Memperingati Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16 HAKTP) yang dimulai pada tanggal 25 November – 10 Desember, Lombok Research Center (LRC) sebagai mitra dari Yayasan BaKTI dalam implementasi Program INKLUSI melaksanakan kegiatan Aksi Kolektif dengan tema “Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan dan Pemberdayaan Disabilitas Untuk Mencapai SDG’s”.
Kegiatan tersebut dilaksanakan di Aula Pendopo Bupati Lombok Timur pada tanggal 2 Desember 2023 yang lalu. Kegiatan aksi kolektif ini juga merupakan suatu wujud kolaborasi antara LRC dengan Pemerintah Kabupaten Lombok Timur beserta Yayasan Lombok Care. Adapun peserta yang menghadiri kegiatan pada hari itu dihadiri oleh 150 peserta yang terdiri dari kalangan, seperti Kepala OPD lingkup Pemda Lombok Timur, Kepala Desa dari desa-desa dampingan LRC pada Program INKLUSI, perwakilan dari PKK, GOW, Persatuan Bhayangkari Polres Lombok Timur, Persit Kartika Candra Kodim 1606 Lotim, LSM mitra, penyandang disabilitas, dan perwakilan dari Kelompok Konstituen.
Dalam aksi kolektif ini juga dihadiri oleh perwakilan Yayasan BaKTI, Bapak Muhammad Taufan yang bertugas menyampaikan kata sambutan dan Pejabat Bupati Kabupaten Lombok Timur, Bapak Drs, H.M. Juaini Taofik, M.AP sebagai keynote speaker. Serta keempat narasumber yang berbicara dalam talk show, yakni Dr. Lalu Makripuddin, M.Si (Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi NTB), Ibu Hj. Ermalena (Tokoh Perempuan yang Pernah Menjabat Wakil Ketua Komisi 9 DPR RI), Bapak Djamil Abdurrahman Malik (Praktisi Hukum) dan Ibu Sofia Mauizatun Hasanah (Akademisi).
Salah satu isu yang diangkat dalam aksi kolektif ini adalah tentang pemberdayaan disabilitas karena jumlahnya cukup banyak di Lombok Timur. Menurut survey yang dilakukan oleh Lombok Research Center hingga November 2022 jumlah disabilitas di Lombok Timur mencapai 1.395 orang. Sementara itu, menurut data Dinas Sosial Lombok Timur jumlah ini lebih banyak hingga Oktober 2022 angkanya mencapai 1.800 atau sebesar 0,14% dari jumlah penduduk. Artinya, jika teman-teman disabilitas ini tidak diberdayakan maka akan berpengaruh terhadap penurunan indeks pembangunan manusia dan indeks pembangunan ekonomi termasuk meningkatnya angka kemiskinan di Lombok Timur.
“Tahun lalu kami melakukan pengumpulan data di tujuh wilayah Indonesia dan salah satunya di Lombok Timur, dari hasil data yang kami kumpulkan jumlah penyandang disabilitas di Lotim cukup tinggi sekitar 1.300an lebih penyandang disabilitas, menurut kam ini perlu mendapatkan perhatian”, kata Muhammad Taufan dalam sambutannya.
Sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Taufan dari perwakilan Yayasan BaKTI dalam sambutannya bahwa banyak hak-hak disabilitas yang belum terpenuhi, salah satunya banyak anak-anak disabilitas yang putus sekolah dan rata-rata pendidikan mereka hanya sampai tingkat sekolah dasar, sedikit sekali yang bisa melanjutkan hingga sekolah menengah dan perguruan tinggi. Kedua, teman-teman disabilitas banyak yang tidak memiliki administrasi kependudukan, seperti KIA, KK, KTP dan Akta Kelahiran, sehingga mereka tidak dapat mengakses layanan sosial dari pemerintah. Ketiga, selama ini yang dianggap disabilitas hanya disabilitas fisik sementara disabilitas mental atau psikososial tidak dianggap sebagai disablitas, serta masyarakat yang memiliki anak atau keluarga disabilitas sering menganggap itu sebagai aib dan memilih untuk menyembunyikan mereka. Terakhir, Muhammad Taufan mengajak kepada kita semua untuk berhenti menggunakan istilah cacat dan tuna, dan mengganti istiah tersebut dengan disabilitas dan difabel sesuai dengan anjuran pemerintah yang tertuang di dalam Undang-Undang Penyandang Disabilitas.
