Oleh : Herman Rakha*
Musibah banjir yang terjadi di beberapa daerah di Propinsi Nusa Tenggara Barat pada hari Senin (6/12/21) telah menyebabkan kerugian dan korban jiwa. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Propinsi NTB sementara ini mencatat sebanyak 10.701 Kepala Keluarga (KK) di Kabupaten Lombok Barat dan Kota Bima mengalami dampak dari musibah banjir tersebut. Di Kabupaten Lombok Barat terdapat 2.001 jiwa korban banjir mengungsi dan 5 orang meninggal dunia serta 8 orang dikabarkan mengalami luka-luka. Diperkirakan kerugian akibat musibah banjir ini mencapai Rp100 Miliyar. Musibah ini tentu saja mengentak batin kita semua yang abai dengan suatu pesan tunggal yaitu, terus mendorong isu lingkungan menjadi prioritas utama dari kebijakan pemerintah daerah. Banjir diyakini mewakili sebuah ratapan yang merata di seluruh segmen geografis “Bumi Gora” yang memang seringkali berada di luar proyeksi pengambil keputusan.
Apakah Hujan Menjadi Penyebab Utama Banjir ?
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) NTB memang telah memperkirakan curah hujan di sebagian wilayah NTB berkisar antara 101 – 400 ml. Khusus untuk Kecamatan Lingsar, Gunung Sari, Batu Layar, dan Labuapi, BMKG memperkirakan curah hujan pada daerah-daerah tersebut cenderung berada di atas normal (301 – 400 ml).
Berdasarkan data BMKG tersebut maka, timbul pertanyaan pada suatu acara diskusi yang diadakan oleh Lombok Research Center (LRC) pasca kejadian musibah banjir di Kabupaten Lombok Barat. Adapun pertanyaan yang muncul adalah, benarkah banjir bandang yang melanda Kabupaten Lombok Barat merupakan dampak dari intensitas curah hujan yang tinggi yang terjadi ?. Sebagai informasi, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB, 2020), Kabupaten Lombok Barat merupakan daerah dengan risiko bencana banjir yang tinggi.
Kalaupun disebabkan oleh adanya curah hujan dengan intensitas tinggi maka, sejatinya jawaban tersebut bukanlah suatu jawaban yang benar secara mutlak. Hal ini penting untuk kita pahami bersama bahwa menyatakan hujan sebagai faktor utama banjir, berarti pemahaman kita telah secara tidak langsung menempatkan hujan sebagai “kaum radikal/ekstrimis” yang menjadi faktor paling disalahkan.
Menurut Maharani (2021) peneliti utama Lombok Research Center (LRC), hujan bukanlah faktor utama menjadi penyebab banjir yang terjadi di beberapa wilayah di NTB namun, lebih pada buruknya manajemen lingkungan. Mengutip komentar Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) NTB, Ir. Madani Mukarom, B.Sc.F., M.Si., dalam suatu pemberitaan lokal[1], menyebutkan pembangunan vila di sejumlah perbukitan di daerah Batulayar Kabupaten Lombok Barat diduga berkontribusi memicu terjadinya banjir bandang. Pembangunan vila sesuai persyaratan izin lingkungan kadang-kadang disepelekan.
Sebenarnya, hukum, peraturan perundang-undangan, dan keputusan yang telah dibuat pemerintah pusat maupun daerah, sudah banyak yang bisa menjadi instrumen pencegah pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dinyatakan, instrumen pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas sejumlah elemen. Di antaranya, Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH), Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Baku Mutu Lingkungan (BML), AMDAL, UKL-UPL, perizinan, retribusi/pajak, peraturan perundang-undangan berbasis lingkungan, analisa resiko lingkungan hidup dan instrument lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Pada dasarnya banjir merupakan respon ekologis lingkungan dari suatu kebijakan yang tidak mematuhi prinsip dan tatanan iklim sehingga, banjir dapat dikatakan bukanlah suatu fenomena alam yang datang mendadak, melainkan merupakan produk destruktif yang luput dari upaya antisipasi kebijakan. Artinya, pemerintah daerah tidak belajar dari kejadian banjir yang melanda di daerah Senggigi pada 2017[2] dan 2020
[3] yang lalu dimana, komentar yang sama adalah terkait dengan keberadaan bangunan-bangunan akomodasi pariwisata yang ada di perbukitan pada kawasan tersebut.
