Di sebuah kafe sederhana di kawasan Sikur, Rabu siang (24/9/2025), suasana berbeda terasa. Ruangan Classic Coffee & Resto yang biasanya hanya riuh oleh obrolan santai, hari itu dipenuhi para pengrajin, pelaku UMKM, perwakilan pemerintah daerah, hingga pihak perbankan. Mereka duduk melingkar, menyimak dan saling bertukar cerita dalam sebuah forum diskusi yang digagas Lombok Research Center (LRC).
Forum yang bertajuk Pengembangan Usaha UMKM Berbasis Bambu ini bukan sekadar pertemuan biasa. Bagi para pengrajin bambu di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, inilah kesempatan untuk menyuarakan keresahan yang sudah lama mereka pendam: tentang harga bambu yang tak menentu, minat masyarakat yang kian menurun, hingga rendahnya perhatian pemerintah terhadap kerajinan yang pernah menjadi kebanggaan daerah.
Bambu: Potensi Besar yang Belum Tergarap Maksimal
Sikur sejak lama dikenal sebagai salah satu sentra pengrajin bambu di Lombok Timur. Di banyak desa, rumah-rumah bambu, anyaman tradisional, hingga kursi atau meja dari bambu pernah menjadi primadona. Namun, seiring masuknya produk modern dan bahan substitusi yang lebih murah, eksistensi kerajinan bambu mulai meredup.
“Masalah utama kami itu bahan baku, karena bambu tidak pernah dibudidayakan secara khusus. Jadi kalau butuh, harus cari ke kebun atau beli dengan harga yang tidak menentu,” ungkap seorang pengrajin yang sudah puluhan tahun bergelut dengan bambu.
Tidak berhenti di soal bahan baku, pemasaran juga menjadi tantangan serius. Produk bambu dianggap kalah praktis dibandingkan produk berbahan plastik atau logam. Minat generasi muda untuk melanjutkan usaha ini pun rendah. Akibatnya, rata-rata usia pengrajin kini sudah lanjut, sementara regenerasi hampir tidak ada.
Suara dari Forum: Keluh, Harap, dan Rekomendasi
FGD yang digelar LRC berhasil membuka ruang bagi pelaku UMKM untuk berbicara secara langsung di hadapan pihak terkait. Dari Dinas Perindustrian, Dinas Pertanian, hingga perwakilan Bank Rakyat Indonesia (BRI) hadir mendengarkan.
Beberapa persoalan kunci yang mencuat antara lain:
Harga bahan baku bambu yang fluktuatif karena tidak adanya budidaya khusus, Pemasaran produk yang semakin sulit karena menurunnya minat masyarakat terhadap kerajinan bambu, Persaingan dengan produk substitusi yang lebih murah dan lebih praktis, Minimnya regenerasi pengrajin karena anak muda enggan terjun ke usaha ini, Disparitas harga antara pengrajin dan pengepul yang merugikan pelaku UMKM, Keterbatasan modal usaha serta kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam bentuk bantuan peralatan dan pelatihan.
Direktur LRC, Suherman, menegaskan bahwa forum ini bukan sekadar tempat mengumpulkan keluhan, melainkan langkah strategis untuk memetakan masalah sekaligus merumuskan solusi bersama.
“LRC melaksanakan FGD ini tidak lain adalah sebagai fasilitator. Kami menghimpun berbagai tantangan yang dihadapi pelaku UMKM berbasis bambu serta berupaya menemukan solusi terbaik dengan menghadirkan narasumber yang berkompeten,” ujarnya.

Jembatan Kolaborasi Multi-Pihak
Dalam diskusi, perwakilan pemerintah daerah mengakui perlunya perhatian lebih terhadap UMKM berbasis bambu. Pihak BRI pun membuka kemungkinan untuk memberikan dukungan akses pembiayaan, meski tetap membutuhkan pendampingan agar pengrajin dapat mengelola modal secara efektif.
Di sinilah peran LRC menjadi penting. Sebagai lembaga riset yang kerap turun ke lapangan, LRC berfungsi sebagai jembatan antara pelaku UMKM, pemerintah, dan pihak swasta. Program-program sebelumnya seperti pelatihan keterampilan dan pendampingan usaha telah lebih dulu dilakukan. FGD ini menjadi kelanjutan, dengan tujuan akhir menghasilkan rekomendasi kebijakan berbasis potensi agroindustri lokal.
“Harapannya, dari kegiatan diskusi ini dapat menjembatani tantangan yang dihadapi sekaligus mendorong adanya inovasi-inovasi pengembangan usaha, terutama pada upaya kolaboratif multi-pihak,” tambah Suherman.
Potret Masa Depan UMKM Bambu di Sikur
Meski dihantam banyak tantangan, potensi bambu di Sikur masih terbuka lebar. Dari sisi bahan, bambu adalah sumber daya lokal yang ramah lingkungan, mudah tumbuh, dan memiliki nilai ekonomis tinggi jika dikelola dengan baik. Produk kerajinan bambu juga memiliki peluang besar di pasar pariwisata, mengingat Lombok adalah destinasi unggulan yang kerap didatangi wisatawan mancanegara yang menggemari produk handmade.
Namun, semua itu tidak akan terwujud tanpa upaya serius untuk membenahi hulu-hilir usaha bambu. Mulai dari program budidaya bambu, penguatan kapasitas pengrajin, inovasi desain produk agar sesuai tren pasar, hingga dukungan permodalan dan kebijakan dari pemerintah.
Di sisi lain, keterlibatan generasi muda menjadi kunci keberlanjutan. Tanpa regenerasi, kerajinan bambu hanya akan menjadi cerita nostalgia. Karenanya, pelatihan kreatif yang menggabungkan tradisi dengan teknologi modern perlu segera dilakukan.
Dari Forum Kecil Menuju Gerakan Besar
Diskusi di Classic Coffee & Resto mungkin hanya forum sederhana. Namun, dari ruang kecil itulah harapan baru disulut. Pengrajin merasa didengar, pemerintah mulai membuka mata, dan pihak perbankan menunjukkan niat membantu.
Perjalanan tentu masih panjang. Tetapi langkah awal ini penting. Bambu, dengan segala kesederhanaannya, menyimpan filosofi kuat: ia lentur, tahan uji, dan selalu tumbuh kembali. Begitu pula harapan bagi UMKM bambu di Sikur. Jika semua pihak mau bergandeng tangan, maka bambu bukan hanya menjadi bagian dari masa lalu, tetapi juga penopang masa depan ekonomi Lombok Timur.

