Saatnya Membicarakan Kesehatan Reproduksi Penyandang Disabilitas di NTB

Topik keadilan disabilitas merupakan topik yang tidak lekang oleh waktu, terutama jika dipertimbangkan dalam konteks kesehatan reproduksi. Selama beberapa dekade, penyandang disabilitas telah memperjuangkan otonomi dan akses yang setara terhadap layanan kesehatan reproduksi dan pendidikan.

Seperti kita ketahui bersama bahwa, para penyandang disabilitas juga memiliki hak yang sama dalam kaitannya dengan akses kesehatan reproduksi yang berkualitas seperti orang lain pada umumnya. Topik inilah yang seringkali “terlewatkan” dimana, para penyandang disabilitas kerap menghadapi hambatan yang pada akhirnya berdampak kepada kesulitan mereka untuk dapat memenhui kebutuhan kesehatan reproduksinya.

Memenuhi layanan kesehatan reproduksi bagi penyandang disabilitas sangat penting namun, dalam praktiknya upaya pemenuhan yang diberikan tidak didukung oleh kemampuan sumber daya dalam memahami perspektif disabilitas sehingga, berdampak pada tujuan yang ingion dicapai dalam upaya pemenuhan hak tersebut. Tidak heran apabila pemberian layanan kesehatan reproduksi saat ini juga lebih sering dibahas di sekolah, di rumah, di pusat layanan kesehatan, atau bahkan dalam perawatan dokter spesialis. Sedangkan bagi para penyandang disabilitas, hak tersebut sering kali diabaikan bahkan hingga mendapat stigma bahwa mereka tidak bisa atau tidak memerlukan layanan kesehatan tersebut.

Salah satu dari permasalahan pada pemenuhan layanan kesehatan bagi penyandang disabiltas saat ini adalah terkait dengan layanan kesehatan reproduksi bagi perempuan penyandang disabilitas. Dimana, hingga saat ini masih menyisakan berbagai hambatan terutama apabila dikaitkan dengan kebijakan pemerintah dalah merespon hal tersebut. Secara nasional, pemerintah telah merespon isu tersebut melalui Undang-Undang Nomor 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas serta Peraturan Daerah Provinsi NTB Nomor 4 tahun 2019 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Berdasarkan data Dinas Sosial Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), terdapat 28.652 jiwa penyandang disabilitas di Provinsi NTB pada 2022. Sedangkan menurut data BPS, jumlah penyandang disabilitas di NTB pada tahun yang sama berjumlah 21.713 jiwa.

Permasalahan pendataan bagi penyandang disabilitas, baik secara nasional maupun daerah saat ini masih belum pasti. Berbagai faktor menjadi penghalang bagi pendataan terhadap penyandang disabilitas, diantaranya adalah kondisi geografis, stigma negatif, hingga data yang tidak sinkron. Padahal, data ini penting agar difabel dapat mengakses layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan. Situasi ini tentunya akan berdampak terhadap kepemilikian dokumen kependudukan bagi penyandang disabilitas dimana, tentunya juga akan mempengaruhi upaya-upaya pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas dalam mengakses berbagai bentuk layanan, terutama pada layanan kesehatan.
 
Hak Kesehatan Reproduksi Yang Masih Terhambat
Meskipun telah terdapat kebijakan namun, bukan berarti para penyandang disabilitas terlepas dari paradigma berpikir yang kerap mendiskriminasi para penyandangnya, termasuk dalam hal kesehatan reproduksi. Mereka dapat dicap sebagai tidak mampu untuk berhubungan seks, hamil, atau melahirkan. Hal ini dapat membuat mereka enggan untuk mencari layanan kesehatan reproduksi. Tentu saja permasalahan menjadi semakin kompleks, mengingat perempuan yang disabilitas mengalami stigmatisasi ganda, yaitu sebagai perempuan, dan juga sebagai disabilitas, sehingga kelompok ini perlu untuk mendapat perhatian khusus karena sangat rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan dan diskriminasi terutama berkaitan dengan seksualitas dan kesehatan reproduksi.
Kesehatan reproduksi adalah keadaan fisik, mental, dan sosial yang berkaitan dengan sistem reproduksi dan fungsinya, yang tidak hanya bebas dari penyakit atau cacat, tetapi juga mampu untuk fungsi reproduksi dan kenikmatan seksual, dan bebas dari tekanan dan paksaan. Kesehatan reproduksi merupakan hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh setiap orang, termasuk penyandang disabilitas. Namun, dalam kenyataannya, penyandang disabilitas sering kali mengalami hambatan dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi. Hambatan tersebut dapat berupa, informasi dan edukasi mengenai kesehatan bagi para penyandang disabilitas masih sangat kurang. Sehingga berdampak terhadap kurangnya mereka menyadari tentang pentingnya kesehatan reproduksi dan tidak mengetahui mekanisme dalam hal mengakses layanan kesehatan reproduksi yang sesuai dengan kebutuhan mereka.