Intinya, banyaknya air hujan bukanlah merupakan faktor utama penyebab banjir namun, kita juga perlu memahami seberapa besar kemampuan tanah untuk dapat menyerap air dan kemampuan sungai untuk menampung air ke dalam “perutnya”. Maka, dari sini kita akan mengetahui terdapat variabel utama sebagai penyebab terjadinya banjir.
Hujan yang merupakan berkah Sang Pencipta bagi segenap makhluk ciptaan-Nya di muka bumi sehingga, hujan dapat turun dimana saja yang kemudian akan diserap oleh tanah atau dalam istilah akedemisnya adalah infiltrasi, nantinya air hujan yang diserap ini akan menjadi air tanah. Akan tetapi, tidak semua air hujan akan bisa diserap oleh tanah, terutama jika kemampuan tanah menyerap air sangat kecil. Kondisi ini tentunya akan berjalan kodrat alam yaitu, air akan mengalir ke tempat yang lebih rendah. Dari sini kita bisa tahu kalau penggundulan hutan dan padatnya pemukiman menjadi faktor utama berkurangnya kemampuan tanah untuk menyerap air.
Seperti diketahui bahwa di wilayah Kecamatan Gunung Sari dan Batu Layar, telah banyak dibangun perumahan yang tentu saja dengan cara merubah pemanfaatan lahan, dari yang dulunya lahan pertanian dan kebun telah berubah menjadi kawasan perumahan. Kondisi muka tanah yang berubah menjadi perumahan, menyebabkan air hujan sulit untuk meresap dan menjadi aliran permukaan. Jika saluran drainase kurang memadai, air hujan yang turun akan meluap dan dapat menimbulkan banjir di perumahan. Begitupun jika perumahan-perumahan tersebut dibangun di bawah ketinggian sungai yang berada di sekitarnya. Banjir dapat terjadi karena adanya problematika tata ruang dimana, ada “penggerogotan sumber daya alam, pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dan ujung dari semua ini adalah mengenai tata kebijakan pemerintahan.
Adapun kebijakan tersebut dapat berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ada pada perencanaan tata ruang kabupaten/kota. Kebijakan ini disusun tentunya harus berdasarkan pada Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) yang merupakan perencanaan tertulis dan memuat mengenai potensi, permasalahan lingkunagn hidup, serta upaya-upaya perlindungan dan pengelolaan dalam jangka waktu tertentu. Penjabaran RTRW ditetapkan dalam perda yang mengatur Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) dan peraturan zoning yang digunakan sebagai pedoman dalam mengatur pemanfaatan kawasan di suatu wilayah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dicantumkan bahwa Pemerintah daerah berwenang menyelenggarakan urusan wajib di bidang penataan ruang dan lingkungan hidup. Wewenang merupakan salah satu unsur keabsahan bagi pemerintah dan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan daerah, dimana ruang lingkup wewenang meliputi pengaturan, perizinan dan penegakan hukum.
Persoalan Lingkungan
Mengutip dari www.infoanggaran.com, kawasan hutan di NTB yang berfungsi untuk menahan air hujan, kondisinya sekarang sedang “sakit”. Dimana, diperkirakan 80 persen dari total kawasan hutan seluas 1,07 juta hektare saat ini dalam kondisi kritis, bahkan sebagian besarnya terjadi di kawasan hutan alami. Selain kemudahan perizinan penguasaan hutan, kerusakan kawasan hutan di NTB juga disebabkan oleh masih maraknya perambahan hutan secara ilegal. Hutan di kawasan Pulau Sumbawa, Kabupaten Bima, Kabupaten Dompu, dan Kabupaten Lombok Barat acap kali menjadi sasaran empuk para pembalak liar gegara lemahnya pengawasan peredaran kayu.
