Setiap tahun, Indonesia memperingati Hari Anak Nasional (HAN) pada 23 Juli, sebuah momen yang dirayakan untuk mengingatkan kepada kita semua akan pentingnya hak-hak anak, kesejahteraan mereka, dan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Peringatan Hari Anak seringkali diisi dengan berbagai acara seremonial, seperti penandatanganan di atas spanduk/banner, lomba mewarnai, pentas seni, pidato inspiratif, hingga kampanye di media sosial yang menyentuh hati.
Pun demikian di Nusa Tenggara Barat (NTB), peringatan Hari Anak selalu dirayakan dengan berbagai kegiatan seremonial, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun organisasi/komunitas di luar pemerintah, dilaksanakan secara formal ataupun non-formal, dari perayaan sederhana hingga yang meriah dan pastinya melibatkan anak-anak di dalamnya.
Namun, di balik berbagai perayaan seremoni yang dilaksanakan setiap tahun terdapat paradoks yang mencolok: apakah peringatan Hari Anak benar-benar mencerminkan komitmen nyata terhadap pemenuhan hak, perlindungan, dan pemberdayaan anak, atau hanya sekadar ritual tahunan yang hanya “menggugurkan kewajiban” dan terkesan kehilangan esensi?