Selain itu, dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi, para penyandang disabilitas seringkali menghadapi hambatan fisik dan aksesibilitas. Misalnya, mereka mungkin kesulitan untuk mencapai klinik kesehatan reproduksi atau menggunakan fasilitas kesehatan reproduksi yang tidak ramah disabilitas. Hambatan lainnya yang dialami oleh penyandang disabilitaas dalam akses layanan kesehatan reproduksi adalah dalam hal biaya, karena kemungkinan mereka tidak memiliki asuransi kesehatan atau tidak mampu membayar layanan kesehatan reproduksi.

Hambatan dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi dapat berdampak negatif terhadap kesehatan dan kesejahteraan penyandang disabilitas. Mereka dapat mengalami kesulitan untuk menjaga kesehatan organ reproduksi dan seksual, sehingga mereka lebih berisiko untuk mengalami masalah kesehatan, seperti infeksi menular seksual, kanker serviks, dan kehamilan tidak diinginkan. Selain itu, hambatan dalam mengakses layanan kesehatan reproduksi juga dapat berdampak negatif terhadap psikologis penyandang disabilitas. Mereka dapat merasa tidak nyaman, malu, atau tidak percaya diri untuk mengakses layanan ini.
Bagi perempuan yang hidup dengan disabilitas, bentuk diskriminasi dan kekerasan yang mereka alami menjadi berlapis. Artinya diskriminasi dan kekerasan yang mereka alami tidak hanya karena mereka adalah penyandang disabilitas, tapi juga karena identitas mereka sebagai perempuan, yang sebagian besar dari mereka hidup dengan kemiskinan.

Kemiskinan dan difabilitas merupakan dua hal yang saling terkait bagaikan sebuah siklus. Kemiskinan membuat orang miskin beresiko mengalami difabilitas karena kekurangan nutrisi, tidak adanya layanan kesehatan yang memadai, minimnya akses dan informasi terkait dengan seksualitas dan kesehatan reproduksi.

Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin di Provinsi NTB pada Maret 2023 sebesar 751.230 jiwa (13,85%) dibandingkan dengan penduduk miskin pada September 2022 yang berjumlah 744.690 jiwa (13,82%), jumlah penduduk miskin bertambah 6.540 jiwa selama enam bulan tersebut atau naik sebesar 0,03 persen. Selama periode September 2022-Maret 2023, penduduk miskin di daerah perkotaan turun dari 13,98 persen menjadi 13,76 persen. Sedangkan penduduk miskin perdesaan naik dari 13,66 persen menjadi 13,95 persen (BPS, 2023). Apabila dilihat dari jumlah penduduk dari periode tersebut, sebagian besar penduduk miskin di Provinsi NTB berada di daerah perdesaan.

Di Provinsi NTB perempuan keberadaan penyandang disabilitas cukup tinggi meskipun sampai saat ini belum terdata. Kondisi ini juga diperkuat dengan masih banyaknya masyarakat NTB yang enggan atau memang kurang mendapatkan informasi terkait dengan pelayanan kesehatan reproduksi bagi perempuan penyandang disabilitas, salah satunya disebabkan oleh transportasi publik yang memperhatikan kebutuhan kelompok disabilitas belum tersedia.

Didalam upaya memenuhi hak terhadap akses layanan kesehatan reproduksi bagi penyandang disabilitas maka, peningkatan kesadaran masyarakat mengenai hak-hak penyandang disabilitas tersebut melalui kampanye, pendidikan dan sosialisasi. Langkah selanjutnya adalah melalui dukungan kebijakan yang bertujuan untuk memberikan jaminan akses layanan kesehatan reproduksi bagi penyandang disabilitas, termasuk didalamnya adalah terkait dengan larangan diskriminasi, penyediaan aksesibilitas, dan peningkatan sumber daya. Kemudian yang paling penting juga adalah tersedianya fasilitas kesehatan penyedia layanan yang inklusif, diantaranya adalah fasilitas yang aksesibel, staf yang terlatih, dan informasi yang mudah dipahami.

Semua pihak harus berkolaborasi dan bekerja sama dalam upaya mendekatkan dan meningkatkan akses layanan kesehatan reproduksi bagi penyandang disabilitas. Hal ini penting untuk memastikan bahwa penyandang disabilitas dapat menikmati kesehatan dan kesejahteraan yang optimal.