Di satu sisi ada kerusakan di bagian hulu, kejadian banjir di Lobar harus juga dilihat dari sisi lainnya yaitu adanya adanya kegiatan ekstraksi berlebihan terhadap air tanah dan pembangunan yang masif. Tanah yang turun membuat kawasan menjadi cekungan saat air hujan dari hulu tak terbendung. Pembangunan yang dilakukan juga secara tidak langsung telah mempengaruhi luas daerah resapan air.
Program Zero Waste yang menjadi program unggulan untuk mewujudkan visi NTB Gemilang 2023 gaungnya masih kurang terdengar di tengah masyarakat. Secara konsep, program zero waste sangat tepat untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan, terutama terhadap persoalan penganahan sampah yang ada di NTB. Kabupaten Lombok Barat yang merupakan daerah paling parah terkena dampak banjir di awal bulan Desember 2021 ini terlihat sangat keteteran menangani persoalan sampah.
Menurut data Dinas LHK Prop. NTB yang diperoleh dari laman website NTB Satu Data (www.data.ntbprov.go.id), dari total 185.760,66 ton per hari sampah di tahun 2020, Kabupaten Lombok Barat hanya mampu menangani sampah sebanyak 88.45 ton per hari atau hanya 17,90 persen. Selebihnya ada yang dibakar dan dibuang ke sungai. Kemampuan sungai untuk menampung sampah juga ada batasnya sehingga, diperkirakan kondisi ini yang menyebabkan jebolnya tanggul sungai Meninting dan menyebabkan beberapa komplek perumahan di wilayah kecamatan Gunung Sari dan Batu Layar tergenang hingga 2 meter.
Terdapat beberapa kemungkinan yang menyebabkan komplek-komplek perumahan di wilayah tersebut tergenang banjir hingga mencapai 2 meter yaitu, tidak berfungsinya saluran drainase yang ada di perumahan tersebut secara maksimal atau posisi perumahan yang berada di bawah daerah aliran sungai sehingga, menyebabkan limpasan air sungai yang diakibatkan oleh kurangnya kemampuan sungai menampung air hujan dan air limpahan dari hulu dengan mudah masuk ke dalam areal perumahan tersebut.
Untuk itu, pemerintah daerah harus terus melakukan sosialisasi dan memberikan edukasi kepada masyarakat mengenai beberapa aturan lingkungan hidup merupakan upaya legitimasi yang menjadi instrumen bagi upaya pencegahan terjadinya pencemaran ataupun kerusakan lingkungan. Bagi masyarakat juga sangat perlu untuk memahami bahwa semua hal tersebut bukanlah semata-mata pemerintah hanya memikirkan tentang peningkatan pendapatan daerah saja.
Selain itu, diperlukan adanya komitmen yang tinggi dari aparat pemerintah daerah untuk mengikuti peraturan perundang-undangan dan asas-asas umum pemerintahan yang baik dalam menerbitkan izin. Jika dalam menerbitkan izin tidak didasarkan pada kedua hal tersebut, maka berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, pejabat dapat diminta pertanggungjawaban dengan alasan terjadinya penyalahgunaan wewenang.
[1] https://www.suarantb.com/pembangunan-vila-tak-berizin/
[2] https://republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/10/11/oxnxsv428-pembangunan-vila-diduga-akibatkan-genangan-air-di-sengigi
[3] https://lombokpost.jawapos.com/ntb/17/11/2020/banyak-vila-di-perbukitan-dituding-picu-banjir-senggigi
* Staf Peneliti Pada Lombok Research Center