Kelompok Konstituen Sebagai Penggerak Penanggulangan Kekerasan dan Perlindungan Sosial di Desa Aikmel Barat

Pemberdayaan masyarakat dalam mencegah kasus kekerasan dan melaksanakan perlindungan sosial dinilai lebih efektif. Komunitas masyarakat akan menjadi mesin penggerak bagi pemerintah dan lembaga-lembaga terkait untuk bertindak. Hadirnya Kelompok Konstituen (KK) yang dibidani oleh Lombok Research Center (LRC) akan memberikan warna baru dalam pembangunan di tingkat lokal.
LRC bersama Yayasan BaKTI dalam implementasi Program INKLUSI di tahun ini kembali menggelar peningkatan kapasitas bagi KK dalam agenda “Pertemuan Penguatan Kelompok Konstituen Untuk Penerimaan Pengaduan, Penyediaan Layanan Komunitas, Advokasi Kebijakan dan Partisipasi Politik Tingkat Desa di Kabupaten Lombok Timur. Kegiatan ini dilaksanakan di Desa Aikmel Barat, Sabtu, 9 Maret 2024.
Dalam sambutannya, Suherman selaku Direktur LRC menyebutkan bahwa kasus kekerasan di Lombok Timur menjadi yang tertinggi dari 10 Kabupaten/Kota di NTB dengan jumlah 203 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak (DP3AKB Lotim, 2023). Di sisi lain, dari 62 ribu PMI di Indonesia, sebanyak 13.111 orang berasal dari Lombok Timur (BP2MI, 2023). Besarnya jumlah masyarakat yang bekerja di luar negeri tidak menutup kemungkinan akan meningkatkan potensi kekerasan terhadap pekerja migran. Kekerasan adalah masalah yang serius, karena itulah dibutuhkan kolaborasi semua pihak dalam mengatasinya.
“Butuh penangangan yang serius untuk mengatasi masalah kekerasan dan kasus perlindungan sosial. Karena itulah kita butuh kerjasama semua pihak agar aktif melawan kekerasan dan menyuarakan hak-hak kelompok masyarakat rentan”, kata Suherman.
Kepala Desa Aikmel Barat, Mulyadi saat membuka kegiatan tersebut juga menyinggung masalah perkawinan anak yang marak terjadi di desa-desa. Menurutnya, sanksi sosial perlu diberikan kepada pelaku perkawinan anak agar mendapatkan efek jera. Termasuk mengimbau kepada para pemerintah desa dan kawil agar tidak ikut ambil andil di dalamnya. Terlebih perkawinan anak merupakan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2022, dan bagi siapa saja yang melanggarnya akan dijerat dengan hukuman sembilan tahun penjara dan denda Rp200 juta.
“Perkawinan anak harus dicegah bahkan jauh-jauh sebelum itu terjadi, namun jika tetap terjadi (perkawinan anak di bawah tangan), jangan ada yang mendukung/hadir sebagai sanksi sosialnya”, kata Mulyadi.
Di tempat yang sama, Ibu Fathiyah (Kepala Bidang Pemberdayaan Perempuan DP3AKB Lombok Timur) yang hadir sebagai narasumber menyampaikan bahwa saat ini pemerintah daerah dari tahun 2021 tidak lagi membebani biaya visum bagi korban kekerasan perempuan dan anak yang dapat diakses di RSUD Soedjono, Selong. Hal ini sekaligus sebagai strategi untuk mendorong korban kekerasan untuk berani bersuara.
“Salah satu yang membuat korban kekerasan enggan melapor karena dibebankan biaya visum, belum lagi mekanisme pelaporan yang kompleks, tapi sekarang visum untuk korban kekerasan perempuan dan anak itu disubsidi pemerintah, jadi semuanya gratis”, kata Fathiyah.
Selain masalah kekerasan, kasus perlindungan sosial juga merupakan masalah yang harus diatasi. Sebab, ini menyangkut hajat hidup masyarakat, terlebih untuk kelompok rentan seperti disabilitas, lansia, ODDP, lansia, ibu hamil, perempuan kepala keluarga, anak, PMI dan seterusnya. Kelompok masyarakat ini harus diutamakan untuk mendapatkan perlindungan sosial dan bantuan sosial pemerintah pusat, daerah dan desa.
Menurut Lalu Muhammad Isnaeni (Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial, Dinas Sosial Lombok Timur) sekaligus narasumber harus ada pendataan terkait keberadaan masyarakat rentan yang belum memiliki adminduk, belum tercover BPJS dan tidak mendapatkan bantuan sosial pemerintah, agar lebih mudah dilakukan intervensi. Karena saat ini semua jaminan sosial pemerintah hanya bisa dilayani dari satu pintu yakni DTKS (Data Terpadu Kesejahteraan Sosial) yang diakses melalui aplikasi SIKS-NG.
“Semua jenis jaminan sosial pemerintah sekarang dilayani dari satu pintu yakni DTKS, makanya yang belum punya adminduk, bagaimana caranya ini kita bantu uruskan agar mereka lebih mudah kita daftarkan di DTKS”, tutup Lalu Muhammad Isaneni atau akrab disapa Mamiq Is.
Tahun 2019 pemerintah desa Aikmel Barat telah berkolaborasi dengan pihak puskesmas setempat untuk memberikan pelayanan kesehatan dan sosial bagi ODDP (orang dengan disabilitas psikososial). Pemerintah desa telah membentuk komunitas bernama Gerakan Peduli ODDP Aikmel Barat. Komunitas tersebut yang membantu ODDP mendapatkan obat dari puskesmas dan pelayanan kesehatan lainnya. Termasuk membantu para ODDP dalam mengakses bantuan sosial pemerintah. Hal ini patut diapresiasi dan mendapatkan dukungan karena termasuk sebagai salah satu implementasi dari pembangunan inklusif di tingkat lokal.
 
 
Bq. Diat*