Lebih lanjut lagi, Muhammad Taufan menjelaskan ketika berbicara tentang inklusi kita tidak hanya berbicara tentang disabilitas. Inklusi memiliki makna yang sangat luas. Inklusi menyangkut tentang kelompok rentan dan marginal yang termasuk di dalamnya perempuan, anak, disabilitas, lansia dan kelompok adat/budaya minoritas, karena selama ini mereka selalu tertinggal dalam pembangunan. Untuk mencapai SDG’S salah satu prinsipnya adalah no one left behind (tidak boleh ada satu pun yang tertinggal, jadi dalam pembangunan termasuk semua kelompok, masyarakat rentan juga harus dilibatkan, misalnya dalam perencanaan pembanguan dan musyawarah desa diharapkan mereka dilibatkan untuk memberikan aspirasinya.
“Program INKLUSI memiliki durasi yang panjang dan ini sudah tahun kedua dan kami berharap sampai 2029 masih bekerja di Lombok Timur, kami berharap potensi yang ada di Lombok Timur bisa membangun kolaborasi agar kelompok rentan tadi hak-haknya bisa terpenuhi. Mudah-mudahan ke depan kami akan fokus untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat agar kelompok rentan bisa mengakses pemberdayaan ekonomi agar mereka memiliki kekuatan secara finansial”, tambah Muhammad Taufan.
Drs. H.M. Juaini Taofik, M.AP, selaku Pejabat Baupati Lombok Timur berkesempatan hadir sebagai keynte speaker dalam kegiatan ini menyamapaikan bahwa kehadiran sejumlah LSM/NGO di Lombok Timur juga memberikan warna dalam pemberdayaan termasuk memperkuat kebijakan pemerintah dan pembangunan masyarakat rentan, khususnya perempuan dan disabilitas. Lebih lanjut lagi Pejabat Bupati ini menjelaskan bahwa salah satu indikasi pembangunan inklusif adalah nol kasus kekerasan terhadap perempuan dan pelayanan yang ramah disabilitas. Ia juga menyampaikan bahwa Lombok Timur pad 1 Desember 2023 sudah menyandang predikat Universal Health Coverage, sebagai bentuk peningkatan layanan untuk masyarakat rentan.
“Alhamdulillah sejak 1 Desember 2023 Lotim sudah menyandang Predikat Universal Health Coverage (UHC), jadi siapa saja yang memiliki KTP Lotim dapat mengakses layanan kesehatan di puskesmas dan rumah sakit. Mulai 2024, kita akan membeli 2 alat perekam di RS Soedjono dan Patuh Karya untuk membantu masyarakat yang belum melakukan perekaman secara online sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak dilayani petugas kesehatan”, ungkap Juaini Taofik.
Lebih jauh lagi Hj. Ermalena selaku Tokoh Perempuan yang pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Komisi 9 DPR RI yang berkesempatan hadir sebagai narasumber pada hari ini juga memberikan pandangan yang lebih luas tentang disabiltitas. Ia memaparkan jumlah disabilitas di Indonesia saat ini ada 23 jiwa atau 8,5 persen dar jumlah penduduk. Menurut Hj. Ermalena, jika jumlah disabiltas sebanyak itu tidak diberdayakan, maka angka kemiskinan di Indonesia akan meningkat sebanyak dua digit. Sebenarnya masalah disabilitas ini selalu digaungkan, terlebih Indonesia sudah memiliki Undang-Undang yang mengatur tentang penyandang disabilitas. Sayangnya, dalam kita masih kurang dalam implementasi, contohnya ketika anak-anak disabilitas dimasukkan ke sekolah umum ini menjadi kendala karena tidak ada alat dan fasilitas pendukung pembelejaran, padahal 20 persen lebih dari APBN dianggarkan untuk pendidikan.
