Perkawinan usia anak merupakan salah satu permasalahan sosial yang menjadi tantangan dalam pembangunan di setiap daerah, termasuk di Kabupaten Lombok Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DP3AKB) Lombok Timur menyebutkan tahun 2023 terjadi 62 kasus perkawinan usia anak yang terlaporkan.
Perkawinan usia anak merupakan salah satu bentuk dari tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sepanjang tahun 2020-2024, dari 4.883 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di NTB, 26% kasus kekerasan atau sebanyak 1.277 kasus terjadi di Lombok Timur (SIMFONI PPA, 2024).
Untuk itu, sosialisasi mengenai pencegahan perkawinan usia anak menjadi salah satu fokus program dari kegiatan mahasiswa KKN di Lombok Timur. Dalam melaksanakan programnya maka, mahasiswa KKN yang berasal dari Universitas Mataram (Unram) menggandeng Lombok Research Center (LRC) sebagai pemateri utama dalam kegiatan programnya. Dipilihnya LRC sebagai narasumber karena selama ini LRC memang fokus dalam upaya-upaya pencegahan perkawinan usia anak di 15 desa dampingan dalam Program INKLUSI.
Adapun kegiatan kolaborasi mahasiswa KKN dari Unram dengan LRC telah dilaksanakan di Aula MTs NW Dasan Teliah, Desa Kertasari, Kecamatan Labuhan Haji pada Jumat, (10/01/2025. Kemudian di Aula Kantor Desa Gelora Kecamatan Sikur pada, Sabtu (11/01/2025) dan di Pondok Pesantren Ash Shamadi Tanak Maiq, Desa Masbagik Uara Baru, Kecamatan Masbagik, Sabtu (11/01/2025).

Sosialisasi di Desa Kertasari
Kegiatan sosialisasi pencegahan perkawinan usia anak di Desa Kertasari yang dilaksanakan di aula MTs NW Dasan Teliah dihadiri oleh seluruh siswa madrasah dan guru madrasah tersebut. Selaku Kepala MTs NW, Wardatun Fitri, S.Pd. I menyambut baik kegiatan yang dilaksanakan oleh mahasiswa KKN Unram yang berkolaborasi dengan LRC dalam memberikan edukasi bagi siswanya terkait dengan pencegahan perkawinan usia anak.
“Biasanya perkawinan anak sangat rawan sekali terjadi saat liburan sekolah, karena aktivitas anak-anak di rumah tidak terkontrol, tetapi untungnya di tahun ini belum ada kasus atau laporan yang masuk dan kami harap memang tidak ada kasus perkawinan anak lagi khususnya di sekolah kami”, ujar Wardatun Fitri.
Apa yang disampaikan oleh Kepala MTs NW Dasa Teliah ini berdasarkan pada situasi yang selama ini terjadi dimana, kasus perkwainan usia anak masih marak terjadi dan umumnya di berbagai sekolah swasta. Untuk itu, pemberian edukasi bagi siswa dapat terus dilakukan secara berkala yang bertujuan para siswa sekolah memiliki pemahaman utuh terkait debrbagai dampak buruk dari perkawinan usia anak. Perkawinan usia anak juga berdampak buruk bagi generasi mendatang dimana, salah satu faktor munculnya stunting adalah disebabkan oleh adanya praktik perkawinan usia anak.
Lalu Farouq Wardana selaku Program Officer (PO) INKLUSI LRC yang menjadi pemateri dalam kegiatan di Desa Kertasari tersebut memaparkan bahwa siapapun yang terlibat praktik perkawinan usia anak saat ini dapat dijerat dengan hukum. Sebagaimana tertuang dalam UU 12 Tahun 2022 Tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, umur minimal bagi laki-laki dan perempuan untuk melakukan pernikahan adalah 19 tahun.
Ia menegaskan, pemaksaan pernikahan di bawah 19 tahun dengan alasan apapun merupakan tindak pidana kekerasan terhadap anak yang dapat dipidana paling lama 9 tahun penjara dan denda maksimal Rp200 juta sebagaimana tertuang dalam pasal 10 UU TPKS.
“Di sisi lain, terjadinya perkawinan anak akan mengancam terpenuhinya hak dasar anak. Tidak hanya fisik dan psikis, anak akan kehilangan hak untuk mendapatkan perlindungan sosial, seperti penerbitan Adminduk, BPJS dan bantuan sosial. Akibatnya akan memperpanjang rantai kemiskinan dalam keluarga”, kata Lalu Farouq siang itu.

