Kolaborasi Multi Pihak Dalam Membantu Anak Korban Kekerasan Seksual Untuk Berusaha Pulih Kembali

Oleh : Herman Rakha

Berita mengenai kekerasan seksual terhadap anak seringkali muncul dalam pemberitaan lokal maupun nasional, tidak terkecuali di Kabupaten Lombok Timur. Pada tahun 2022 ini, contohnya ada kasus viral seorang guru ngaji di Kecamatan Terara yang melakukan kekearasan seksual terhadap seoarang anak yang masih berada di sekolah dasar. Kemudian di Kecamatan Suela, terjadi kasus pelecehan seksual yang menimpa empat pelajar sekolah menengah pertama.

Data dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB) Provinsi NTB menunjukkan bahwa Kabupaten Lombok Timur sebagai peringkat teratas untuk jumlah kasus kekerasan terhadap anak, yaitu dengan 205 kasus pada tahun 2021. Dari jumlah kasus kekerasan terhadap anak tersebut, 11 persen diantaranya merupakan kasus kekerasan seksual terhadap anak (23 kasus),disusul oleh kekerasan fisik dan penelantaran.

Dari data tersebut kemungkinan besar tidak mencerminkan data sebenarnya di lapangan karena biasanya kasus kekerasan terhadap anak seringkali tidak dilaporkan dengan berbagai macam alasan. Hal ini juga biasanya anak yang menjadi korban seringkali memilih diam dan tidak berani memberitahukan keluarga dekatnya apalagi melapor kepada pihak yang berwenang.

Pertanyaannya adalah bagaimana bentuk penanganan yang tepat terhadap anak yang menjadi korban kekerasan seksual? Seperti kita ketahui bahwa pada umumnya para korban kekerasan seksual, terutama pada anak-anak cenderung mengalami permasalahan dengan kesehatan mental dan akan mengalami trauma yang sangat mendalam. Kekerasan seksual yang dialami di usia yang sangat dini menyebabkan para penyintas ini belum sanggup mengidentifikasikan perassaan mereka pasca kejadian pelecehan atau kekerasan seksual.

Berdasarkan hasil penelitian Mochammad Wahyu Ghani dan Marya Yenita Sitohang (2022)[1] menunjukkan bahwa lingkungan, keluarga, lembaga pemerintah, dan kelompok masyarakat sipil memiliki peran yang sangat penting dalam meminimalisir dampak negatif yang dialami oleh para penyintas untuk dapat menjalani kehidupan normal kembali, tentunya melalui beberapa penyesuaian dalam kehidupan sehari-hari. Semua ini membutuhkan waktu yang lama dan tidak memberikan jaminan rasa trauma yang mereka alami akan hilang seumur hidup. Untuk itu, dukungan kita semua sebagai bagian dari masyarakat sangatlah diperlukan untuk mendukung dan menjadi modal bagi para penyintas untuk dapat bangkit kembali.
 
Bagaimana Cara Kita Membantu Anak Korban Kekerasan Seksual Hidup Normal Kembali
Dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan oleh para penyintas kekersan seksual terhadap anak, terutama dukungan dari keluarga terdekat (keluarga inti). Pada umumnya anak sebagai korban kekerasan seksual di usia yang sangat dini tidak memiliki daya sepenuhnya untuk berusaha memperbaiki hidupnya yang telah “terenggut” akibat kejadian kekerasan seksual. Orang tua dari korban harus berjuang untuk memperbaiki kehidupan anaknya dengan cara menyediakan suasana kehidupan yang baru bagi anak yang menjadi korban. Orang tua harus berupaya untuk hidup di tempat tinggal yang baru dimana, tidak ada seorangpun yang mengetahui informasi tentang kejadian yang dialami oleh anak penyintas kekerasan seksual. Selanjutnya orang tua kembali menyekolahkan anaknya di tempat yang baru tersebut. Lingkungan baru tersebut sebisa mungkin jauh dari lingkungan tempat tinggal yang dulu. Dalam hal ini Lombok Research Center (LRC) dalam kajiannya setidaknya lingkungan baru berjarak 3 kecamatan dari tempat tinggal yang dulu, bahkan kalaupun memungkinkan dapat keluar dari wilayah Kabupaten Lombok Timur.