“Makanya dibutuhkan kolaborasi antara masyarakat, LSM dan pemerintah, dan seharusnya kita bisa mencontoh apa yang dilakukan oleh Program INKLUSI, Yayasan BaKTI, LRC dan Lombok Care. Kehadiran LSM/NGO adalah melakukan pilot project, mereka tidak bisa meratakan seluruh programnya di Lombok Timur, jadi yang bisa dilakukan sekarang pemerintah ini harus meniru apa yang dilakukan oleh LSM/NGO, yang bagus diambil, yang baik itu yang diangkat ke dalam kebijakan”, kata Hj. Ermalena saat menyampaikan materi.
Aksi kolektif ini juga bertujuan untuk mendorong penghapusan kekerasan terhadap perempuan, mengingat Lombok Timur menjadi kabupaten dengan jumlah kekerasan terhadap anak dan perempuan tertinggi di NTB mencapai 145 kasus sepanjang 2023 menurut data Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB). Ini yang dilaporkan dan masih banyak lagi kasus yang tidak terlaporkan. Sehingga aksi kolektif ini akan memunculkan kesadaran dan kerjasama antara semua elemen masyarakat untuk berkolaborasi dalam menekan angka kasus kekerasan perempuan. Lalu Makripuddin dari Kanwil BKKBN NTB mengimbau untuk menekan kasus kekerasan terhadap perempuan dengan menerapkan delapan fungsi keluarga, mulai dari fungsi keagamaan, ekonomi, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, sosialisasi, pendidikan, pembinaan lingkungan.
“Ketika berbicara tentang kekerasan perempuan, yang paling dekat adalah kekerasan dalam rumah tangga. Makanya untuk mencegah KDRT kita harus kembali pada penerapan 8 fungsi keluarga. Dan selama ini, kasus kekerasan dalam rumah tangga itu terjadi karena pernikahan usia anak, jadi dengan mendorong pernikahan anak juga termasuk langkah untuk penghapusan kekerasan terhadap perempuan”, kata Lalu Makripuddin.
Bapak Jamil Abdurahman Malik selaku Praktisi Hukum saat berbicara tetang kekerasan terhadap perempuan menyoroti bahwa belum ada kesamaan persepsi tentang kekerasan terhadap perempuan itu sendiri sehingga ini yang menyebabkan setiap penanganan kasus kekerasan perempuan menjadi bias. Lahirnya UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, seharusnya menjadi kabar gembira untuk perempuan Indonesia karena di dalamnya regulasi ini tidak hanya diatur tentang penindakan terhadap kasus kekerasan, namun bagaimana perlindungan dan pencegahan terhadap kekerasan itu sendiri. Sayangnya, menurut Malik aturan separipurna ini karena persepsi yang berbeda-beda membuat implementasinya menjadi kurang.
“Saya pernah menangani sebuah kasus anak di bawah umur, melalui komunikasi di ponsel si anak membuat foto yang vulgar kemudian mengirimkan ke seseorang dan dijadikan sebagai bahan pemerasan terhadapa anak. Tetapi pihak kepolisian NTB mengatakan kasus ini lebih kepada UU ITE dan UU Tindak Pidana Pemerasan, padahal aplikasi hukum pidana yang tertuang dalam UU TPKS sudah menjangkau tidak hanya secara verbal tetapi aspek pemerasannya. Jadi, bagaiman aagar aparat penegak hukum ini bisa menyamakan persepsi, karena sebagus apapun regulasi kalau tidak ada kesamaan persepsi akan cacat dalam implementasinya”, ungkap Malik.
Terakhir Sofia Mauizatun Hasanah juga menyoroti kasus perundungan/bullying yang ternyata banyak dilakukan oleh perempuan. Sofia menyampaikan bahwa 85 persen kasus perundungan lebih banyak dilakukan oleh perempuan, hal ini menunjukkan bahwa perempuan belum memiliki keberpihakan terhadap sesama perempuan. Karena untuk menciptakan ruang publik yang ramah perempuan salah satunya ditunjukan dengan adanya keberpihakan terhadap perempuan, kalau ini sudah tercapai maka kasus kekerasan akan lebih mendapat lebih banyak dukungan untuk dilaporkan.
“Jangan takut untuk melaporkan apapun bentuk kekerasan yang dihadapi dan bentuklah lingkaran yang kuat antara perempuan dan disabilitas untuk sama-sama membangun pemberdayaan”, kata Sofia dalam clossing statementnya.
