.
Pemda NTB harus terus mendorong investasi non-tambang. Untuk itu pemda NTB harus dapat memberikan insentif dan kemudahan perizinan untuk agroindustri, pariwisata berkelanjutan, dan ekonomi kreatif. Selanjutnya adalah mensinkronkan fiskal provinsi dan kabupaten/kota yang dimaksudkan agar pajak dan retribusi tidak tumpang tindih, serta penerimaan asli daerah lebih stabil. Terakhir dan lebih penting adalah terkait dengan melakukan monitoring ketat dan berbasis data dimana hal ini bertujuan sebagai dasar evaluasi bagi tiap program dengan menggunakan indikator kuantitatif agar anggaran tidak sia-sia.
Penutup
Jika ekonomi NTB hanya bertumpu pada tambang, maka daerah ini akan selalu hidup dalam bayang-bayang fluktuasi global. Namun dengan tata kelola keuangan daerah yang transparan dan berpihak pada rakyat, NTB bisa mengembangkan kekuatan sejatinya: pertanian yang tangguh, pariwisata yang berdaya saing, dan ekonomi kreatif yang berbasis identitas lokal.
Inilah jalan agar NTB tidak hanya tumbuh ketika harga tambang naik, tetapi tumbuh dari kerja keras masyarakatnya sendiri—lebih inklusif, tangguh, dan berkelanjutan.
*Peneliti pada Lombok Research Center (LRC)