Sosialisasi di Desa Masbagik Utara Baru
Sedangkan kegiatan sosialisasi pencegahan perkwinan usia anak di Desa Masbagik Utara Baru dihadiri oleh 80 siswa Madrasah Aliyah (MA) dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) yang menimba ilmu di Pondok Pesantren Ash Shamadi.
Di lokasi ini Lombok Research Center (LRC) hadir sebagai pemateri adalah Baiq Titis Yulianty, Koordinator Program (KP) INKLUSI LRC. Baiq Titis menyampaikan bahwa Indonesia merupakan peringkat tujuh di dunia dan peringkat dua di asia dalam kasus perkawinan usia anak dimana, tercatat 1,2 juta angka perkawinan usia anak.
” 40 persen perempuan yang melakukan perkawinan anak mengalami tingkat stres yang tinggi dan depresi. Tidak hanya secara kesehatan, perkawinan anak menyebabkan hak dasar anak tidak terpenuhi, seperti hak hidup, perlindungan, hak tumbuh kembang dan partisipasi”, kata Baiq Titis dalam materinya.
Banyak hal yang menyebabkan terjadinya perkawinan anak seperti kemiskinan, rendahnya pendidikan, ketidaksetaraan gender dan kesalahan dalam memahami adat dan agama. Di Lombok sendiri, kekeliruan dalam memahami adat dan agama masih sering dijadikan sebagai pembenaran untuk tetap melanggengkan perkawinan anak. Padahal, dalam adat dan agama juga diatur tentang batas usia pernikahan, yang bahasa atau penyebutannya disesuaikan dengan konteks adat dan agama. Artinya, pencegahan perkawinan anak tidak pernah bertentangan dengan konsep adat maupun agama.
Di samping itu, perkawinan anak merupakan masalah kompleks, sehingga untuk mengatasinya tidak hanya dibutuhkan komitmen pemerintah tetapi tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh adat, akademis, pihak sekolah dan keluarga, karena untuk mencapai tujuan yang besar membutuhkan kerjasama kita semua.
Sejalan dengan Kepala MTs NW Dasan Teliah, Desa Kertasari, Agus Khairi, M.Pd. selaku Kepala MTs Ash Shamadi mengungkapkan bahwa setelah libur sekolah yang panjang, pasti ada jumlah siswa yang berkurang karena disebabkan adanya perkawinan usia anak. Untuk itu, diperlukan usaha dan kolaborasi semua pihak dalam melakukan pencegahan perkawinan usia anak di tengah masyarakat.
“Kami sangat berharap upaya-upaya pencegahan seperti yang dilaksanakan oleh adik-adik mahasiswa KKN dari Unram ini dapat diselenggarakan secara berkala dan berkesinambungan, terlebih dengan menggandeng lembaga yang memang memiliki fokus pada upaya-upaya pencegahan tersebut”, harap Agus Khairi dalam sambutan pembukaanya.

Sosialisasi di Desa Gelora
Untuk di Desa Gelora, mahasiswa KKN Unram tidak hanya menggandeng LRC namun, juga melibatkan Pemerintah Desa Gelora dan Puskesmas Desa Kotaraja. Adapun kegiatan sosialisasi yang diselenggarakan di Aula Kantor Desa Gelora dihadiri oleh tokoh masyarakat Desa Gelora, Kepala Wilayah, kader, Kelompok Konstituen (KK) Program INKLUSI, dan para pemuda di Desa Gelora.
Rina Marlina, Sekretaris Desa Gelora yang mewakili pemerintah desa menyampaikan bahwa selama ini masyarakat belum mengetahui dan memahami bahwa melegalkan perkawinan usia anak merupakan tindakan melawan hukum.
“Kami dari pemerintah desa tentu sangat berharap bahwa masyarakat Desa Gelora mengetahui dan memahami bahwa akan ada tindakan hukum apabila melegalkan praktik perkawinan usia anak di tengah masyarakat” ujar Sekdes Gelora. “Dengan terus menerus memberikan pemahaman yang baik kepada masyarakat, saya yakin pola pikir kita semua bisa diubah, seperti kegiatan edukasi yg kita laksanakan hari ini”, sambung Rina.
Kepala Puskesma Desa Kotaraja Medina Amin, S.Kep. menyampaikan bahwa perkawinan anak merupakan salah satu penyebab utama terjadinya stunting. Kurang siapnya organ reproduksi, asupan gizi rendah dan minimnya pengetahuan tentang pola asuh akan mengakibatkan anak yang lahir mengalami kekurangan gizi kronis. Ia berharap dengan edukasi kepada masyarakat dapat mengurangi angka perkawinan anak dan stunting.
“Angka stunting kita saat ini masih di atas di atas target nasional, kita ditargetkan 14 persen sementara kita masih di angka 15 persen. Semoga di tahun ini kita bisa tekan prevalensinya dan minimal bisa mencapai target nasional”, ujar Medina Amin.
Lalu Farouq Wardana selaku Program Officer LRC-INKLUSI sekaligus narasumber kegiatan mengajak seluruh peserta untuk berkomitmen dalam mencegah perkawinan anak, sebab pembangunan desa tidak akan berjalan maksimal tanpa pasrtispasi masyarakat. Ia juga mendorong pemerintah agar terus memberikan edukasi, pemberdayaan ekonomi keluarga dan sosialisasi kesehatan reproduksi untuk mencegah terjadinya perkawinan anak.
“Perkawinan anak merupakan masalah kita bersama, menjaga anak-anak kita hari ini dari perkawinan anak dan stunting berarti kita juga menjaga kualitas generasi, masyarakat dan keluarga kita di masa mendatang”, kata Lalu Farouq.
Aksi Kolaboratif Pencegahan Perkawinan Usia Anak
Kegiatan sosialisasi yang digagas oleh mahasiswa KKN Unram bekerja sama dengan LRC di Lombok Timur bertujuan untuk menyadarkan masyarakat, terutama generasi muda, akan dampak buruk perkawinan usia anak. Melalui berbagai kegiatan edukasi, masyarakat memahami bahwa perkawinan usia anak tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga berdampak pada kesehatan, pendidikan, dan masa depan anak. Kolaborasi dengan berbagai pihak seperti sekolah, pemerintah desa, dan puskesmas semakin memperkuat upaya pencegahan ini. Harapan dari kegiatan kolaborasi ini tentunya adalah masyarakat semakin menyadari pentingnya mencegah perkawinan usia anak untuk mewujudkan generasi yang lebih berkualitas.