Dibutuhkan proses adaptasi yang lama dan tentunya harus berkesinambungan, yang didalamnya akan terkait juga dengan dinamika yang terjadi dalam keluarga, kemudian terhadap nilai-nilai yang dipegang oleh orang tua, serta membutuhkan dukungan berbagai pihak di lingkungan yang baru tersebut.

Pemilihan lingkungan baru sebagai upaya membantu anak penyintas kekerasan seksual disebabkan karena mereka seringkali terstigma yang membuat mereka merasa terdiskriminasi, seperti dikeluarkan oleh pihak sekolah atau kalaupun tidak demikian mereka akan dikucilkan di lingkungan masyarakat. belum lagi apabila ada penyintas kekerasan seksual yang berujung pada kehamilan yang tidak diinginkan.

Untuk itu, dukungan sosial sangat mereka butuhkan untuk dapat meminimalisir rasa traumatis yang mereka alami. Dukungan sosial yang dirasakan akan membantu meningkatkan kepercayaan diri mereka bangkit kembali. Itulah mengapa bagi anak penyintas kekerasan seksual membutuhkan lingkungan baru, tidak lain karena salah satunya bertujuan agar mereka kembali memiliki kepercayaan diri dan dapat membangun relasi dengan masyarakat umum. Apabila kondisi ini dapat dirasakan maka, penyintas ini mampu untuk menjalin suatu hubungan atau bahkan menikah dengan pasangan beserta keluarga yang dapat menerima masa lalunya.
 
Anak Rentan Menjadi Kkorban
Dinobatkannya 13 Desa di Kabupaten Lombok Timur sebagai Desa ramah perempuan dan peduli anak harus sepenuhnya mendapat dukungan dan kolaborasi multi pihak. Maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak menandakan  masih lemahnya kapasitas kemampuan yang ada di tengah masyarakat untuk dapat mengidentifikasi bahaya yang ada di sekitar anak, sehingga membuat anak menjadi sangat rentan menjadi korban kekerasan seksual.

Dalam usia yang masih sangat muda, anak tentunya belum atau kurang mampu untuk dapat mengidentifikasi tindakan atau perlakuan yang menjurus kepada tindakan kekerasan seksual, contohnya adalah mengidentifikasi sentuhan-sentuhan yang tidak diinginkan. Anak-anak kemudian belum dapat memahami cara untuk emgnungkapkan perasaannya yang tidak nyaman terhadap orang orang asing dan memberikan tanda peringatan atau menolak untuk tidak disentuh. Relasi kuasa ini juga yang seringkali dimanfaatkan oleh para pelaku untuk menjalankan aksinya melakukan kekerasan seksual terhadap anak.

Korban predator seksual tidak mengenal namanya status sosial dan gender sehingga, setiap anak di Kabupaten Lombok Timur memiliki potensi yang sama menjadi korban kekerasan seksual. Keberadaan anak yang orang tuanya tidak lengkap tentunya akan meningkatkan potensi tersebut. Namun, meskipun demikian sebenarnya semua ini akan kembali ke pola asuh.

Pola asuh yang salah atau keliru bahkan menjadi suatu potensi terjadinya kekerasan seksual terhadap anak. Beberapa kejadian kasus kekerasan seksual terhadap anak di Kabupaten Lombok Timur umumnya dilakukan oleh orang-orang yang sangat dekat dan dikenal oleh korban. Saudara, guru, tetangga, teman, guru ngaji, bahkan orang tua kandung sendiri berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Mirisnya seringkali pelaku yang berasal dari keluarga terdekat menyebankan keengganan korban melaporkan kejadian yang dialaminya ke ranah hukum.

Meskipun demikian, upaya pencegahan bukanlah sesuatu yang mustahil untuk dilakukan. Salah satunya adalah melalui media jurnalisme yang diharapkan terus mengkampanyekan mengenai penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak, baik itu dalam bentuk pemberitaan maupun iklan-iklan yang disediakan oleh media. Selain itu, opini yang dibangun oleh media juga akan dapat mempengaruhi masyarakat dalam meningkatkan kapasitas kewaspadaannya terhadap para pelaku kekerasan seksual.


[1] Come Back Stronger After Suffered for Child Sexual Abuse: A Case Study to Understand the Family Resilience Process. Sawwa: Jurnal Studi Gender – Vol 17, No 1 (2022): 17-46 – Sawwa: Jurnal Studi Gender